Sabtu, 29 Agustus 2015

Talo Balak



TALO BALAK DALAM UPACARA ADAT LAMPUNG

Oleh
Erizal Barnawi

INTISARI

Ansambel Talo Balak terdiri dari instrumen kulitang, gung, gujih, canang, dan talo. Talo Balak selalu dipakai sebagai alat musik pokok dan pengiring dalam prosesi upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei dipergunakan sebagai pengambilan gelar adat tertinggi di jurai Pepadun, gelar adat tertingginya yaitu suttan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk penyajian dan fungsi Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Pendekatan etnomusikologis dipergunakan sebagai pendekatan utama dalam penelitian ini, ditopang kajian antropologis, organologis, dan musikologis. Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan dan kajian kepustakaan.
Talo Balak adalah bentuk kecerdasan setempat masyarakat Kampung Kota Alam terhadap kebutuhan di dalam adat istiadat, dan dalam upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Menurut masyarakat adat Kampung Kota Alam, tanpa adanya Talo Balak di dalam upacara adat Begawei Mepadun, maka upacara adat tersebut dianggap tidak sempurna. Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam memiliki tiga bentuk penyajian, yaitu: bentuk penyajian musikal, bentuk penyajian non musikal, dan struktur penyajian Talo Balak. Ansambel Talo Balak memiliki dua fungsi yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer meliputi fungsi sebagai sarana ritual, fungsi hiburan, dan fungsi sebagai presentasi estetis. Fungsi sekunder meliputi fungsi sebagai sarana komunikasi, fungsi pengesahan lembaga sosial, dan fungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat.
                         
