Senin, 22 Februari 2016

Marga Sungkai Bunga Mayang Lampung

Hasil Riset Erizal Barnawi
Waktu Penelitian dari Oktober 2015 s.d Februari 2016 di Kabupaten Lampung Utara


Pengantar
Secara etimologis, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, syajarah, yang berarti pohon kehidupan. Dalam bahasa Inggris, padanan sejarah adalah history yang berasal dari bahasa Yunani, historia, yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronologis, sedangkan yang tidak bersifat kronologis dipakai kata scientia atau science.[1]
            Sartono Kartodirjo memberikan batasan sejarah dengan suatu dialog antara masa kini dan masa lampau,[2] sementara Garraghan memberi batasan sejarah kepada tiga konsep yang berhubungan tetapi memiliki perbedaan yang jelas, yaitu: (a) kegiatan dan perilaku manusia masa lampau; (b) catatan terhadap kejadian tersebut; dan (c) proses atau teknik pembuatan catatan. Pada penggunaan masa kini, kata sejarah berhubungan dengan salah satu dari tiga hal berikut: (1) penyelidikan; (2) sasaran penyelidikan; dan (3) catatan hasil penyelidikan, yang kesemuanya berkaitan dengan tiga butir (a,b,c) di atas.[3]
            Beranjak dari bahasan di atas, akan dilacak sejarah Marga Sungkai di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Pendokumentasian, pengarsipan dan penulisan ulang kembali dari data yang di dapat secara elementer atau mendasar. Hasil data tersebut sebagai berikut.

Sejarah Sungkai


          Sungkai bisa dikategorikan sebagai marga sebab masih dalam satu kesatuan sub jurai etnis Pepadun Lampung. Sungkai pula salah satu komunitas masyarakat adat yang berada di bawah tradisi hukum adat Pepadun Lampung. Marga Sungkai bermukim di wilayah Lampung, tepatnya di Kabupaten Lampung Utara. Walaupun pada dasarnya banyak pula masyarakatnya telah menyebar ke seluruh penjuru Lampung maupun di luar Lampung. Dikarenakan faktor ekonomi, pekerjaan, dan masyarakatnya yang suka berhijrah mencari penghidupan baru.

          Sungkai secara harafiah berarti pohon. Sebab, pada masa lalu terbentuknya marga Sungkai pada daerah yang dinamakan Way Sungkai. Selain itu, memang di sana pula terdapat pepohonan yang masyarakat setempat menamakannya Sungkai. Dengan kata lain, harapan pada masyarakat Marga Sungkai menggunakan nama sungkai yang artinya pohon karena anggapan mereka mengambil filosofi pohon tersebut. Bahwa, filosofi pohon adalah sumber kehidupan manusia.
          Diriwayatkan asal usul Marga Sungkai, menurut cerita rakyat Sungkai, bahwa dahulu berasal dari daerah Komering. Dahulu banyak orang komering yang bermigrasi keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering, untuk mencari kehidupan baru pindah ke wilayah lain. Pada perjalanan migrasi, mereka membuka pemukiman baru (umbul) maupun kampung (tiyuh). Perpindahan kali pertama oleh orang Komering marga Bunga Mayang yang kemudian menjadi suku Sungkai atau disebut juga sebagai suku Lampung Sungkai Bunga Mayang.
          Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997), mengatakan “Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang Komering pada tahun 1800 Masehi, pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s/d. 1834 Masehi. Kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung”.
          Oleh masyarakat Abung, suku Sungkai dinyatakan berada di bawah adat Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah Sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang, membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
          Marga Sungkai terdiri dari 7 Kebuwayan (keturunan )besar, yaitu:
1. Buway Indor gajah (Segajah)
2. Buway Selembasi
3. Buway Perja (serja) yang ketiganya anak Putri Silimayang
4. Buay Harayap
5. Buway Liwa
6. Buway Dibintang
7. Buway Semenguk

          Penyebaran kampung-kampung pada masyarakat Marga Sungkai di Provinsi Lampung Utara,[1] sebagai berikut.

a. Buway Indor Gajah (Segajah)


          Buway Indor Gajah yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Negara Tulang Bawang; 2) Cempaka Raja; 3) Bumi Ratu; 4) Labuhan Ratu Kampung; 5) Labuhan Ratu Pasar; 6) Ketapang; dan Mulungan Ratu.