Kata Kunci : Talo Balak, Begawei Mepadun, Bentuk, Fungsi

PENGANTAR

Lampung adalah wilayah paling selatan pulau Sumatera dan terdekat dengan pulau Jawa. Sejak zaman dahulu Lampung telah menjadi gerbang perlintasan antara kedua pulau, sehingga penduduk yang menetap di Lampung saat ini terdiri dari beberapa suku bangsa yang ada di Indonesia, karena Indonesia adalah negara ribuan pulau, memiliki lebih dari 500 kelompok etnis yang berbeda, serta enam agama besar.[1] Masyarakat Lampung terdiri dari dua jurai (sub etnis) yang dibedakan berdasarkan dialek bahasanya. Kedua sub etnis tersebut yaitu Pepadun dan Saibatin. Jurai Pepadun yang berkediaman di daerah pedalaman Lampung terdiri dari masyarakat adat Abung (Abung Siwo Migo), Pubian (Pubian Telu Suku), Tulang Bawang (Migo Pak Tulang Bawang), Bunga Mayang (Sungkai) dan Way Kanan (Buai Lima). Jurai Saibatin berkediaman di sepanjang pesisir, termasuk masyarakat adat Krui, Peminggir Semangka, Peminggir Pemanggilan, Peminggir Teluk, Melinting, Meninting, Ranau (Muara Dua), Komering (Kayu Agung), dan Cikoneng (Banten).[2]
Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk hukum adat masyarakat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Salah satu perbedaan dapat dilihat pada gelar yang dimiliki oleh kedua jurai tersebut. Masyarakat Lampung Saibatin memperoleh gelar adat berdasarkan garis keturunan dan gelar adat tertingginya disebut pengiran, sedangkan masyarakat Lampung Pepadun dapat memperoleh gelar adat dengan cara melakukan sebuah upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei untuk meraih gelar kedudukan yang lebih tinggi di jurai Pepadun. Gelar adat Lampung Pepadun yang tertinggi yaitu gelar adat suttan.[3]
Masyarakat adat Lampung memiliki falsafah hidup yang masih mereka junjung tinggi dalam keseharian dan menjadi ciri khas bagi masyarakat adat tersebut. Misthohizzaman menyebutkan lima urutan dari falsafah yang dapat mempersatukan perbedaan yang ada antara masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin.[4] Kelima falsafah tersebut antara lain: pi’il pasenggiri (rasa harga diri), bejuluk beadek (memiliki julukan dan gelar adat), nemui nyimah (terbuka tangan/suka memaafkan), nengah nyappur (hidup bermasyarakat, dan menghormati tamu), dan sakai sambayan (tolong menolong).
            Falsafah hidup inilah yang menjadi salah satu latar belakang bagi masyarakat Lampung untuk memiliki gelar adat dimana dalam falsafah tersebut status sosial dari seseorang yang masih hidup dalam masyarakat adat harus memiliki julukan/gelar adat (bejuluk beadek). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung masih memegang teguh falsafah hidup dengan memiliki gelar adat, sebab dalam falsafah masyarakat Lampung tersebut diatur bahwa setiap masyarakat adat Lampung harus memiliki julukan (bejuluk) dan memiliki gelar adat (beadek). Berdasarkan salah satu butir yang terdapat pada falsafah masyarakat Lampung, maka masyarakat adat Lampung Pepadun yang belum melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei hanya memperoleh julukan saja. Namun, jika seseorang ingin memperoleh gelar adat maka harus menikah dan melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei istilah lainnya merupakan mepadun, yaitu naik kedudukan atau naik tahta.