b. Buway Selembasi


          Buway Selembasi yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Tanah Abang; 2) Tanjung Jaya; 3) Negeri Batin Jaya; dan 4) Pengiran Ratu Menong.

c. Buway Perja (serja)


          Buway Perja (serja) yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Negeri Ujung Karang; 2) Pekuon Agung; 3) Haduyang Ratu; 4) Banjar Negeri; 5) Negeri Ratu Perja; 6) Banjar Ratu; dan 7) Sri Agung.

d. Buway Harayap


          Buway Harayap yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Negara Ratu; 2) Negara Batin; 3) Gedung Batin; 4) Sukadana Unggak (Udik); 5) Sukadana Liba (Ilir); 6) Negara Bumi; dan 7) Suku Jaya.

e. Buway Liwa


          Buway Liwa yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Kota Napal; 2) Batu Raja; 3) Banjar Ketapang; 4) Gedug Ketapang; dan 5) Kubu Hitu.

f. Buway Debintang


          Buway Debintang yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Bandar Agung.

g. Buway Semenguk


          Buway Semenguk yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Kota Negara Unggak (Udik); 2) Kota Negara Liba (Ilir); 3) Negeri Sakti; dan 4) Hanakau Jaya.


SEJARAH MARGA BUNGA MAYANG SUNGKAI.
          Data yang diterangkan di bawah ini direduksi dari hasil review buku yang berjudul Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai, yang disusun oleh: 1) Ir. H. Ansory Djausal, M.T. (Ratu Sepahit Lidah) Jabatan Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat; 2) Aminuddin Thaib (Suntan Ulangan); 3) Syamsuddin (Suntan Ulangan); 4) Fauzan (Pemuka Raja); 5) Djohar (Ratu Segero); 6) Adjmain (Kepala Sangun Ratu); 7) Tajuddin (Ratu Nyinang); 8) Ratu Bangsawan (Minak Sunan Bangsawan); 9) Drs. H. Hidayatullah (Ratu Pengadilan); dan 10) Djuanda Harun (Raja Mula Jadi).
          Marga Bunga Mayang atau sering masyarakat menyebutnya Sungkai Bunga Mayang adalah masyarakat adat yang dalam pengelompokkannya tergolong keadatan Pepadun Lampung. Selain itu, menurut keterangan yang tua-tua bahwa Sungkai Bunga Mayang sudah ada jauh sebelum pemerintah Kolonial Belanda menguasai Lampung Utara. Kala itu salah satu paksi dari marga tersebut dipimpin oleh seorang Adipati yang bergelar Dipati Wirabumi. Pusat pemerintahannya berada di Negeri Ujung Karang (Saat ini berada di Ibu Kota Kecamatan Muara Sungkai). Pemerintah Koloniak Belanda mengakui wilayah Marga Bungan Mayang sungkai lewat Besluit Resuden Nomor 93/AA Tahun 1928. Daerahnya berbatasan dengan empat marga lainnya, Yakni :
1. Sebelah Timur dengan Marga Buwai Bulan Udik
2. Sebelah selatan dengan Marga Buwai Nunyai
3. Sebelah Barat dengan Marga Rebang
4. Sebelah Utara dengan Buwai Lima (Way Kanan)
          Wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai pernah menjadi lokasi Tranmigrasi spontan lewat Resetlement pada tahun 1979 dan Tahun 1984 sehingga membuat Marga Sungkai Bunga Mayang lebih Heterogen dengan interaksi antara masyarakat pribumi dan pendatang dalam membangun Sungkai Bunga Mayang. Yang pada saat ini, Sungkai sudah terbagi menjadi delapan kecamatan yakni Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Tengah, Sungkai Barat, Sungkai Jaya, Muara Sungkai, Bunga Mayang dan Hulu Sungkai.
          Makin lama Adat Istiadat makin diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kegiatan adat akhirnya cuman tersisa pada saat upacara perkawinan. Generasi muda mengira bahwa adat hanya mengatur mengenai perkawinan. Bertolak dari kenyataan tersebut, masyarakat adat Marga Bunga Mayang Sungkai menyatukan kembali Visi & misi agar sejalan dengan semangat Era Reformasi.
          Masyarakat Marga Bunga Mayang memeluk Agama Islam. Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW menjadi pandangan hidup mereka (Sungkai). Setiap orang yang akan melaksanakan upacara Adat harus memeluk Agama Islam. Selain itu masyarakat Adat juga mengenal kebiasaan atau kepribadian Fiil misil.