            Sistem pelapisan sosial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Lampung pada umumnya didasari pada perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat, jabatan, dan perbedaan sifat keaslian. Pelapisan sosial berdasarkan umur dapat dilihat pada upacara adat, dimana pembagian tugas didasari pada tingkat umur. Seperti halnya dengan tugas kelompok usia lanjut (lebih dari 50 tahun) merencanakan, menentukan hari, dan mengatur dalam suatu pelaksanaan upacara adat. Bagi kelompok muda dan telah berkeluarga bertugas sebagai pendamping/pembantu kelompok usia lanjut. Kelompok muda-mudi (laki-laki/perempuan), bertugas sebagai pelaksana upacara yaitu pada bagian pembuka dan penutup upacara.[5]
            Pelapisan sosial tertinggi berdasarkan pangkat dan jabatan disebut kepenyimbangan (tetua adat). Jurai masyarakat Lampung Pepadun, mengenal kata penyimbang yang merupakan pemegang jabatan sebagai kepala dalam sebuah unit sosial masyarakat Lampung Pepadun. Kepenyimbangan masih dibagi menjadi tiga penyimbang yang didasarkan pada garis keturunannya dimulai dari tingkatan tertinggi yaitu penyimbang margo atau penyimbang bandar, yang berkuasa atas suatu marga, penyimbang tiyuh, memimpin sebuah tiyuh/anek (kampung) dan penyimbang suku, memimpin sebuah suku yang anggotanya terdiri dari sekitar 20 kepala keluarga.[6] Masyarakat adat Lampung yang tidak tergolong dalam golongan kepenyimbangan di atas, disebut masyarakat biasa, yaitu masyarakat yang tidak tentu garis keturunannya dan tidak memiliki hak dan kewajiban dalam adat.
            Berdasarkan pelapisan sosial yang telah dijelaskan, maka setiap kepala keluarga masyarakat Lampung Pepadun wajib melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei untuk membuat status sosial dalam jurai Pepadun. Begawei Mepadun Munggahi Bumei merupakan peristiwa pelantikan penyimbang (pemimpin adat) menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun dan disahkan oleh lembaga prowatin dikenal juga dengan pelafalan lain, yaitu perwatin (majelis pemangku adat/tokoh adat).[7]
Pelaksanaan Begawei Mepadun Munggahi Bumei dalam tulisan ini akan difokuskan pada kelompok Abung Siwo Migo Marga Nyunyai masyarakat adat jurai Pepadun yang ada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara Provinsi Lampung. Abung Siwo Migo berarti abung sembilan marga, yaitu: 1). Marga Nyunyai; 2). Marga Unyi; 3). Marga Nuban; 4). Marga Beliuk; 5). Marga Kunang; 6). Marga Anak Tuho; 7). Marga Selagai; 8). Marga Nyerupa; dan 9). Marga Subing.[8] Masyarakat Abung Siwo Migo memiliki kebudayaan yang erat serta mempunyai unsur-unsur budaya, seperti agama mayoritas Islam, kekerabatannya patrilineal, politik kepemimpinan berdasarkan keturunan, ekonomi bercocok tanam (pertanian), serta keseniannya seperti tari, pencak, musik, dan sastra.[9]
Begawei adat (acara adat) Lampung Pepadun Abung Siwo Migo yang ada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara tidak pernah lepas dari unsur-unsur seni. Kesenian yang berperan di dalamnya, salah satunya adalah ansambel Talo Balak yang menjadi objek dari tulisan ini.[10] Talo Balak adalah seperangkat alat musik tradisional daerah Lampung yang sudah dikenal oleh masyarakat Lampung pada umumnya, sebab secara adat alat musik ini memegang peranan sangat penting terutama dalam acara adat. Beberapa sumber dari tokoh adat dan masyarakat Lampung menganggap dengan tanpa kehadiran ansambel Talo Balak ini maka upacara atau acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna.
            Penelitian sebelumnya tentang Talo Balak telah dilakukan oleh Hasanudin sebagai salah satu syarat untuk menempuh S-1 Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 2007, dalam penelitiannya Hasanudin menyebutkan ansambel Talo Balak yang berada di Dusun Kampung Tuha Desa Buminabung Ilir Kecamatan Buminabung Ilir Kabupaten Lampung Tengah memiliki instrumen gendang atau rebana sebagai pembentuk ritmisnya, instrumen kulitang yang terdiri dari enam buah alat musik yang berpencon serta tersusun berjejer dan bernada do-re-sol-la, nama-nama tabuhannya yaitu, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, Tabuh Migol Bekekes, Tabuh Jawo, dan Tabuh Tari. Berbeda dengan hal tersebut, ansambel Talo Balak yang berada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara tidak menggunakan gendang atau rebana, serta instrumen kulitangnya terdiri dari sembilan buah alat musik yang berpencon serta tersusun berjejer dengan modus nada A-Bes-Cis-D-E-G-b-d-fis, dan nama-nama tabuhannya yaitu, Tabuh Tari, Tabuh Gupek, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, Tabuh Sirang, dan Tabuh Ujan Tuyun. Di samping itu, pola ritmis, pola tabuhan, dan penempatan tabuhannya pun berbeda dalam Begawei Mepadun.
Curt Sachs dan Eric M. Van Hornbostel mengklasifikasikan instrumen musik menjadi lima golongan/kelompok, yaitu idiophone (sumber bunyi instrumen berasal dari badan alat musik), aerophone (sumber bunyi instrumen berasal dari udara atau satuan udara yang berada dalam alat musik), membranophone (sumber bunyi instrumen berasal dari kulit atau selaput tipis yang diregangkan), chordophone (sumber bunyi instrumen berasal dari senar (dawai) yang ditegangkan), dan electrophone (instrumen musik yang ragam bunyi atau penguat bunyinya dibantu atau disebabkan adanya aliran listrik).[11]
Berdasarkan klasifikasi instrumen di atas, ansambel Talo Balak tergolong jenis musik idiophone, dimana bagian tubuh alat musik tersebut merupakan penghasil suara yang dimainkan dengan teknik dipukul (perkusi). Ansambel Talo Balak yang terdapat di Kelurahan Kota Alam terdiri dari instrumen: (1) Instrumen kulitang, yaitu instrumen berpencon yang terdiri dari sembilan buah pencon. Kulitang memiliki beberapa kemiripan bentuk dan teknik permainan dengan instrumen berpencon dari daerah lain seperti instrumen talempong dari Sumatra Barat, instrumen reong dari Bali.
Instrumen kulitang dalam permainannya berfungsi sebagai instrumen pembawa melodi pokok serta sebagai pembuka dan penutup sebuah tabuhan (lagu); (2) Talo, yaitu instrumen berpencon berukuran besar seperti instrumen kempul di karawitan Jawa. Instrumen talo terdiri dari dua instrumen yaitu talo balak (besar) dan talo lunik (kecil); (3) Gujih, yaitu instrumen yang bentuknya seperti instrumen ceng-ceng kopyak dalam ansambel Gong Gede Bali dan ukurannya lebih kecil dari instrumen ceng-ceng kopyak. Instrumen gujih terdiri dari dua instrumen; (4) Bendi, yaitu instrumen berpencon yang bentuknya seperti instrumen jengglong dalam ansambel gamelan Degung Sunda; dan (5) Gung, yaitu instrumen berpencon bentuknya seperti kenong dalam ansambel Karawitan Jawa, dan digantung menggunakan tali di cagak siger. Melihat serta memperhatikan fenomena yang terdapat pada pelaksanaan Begawei Mepadun Munggahi Bumei Marga Nyunyai, maka sangat penting dilakukan penelitian. Adapun masalah yang menjadi fokus penelitian dan untuk memudahkan dalam mengkaji data di lapangan adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk penyajian Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei? 2. Bagaimana fungsi Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei?.