          Menurut catatan DR. BJ. Haga, pembentukan Marga Bunga Mayang Sungkai yang terdiri dari Buay Indor Gajah, Buay Pereja dan Buay Harayap pada tahun 1775 lewat prosesi adat besar dengan memotong 60 kerbau. Marga Bunga Mayang mengundang para tokoh adat dari marga-marga terdekat, antara lain dari Kabupaten Way kanan, Menggala dan Abung. Pada upacara adat tersebut, marga-marga menyepakati batas wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai.
          Pada tahun 1820, Kapten Du Bois, pejabat Hindia Belanda, ikut membantu penetapan perbatasan Marga Bunga Mayang dengan Marga Baradatu. Hal itu diperkuat pula oleh laporan dari penguasa daerah Abung tertanggal 21 Oktober 1862 yang menyatakan turut pula menetapkan perbatasan seperti di atas. Pada tanggal 7 Juni 1864, jumlah penduduk masing-masing tiuh (Kampung):
1. Pakuon Agung                     : 250 orang
2. Negeri Ujung Karang           : 270 orang
3. Bandar Agung                     : 39 orang
4. Sukadana                            : 106 orang
5. Negara Tulang Bawang        : 179 orang
6. Kepayungan                        : 23 orang
7. Tanah Abang                       : 65 orang
8. Negeri Batin                         : 40 orang
9. Batu Raja                            : 46 orang
10. Negara Ratu                       : 74 orang
11. Kota Napal                         : 92 orang
12. Kota Negara                       : 101 orang   +
Jumlah                                    : 1.291 orang
          Hindia Belanda lalu membentuk distrik pada tanggal 5 April 1928 lewat Soerat Angkatan No. 1254/12 dari Residentie Lampongsche Districten Onder Afdeeling Sepoetih yang ditandatangani oleh DeControleur der Onder Afdeling Sepoetih yang berkedudukan di Kotaboemi.
          Pada tanggal 29 September 1928 lewat Besluit Residen Lampung No. 93/AA tertanggal 29 September 1928, Hindia Belanda mengubah distrik kembali menjadi marga sekaligus menetapkan batas wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai. Raja Yang Tuan terpilih menjadi pesirah. Dia memimpin seluruh tiuh yang berada di Marga Bunga Mayang Sungkai. Batas wilayahnya:
1.       Sebelah Timur dengan Marga Buway Bulan Udik
2.       Sebelah Selatan dengan Marga Buway Nunyai
3.       Sebelah Barat dengan Marga Rebang
4.       Sebelah Utara dengan Marga Buway Lima (Way Kanan),
          Raja Yang Tuan membangun jalan dan jembatan yang menghubungkan tiuh-tiuh dan daerah pemukiman, perkebunan, peladangan, untuk kelancaran ekonomi masyarakat. Dia berhasil membangun jalan sepanjang 120 Km. Pesirah ini juga membangun sekolah desa—sampai kelas tiga—di setiap kampung. Di Negara Tulangbawang, Raja Yang Tuan membangun Hover-tement, sekolah sampai kelas lima.
          Pada awal kepemimpinan Raja Yang Tuan, penduduk Marga Bunga Mayang Sungkai berkembang pesat. Berdasarkan catatan pada masa itu, jumlah penduduk Marga Bunga Mayang Sungkai:
1. Pakuon Agung                     : 1077 orang
2. Banjar Negeri                      : 527 orang
3. Bandar Agung                     : 137  orang
4. Negri Ujung karang             : 522  orang
5. Handuyang ratu                    : 347  orang
6. Sukadanallir                         : 343  orang
7. Sukadana Udik                     : 597  orang
8. Negara Tulang Bawang        : 1615 orang
9. Tanah Abang                       : 815  orang
10. Kota napal                         : 984  orang
11. Kota Negara                       : 600  orang
12. Negara Batin                     : 391  orang
13. Baturaja                            : 431  orang
14. Negararatu                        : 532  orang
15. Ketapang                           : 225  orang
16. Cempaka                           : 300  orang  +