PEMBAHASAN

Begawei adat (acara adat) Lampung Pepadun Abung Siwo Migo yang ada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan Kotabumi Selatan[12] Talo Balak adalah seperangkat alat musik tradisional daerah Lampung yang sudah dikenal oleh masyarakat Lampung pada umumnya, sebab secara adat alat musik ini memegang peranan sangat penting terutama dalam acara adat. Beberapa sumber dari tokoh adat dan masyarakat Lampung menganggap dengan tanpa kehadiran ansambel Talo Balak ini maka upacara atau acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna.
Ansambel musik etnis Talo Balak ini pada awalnya memiliki banyak nama/istilah sesuai dengan daerah masing-masing, yaitu dengan penyebutan istilahnya: Kelenongan, Kulitang, Kerumung, dan beberapa istilah lainnya. Berdasarkan kesepakatan dari tokoh-tokoh adat Lampung membuat kesepakatan dengan memberikan sebutan bahwa alat musik tradisional Lampung adalah Talo Balak.[13] Ansambel Talo Balak biasanya digunakan sebagai iringan tari Sigeh Penguten, tari Cangget, tari Melinting, dan prosesi-prosesi dalam upacara adat seperti arak-arakan, pelepasan pengatin, dan penerimaan tamu.

Bentuk Penyajian Musikal

            Musikalitas dalam musik tradisi Talo Balak adalah sesuatu yang menyangkut aspek bunyi (audio) yang dihasilkan dari aktivitas ansambel Talo Balak serta unsur-unsur yang mempengaruhi bunyi tersebut sehingga menimbulkan kesan tertentu. Beberapa catatan tentang ansambel Talo Balak pada umumnya telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini. Pemahaman tentang hal tersebut tentunya berguna agar diperoleh gambaran yang jelas tentang penganalisisan ansambel Talo Balak. Perlu diketahui bahwa dalam tradisi musik ansambel Talo Balak tidak memiliki sistem penotasian (non literate), tidak seperti halnya pada gamelan pada daerah Yogyakarta atau Surakarta yang telah mempunyai sistem penotasian yang disebut notasi Kepatihan, karawitan Sunda dengan notasi Daminatila, dan karawitan Bali dengan notasi Ding-dong.
            Menganalisis unsur penyajian ansambel Talo Balak yang ada di Kampung Kota Alam, merupakan bagian yang tidak kalah penting untuk dibahas dengan mengutamakan analisis musikologisnya. Hal ini disebabkan analisis musikologis cenderung menyangkut pada pemahaman tentang sistem nada, struktur melodi dan variabel-variabel musik yang konotatif dengan aspek budaya, religi, adat-istiadat, dan sebagainya.[14] Berdasarkan kamus bahasa Inggris Indonesia, arti dari analisis adalah pemisahan dan pemeriksaan yang teliti.[15] Pemeriksaan yang dimaksud di sini adalah pemeriksaan secara teliti terhadap penyajian ansambel Talo Balak yang tertuju pada analisis musikologis, yang diperoleh dari susunan bunyi-bunyian musik dengan konteks kultur masyarakat Kampung Kota Alam, sehingga menduduki kedudukan yang terpisah guna diselidiki dari sudut pandang ilmu musik.
            Mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka akan dicoba untuk menganalisis beberapa hal yang dianggap penting untuk dianalisis yang berhubungan dengan objek penelitian ini, yaitu ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Langkah pertama yang akan dilakukan untuk menganalisis ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun ini adalah terlebih dahulu melihat ansambel Talo Balak tersebut secara keseluruhan. Maksudnya, ansambel Talo Balak ini adalah sebuah musik yang memiliki awal dan akhir dalam penyajiannya, atau dengan kata lain ansambel Talo Balak dapat dipandang sebagai musik yang memiliki struktur. Ansambel Talo Balak pada dasarnya memiliki beberapa hal pokok yang terkandung di dalamnya, yang kiranya perlu untuk dibahas serta dianalisis lebih lanjut, yaitu instrumentasi dari ansambel Talo Balak, sistem tangga nada/modus nada yang ada dalam ansambel Talo Balak, nama-nama tabuhannya, dan transkripsi musik.
Instrumentasi di ansambel Talo Balak
Instrumen kulitang
            Nada-nada pada tiap-tiap intrumen kulitang memiliki interval nada yang berbeda-beda dengan nadanya yaitu A-Bes-Cis-D-E-G-b-d-fis. 
                       
Gambar 1. Instrumen kulitang yang berada di Kampung Kota Alam
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013). 
Instrumen talo
Ada dua buah instrumen talo yang digunakan, yaitu talo balak (talo besar) dan talo lunik (talo kecil) serta keduanya digunakan dalam tiap-tiap tabuhan.
Talo yang ada di Kampung Kota Alam ini memilki diameter 55 cm untuk talo yang besar dan 50 cm untuk talo yang kecil. Talo berfungsi sebagai pengatur ritme dari irama melodi kulitang dan sebagai penutup suatu urutan bunyi yang dimainkan dalam suatu tabuhan. Sebagai contoh dapat dilihat pada pola tabuhan instrumen talo dalam notasi balok di bawah ini:
Pola instrumen talo pada tabuhan Tabuh Tari, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, Tabuh Sirang, dan Tabuh Gupek.


Gambar 2. Instrumen talo lunik (sebelah kanan penabuh/pemain) dan talo balak (sebelah kiri penabuh/pemain) (Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).

Instrumen gujih
Pola instrumen gujih pada tabuhan Tabuh Tari

Gambar 3. Instrumen gujih (Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
Instrumen canang
Pola instrumen canang pada tabuhan Tabuh Tari
Gambar 4. Instrumen canang
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
Instrumen gung
Pola instrumen gung pada Tabuhan Tabuh Tari
Gambar 5. Instrumen gung
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).

Tangga Nada
            Instrumen kulitang sebagai pembawa melodi yang dijadikan standar pengukuran di sini. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan standar pengukuran dengan instrumen kulitang yang berasal dari kampung lainnya yang ada di Kecamatan Kotabumi Selatan ataupun di kampung-kampung yang satu kelompok dari Abung Siwo Migo jurai Pepadun.
 
Nada A Nada Bes Nada Cis Nada D Nada E Nada G Nada b Nada d Nada fis
 

Pencon 1 Pencon 2 Pencon 3 Pencon 4 Pencon 5 Pencon 6 Pencon 7 Pencon 8  Pencon 9
Keterangan:
: Pencon (sumber nada yang dipukul/perkusi)

Nama-Nama Tabuhan
            Tabuh Tari, Tabuh Sirang, Tabuh Gupek, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, dan Tabuh Ujan Tuyun. Kesemuaan tersebut digunakan untuk dalam proses di upacara adat Kampung Kota Alam. Selain itu, tabuhan ini menjadi lagu inti pada tiap-tiap proses adat.

Bentuk Penyajian Non Musikal

            Tempat penyajian ansambel Talo Balak selalu dilakukan di dalam sesat (balai adat). Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat Lampung juga sering melakukan penyajian di berbagai tempat, biasanya di panggung terbuka, gedung pementasan, dan ruang publik yang berorientasi ke hiburan. Waktu penyajian Talo Balak di dalam upacara adat sampai saat ini berlangsung selama dua hari dua malam. Penabuh disini lebih diutama kepada pemain yang memag sudah mengerti benar akan esensi dan bermain secara baik. Artinya, saat memainkan musik Talo Balak sudah hafal di luar kepala.      Tidak ada aturan khusus penempatan alat musik Talo Balak. Akan tetapi saat ini bisanya Talo Balak di tempat di atas panggung dengan ketinggi satu meter sampai satu meter setengah dengan lebah dan panjang 3x4 meter. Untuk kostum pemain Talo Balak dalam upacara adat hanya menggunakan peci dan sarung yang di gulung sampai mendekati lutut, seperti pakaian melayu pada umumnya. Akan tetapi yang membedakan corak serta motif yang has dari Lampung. Pengaturan cahaya hanya digunakan sebagai penerang pada malam dan tidak menggunakan tata cahaya yang seperti pada umumnya di terapkan pada pentasan festival atau panggung hiburan. Penggunaan pengeras suara hanya digunakan untuk pembesaran suara di dalam penyajian Talo Balak. Fungsinya agar para masyarakat adat yang terlibat mendengar secara jelas tabuhan dan pukulan musik Talo Balak.
Fungsi Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei
Fungsi Primer Ansambel Talo Balak
            Fungsi primer adalah fungsi sebuah pertunjukan yang tujuannya untuk dinikmati oleh penikmatnya.[16] Pada ansambel Talo Balak fungsi primer terbagi menjadi tiga fungsi yaitu fungsi sebagai sarana ritual, fungsi hiburan, dan fungsi sebagai presentasi estetis.
Fungsi Sebagai Sarana Ritual
            Talo Balak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Begawei Mepadun Munggahi Bumei, karena ansambel Talo Balak sebagai pelengkap dan pengiring suatu prosesi upacara pengambilan gelar adat. Salah satu instrumen canang yang terdapat di ansambel Talo Balak dipakai untuk pengesahan pada saat pemberian dan penyebutan gelar adat suttan kepada saybul hajad.
            Begawei Mepadun Munggahi Bumei merupakan suatu upacara adat yang telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Kampung Kota Alam. Begawei tersebut masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kota Alam karena umumnya masih teguh mempertahankan adat istiadat leluhur mereka. Masyarakat Kampung Kota Alam berpendapat jika adat istiadat yang mereka jalankan berlandaskan pada agama Islam, dan agama Islam bersandar kepada Kitabullah maka disini terjalin hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah manusia dengan Tuhannya dimana adat istiadat masyarakat Kampung Kota Alam bersandarkan kepada agama yaitu Islam, dan hubungan horizontal adalah individu dengan individu dalam masyarakat yang diatur oleh hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
            Aktifitas-aktifitas yang terjalin dalam adat istiadat yang dilakukan masyarakat Kampung Kota Alam berkaitan dengan agama dan Tuhannya. Baik secara langsung maupun tidak langsung aktivitas tersebut terjalin dalam adat istiadat, karena dalam agama Islam yang dianut masyarakat Kampung Kota Alam juga mengatur hubungan horizontal yaitu hubungan seorang individu dengan masyarakat lingkungannya yang diaplikasikan pada bentuk upacara adat yang disebut begawei mepadun munggahi bumei.
Fungsi Hiburan
            Menurut Soedarsono seni pertunjukan memiliki fungsi primer yang pada intinya adalah untuk menghibur, yaitu menghibur kepada kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata, menghibur kepada diri pelakunya, dan menghibur kepada penonton.[17] Pernyataan ini diperkuat dengan klasifikasi fungsi yang dinyatakan oleh Allan P. Merriam yang dalam teori fungsinya menyatakan hiburan termasuk fungsi dalam musik (seni pertunjukan).
            Pementasan ansambel Talo Balak tidak memandang struktur masyarakat. Sealur dengan fungsinya, ansambel Talo Balak kerap kali disajikan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat Kampung Kota Alam maupun pihak lain. Selain hiburan dalam prosesi upacara adat, ansambel Talo Balak juga biasa dipentaskan dalam acara festival kesenian rakyat yang berpangkal dari perayaan hari-hari besar negara maupun murni pertunjukan dalam festival tingkat kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.[18]
            Fungsi hiburan dalam bentuk tontonan adalah salah satu bagian dalam memberikan wahana apresiasi seni rakyat kepada masyarakat luas. Selain itu, penyajian Talo Balak dalam berbagai event memberikan peluang dalam membuka diri dan mengenalkan ansambel Talo Balak. Sejalan dengan itu, melalui penyajian ansambel Talo Balak dalam suatu peristiwa merupakan salah satu sarana pembuktian bahwa kesenian rakyat masyarakat Kampung Kota Alam sampai sekarang masih tetap lestari serta masih mendapat dukungan kuat dari masyarakat setempat.
            Fungsi utama jenis kesenian hiburan adalah bilamana kesenian itu dapat menghibur atau membuat suasana pertunjukan itu sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya yang melibatkan pemain maupun penonton. Seirama dengan fungsi yang dimilikinya, maka kebanyakan seni-seni kerakyatan sangat lekat di tengah para penontonnya. Hal ini dapat dilihat saat ansambel Talo Balak dipentaskan dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei (pada prosesi di malam cangget) yang disajikan di dalam penurunan sesat mungah dabung, dimana banyak masyarakat yang berkeinginan datang ke lokasi untuk melihat lebih dekat jalannya pementasan. Antusias masyarakat untuk menonton penyajian ansambel Talo Balak dilakukan dengan sendirinya. Dengan kata lain, walau cuma mendengar berita secara lisan atau tidak ada pemberitahuan secara luas (iklan atau undangan), mereka akan tetap berbondong-bondong untuk menyaksikan pertunjukan ansambel Talo Balak serta tidak dipungut adanya semacam biaya. Hal ini dikarenakan semua biaya pementasan telah ditanggung oleh penyelenggara atau yang punya hajat.