jumlah                                     : 9440 orang
          Pada tahun 1943, Raja Yang Tuan digantikan Sjamsoeddin gelar Toean Radja Djondjom. Pusat pemerintahan atau ibu kotanya ikut pindah pula ke Kota Napal. Jabatan pesirah digenggam Toean Radja Djondjom sampai tahun 1950. Pada tahun 1950 itu, Sjamsoeddin gelar Toean Radja Djondjom diangkat menjadi camat. Sedangkan Abdoel Rachim gelar Selinggang Alam menjadi pesirah.
          Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, pemerintahan tetap dalam bentuk marga. Mulai tahun 1945, pesirah tetap ada. Namun, untuk urusan birokrasi, dibentuk pemerintahan Kecamatan Negararatu/Ketapang yang dipimpin oleh seorang camat. Pusat pemerintahannya di Ketapang. Tahun 1957, Marga Bunga Mayang Sungkai berubah menjadi Negeri Sungkai. Pimimpinnya Kepala Negeri Achmad Djazuli gelar Ratu Anom Sekandar Alam.
          Pada tahun 1960, terbentuk dua kecamatan yaitu Kecamatan Negararatu berkedudukan di Negararatu dan Kecamatan Ketapang berkedudukan di Ketapang. Pada tahun 1962, Muchtar Hasan terpilih menjadi kepala Negeri Sungkai menggantikan Achmad Djazuli gelar Ratu Anom Sekandar Alam karena meninggal dunia tahun 1961.
          Tahun 1973, sistem pemerintahan negeri dihapus berlaku pemerintahan kecamatan yakni Kecamatan Sungkai Utara yang berkedudukan di Negararatu dan Kecamatan Sungkai Selatan yang berkedudukan di Ketapang. Pada tahun 2000 Marga Bunga Mayang telah terbentuk menjadi empat kecamatan: Sungkai Selatan berkedudukan di Ketapang, Kecamatan Sungkai Utara berkedudukan di Negararatu, Kecamatan Bunga Mayang berkedudukan di Negara Tulang Bawah dan Kecamtan Muara Sungkai berkedudukan di Negeri Ujung Karang.
          Pemakaian istilah Marga Bunga Mayang Sungkai disepakati untuk membedakan antara Marga Bunga Mayang yang ada di Komering Sumatera Selatan dengan Marga Bunga Mayang yang berada di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.
          Marga Bunga Mayang Sungkai adalah kesatuan masyarakat beradat Pepadun yang dikenal diantara kesatuan masyarakat beradat Pepadun lainnya seperti Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Way Kanan dan Pubian Telu Suku. Marga Bunga Mayang Sungkai adalah merupakan Marga yang terbesar dan terluas wilayahnya karena pengertian marga di Bunga Mayang meliputi seluruh kebuwayan yang ada di seluruh wilayah Sungkai yang telah mendirikan tiuh-tiuh adat.
          Setiap tiuh, ada penyimbang marga, penyimbang tiuh, penyimbang lebuh, penyimbang suku (penyimbang Pepadun). Mereka ini dibedakan menurut kedudukannya dengan bentuk warna pakaian yang dipakai pada waktu mengikuti upacara adat di Sesat.
          Perlengkapan adat lainnya dapat dipergunakan oleh setiap warga adat melalui musyawarah perwatin adat dan atas persetujuan penyimbang marga masing-masing tiuh. Penyimbang marga maupun tiuh bertugas mewakili tiuhnya apabila berhadapan dengan tiuh di luar Marga Bunga Mayang Sungkai. Penyimbang lebuh bertugas mewakili lebuhnya berhadapan dengan lebuh lain dalam tiuhnya, Penyimbang suku (penyimbang pepadun) bertugas mewakili pepadunnya berhadapan dengan pepadun lain dalam tiuhnya.
          Sampai saat ini bentuk peradaban masyarakat adat Sungkai Bunga Mayang terrealisasi melalui benda pusaka dan peralatan-peralatan adat. Menurut manuskrip dari Ratu Bangsawan terdapat beberapa benda-benda tersebut dan masih sampai sekarang dimiliki oleh orang-orang yang bermarga Sungkai, seperti:

KONDISI SAAT INI

I. Wilayah
          Marga Bunga Mayang Sungkai sekarang berada pada empat kecamatan definitif: Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Bunga Mayang dan Muara Sungkai. Keempat kecamatan tersebut memiliki sekitar 82 tiuh. Penduduk yang bermukim di setiap tiuh terdiri dari warga pribumi dan pendatang. Penduduk pribumi berasal dari beberapa kebuwayan, yakni:
1. Kebuwayan Indor Gajah
2. Kebuwayan Silembasi
3. Kebuwayan Perja
4. Kebuwayan Harayap
5. Kebuwayan Di Bintang
6. Kebuwayan Liwa
7. Kebuwayan Semenguk
8. Kebuwayan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
          Setiap kebuwayan memiliki tata-titi adat. Meski sama-sama beradat Pepadun, ada ciri khas tata-titi setiap kebuwayan. Ciri-ciri tersebut berkembang masing-masing akibat sulitnya sarana transportasi antar kebuwayan masa lalu. Dengan tak ada laginya kendala semacam itu, sudah saatnya Marga Bunga Mayang Sungkai menyatukan visi dan misi dalam rangka membangun Kabupaten Lampung Utara, terutama di wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai.
          Selain dari pada keterangan di atas, Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai telah menyatukan diri dalam suatu naungan organisasi. Dasar rujukan organisasi Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai merujuk pada peraturan pemerintah daerah No. 13 Tahun 2000 tetang, Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat yang diterbitkan pada tanggal 12 September 2000.
          Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai melakukan Musyawarah sekaligus membentuk kepengurusan organisasi. Organisasi adat Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai bernama “Gunom Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai”. Terbentuk pada tanggal yang di tetapkan oleh musyawarah adat pada 11 November 2001 di Ketapang, Kabupaten Lampung Utara. Adapun struktur organisasi “Gunom Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai” akan digambarkan di bawah ini.


Struktur organisasi “Gunom Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai”

STRUKTUR KEPENGURUSAN LEMBAGA MUSYAWARAH MASYARAKAT ADAT MARGA BUNGA MAYANG SUNGKAI
Ketua Umum          : Ir. Anshori Djausal, M.T.         Glr. Ratu Sepahit Lidah

Ketua – Ketua        : Rusdan Effendi, BBA                Glr. Tuan Turunan Raja

                                               Abu Yazid Bustomi    Glr. Suntan Jaya Merga

                                               Syamsuddin              Glr. Suntan Ratu Alamsyah

                                               Ajmain                       Glr. Kepala Sangun Ratu

                                               Johar                         Glr. Ratu Segero

                                               Tajudin                      Glr. Raja Nyinang



Sekretaris Umum     : Aminudin Thaib                   Glr. Suntan Ulangan

Sekretaris I              : Fauzan Abdullah                   Glr. Pemuka Jaya

Sekretaris II             : Drs. Hi. Hidayatullah            Glr. Ratu Pengadilan

Sekretaris III            : Jamaludin Hipni                   Glr. Ratu Asal



Bendahara Umum    : Ratu Bangsawan                  Glr. Minak Sunan Bangsawan

Bendahara I              : Faizin

Bendahara II             : Drs. Hadi Kesuma

Benndahara III          : Juanda HR                          Glr. Raja Mula Jadi




KEPUSTAKAAN
Djausal, Anshori & dkk. 2002. “Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai”.  Kotabumi: Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai.
Suntan Ulangan. 2005. “Gawi Agung Sumbay Pat”. Lampung Utara: t.p. Manuskrip.

Nara Sumber
Nama         : Ratu Bangsawan Gelar Minak Sunan Bangsawan
                     Bin H. Umar Gelar Suntan Pengiran
Usia            : 61 tahun
Tgl Lahir     : 18 November 2015
Pekerjaan    : Pensiunan PNS (Sekcam Sungkai Selatan)
Alamat        : Kampung baru, Kotabumi, Lampung Utara.
Ket.             : Asal Kampung Banjar Negeri Kec. Muara Sungkai, Buay Perja Marga Bunga 
                     Mayang Sungkai.
Istri             : Bairah Gelar Sunan Indoman Ratu
Tgl Lahir     : 24 November 1959
Pekerjaan    : PNS (Guru SD N 2 Kotabumi Tengah)



Lampiran

Wawancara dengan Ratu Bangsawan sebagai bukti penelitian ke lapangan
(Foto: Edo, 23 November  2015).
 




            [1]Wawancara dengan Ratu Bangsawan tanggal 23 November 2015 di rumah kediamannya daerah Kampung Baru, diijinkan untuk dikutip.


            2Teuku Ibrahim Alfian, "Bunga Rampai Metode Penelitian Sejarah", Yogyakarta: LERES IAIN Sunan Kalijaga, 1984, seperti dikutip oleh Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 1-2.
            [2]Sartono Kartodirjo, "Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi Perancis dan Revolusi Indonesia", dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, ed., Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.Dr. Denys Lombard (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cetakan 1, 1999), 105.
            [3]Gilbert J. Garraghan S.J., A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, cet. ke-4, 1957), 3.