Fungsi Sebagai Presentasi Estetis
            Seni pertunjukan sebagai hasil kebudayaan terjadi mula-mula ingin memuaskan kebutuhan akan naluri dalam bentuk estetis. Dalam perspektif filsafat keindahan, selama ini telah banyak mengeluarkan ragam teori dan pandangannya. Hal ini menyangkut tentang wawasan terhadap kesenian, baik dipandang dari sudut bendanya maupun persepsi keindahannya. Selain pandangan mengenai benda dan keindahannya, sudut pandang juga telah meliputi fungsi serta kemampuan penyerapan dalam hati manusia (audiens).[19] Estetika perlu dikaji guna menangkap unsur-unsur keindahan serta makna yang terkandung dalam penyajian ansambel Talo Balak tersebut. Sampai sekarang kita belum melihat kriteria dan keindahan dalam seni pertunjukan.
            Menyimak dari ungkapan di atas, tampak kajian estetika membutuhkan adanya bentuk tindak apresiasi. Apresiasi dimaksudkan sebagai rasa kesadaran  terhadap adanya nilai-nilai karya seni budaya yang telah ada.[20] Musik merupakan suatu karya seni. Suatu karya dapat dikatakan karya seni apabila dia memiliki unsur keindahan atau estetika di dalamnya. Melalui musik kita dapat merasakan nilai-nilai keindahan baik melalui melodi ataupun dinamikanya. Pada ansambel Talo Balak terdapat unsur keindahannya terlihat pada saat mengiringi tarian-tarian adat, para penabuh kompak dalam memulai dan berhenti dalam tiap-tiap tabuhannya (lagu), keterampilan menabuh ansambel Talo Balak terlihat pula pada saat peralihan antar prosesi, strukturnya sama dalam tabuhan, akan tetapi tiap pola permainan penabuh berbeda tingkat keindahannya.
Fungsi Sekunder Ansambel Talo Balak
            Fungsi sekunder dilihat jika seni itu bertujuan bukan hanya sekedar dinikmati tetapi untuk kepentingan lainnya sebagai bagian dari masyarakat.[21] Pada ansambel Talo Balak fungsi sekunder terbagi menjadi tiga fungsi yaitu fungsi sebagai sarana komunikasi, fungsi pengesahan lembaga sosial, dan fungsi pengikat solidaritas masyarakat.
Fungsi Sebagai Sarana Komunikasi
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.[22] Berbicara masalah komunikasi sebenarnya tidak terlepas dari sebuah bentuk interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada suatu kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar individu, kelompok maupun individu dengan kelompok.[23] Dengan demikian, suatu interaksi sosial terjadi apabila adanya kontak sosial dan adanya komunikasi.
            Musik memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah musik yang berlaku di suatu daerah kebudayaan mengandung isyarat-isyarat tersendiri yang hanya diketahui oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teks atau pun melodi musik tersebut. Demikian pula pada musik Talo Balak, merupakan bentuk musik tanpa teks yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Kota Alam yang bermarga Nyunyai. Mereka sendiri dengan mudah memahami fungsinya sebagai komunikasi lewat suara ataupun tabuhan (lagu) yang dimainkan oleh ansambel Talo Balak tersebut.
            Hal ini dapat dimengerti karena sudah merupakan tradisi yang secara turun temurun dilakukan di kampung tersebut. Sebagai contoh, ketika Tabuh Gupek ditabuh, masyarakat telah tahu bahwa tabuhan itu digunakan pada saat mengarak tiap-tiap prosesi gawei. Ataupun canang yang ditabuh sebagai pertanda pemberian juluk adat atau gelar adat pada tuan rumah (saybul hajad) yang melakukan prosesinya, sehingga masyarakat setempat yang ingin melihat secara langsung jalannya begawei tersebut langsung berangkat menuju lokasi.
Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial
            Fungsi musik Talo Balak disini menurut beberapa sumber dari tokoh adat dan masyarakat Kampung Kota Alam, yang menganggap dengan tanpa adanya kehadiran ansambel Talo Balak ini maka begawei atau acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna. Berarti bahwa sebuah ansambel Talo Balak memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu begawei adat. Musik merupakan salah satu unsur yang penting dan menjadi bagian dalam upacara, bukan hanya sebagai pengiring. Sebagai contoh, canang yang ditabuh pada saat legitimasi atau pemberian gelar adat atau julukan adat dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei di Kampung Kota Alam, dan tabuhan-tabuhan (lagu) dalam mengiringi tari-tarian adat yang diadakan di dalam sesat.
Fungsi Sebagai Pengikat Solidaritas Masyarakat
            Ansambel Talo Balak tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat setempat, karena alat musik tersebut juga merupakan wujud kegiatan sosial, artinya menyangkut kehidupan bermasyarakat. Ansambel Talo Balak merupakan bagian integral dari sistem sosial masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat bahwa alat musik dapat meningkatkan solidaritas dan persatuan di antara mereka. Semua ini akhirnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tingginya rasa kegotong-royongan, persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.
            Rasa persatuan dan kesatuan antara kelompok musik Talo Balak dan anggota masyarakat dapat dilihat dalam kegiatan gotong-royong, di antaranya dalam membuat atau mendirikan tempat prosesi adat, seperti lunjuk, kayu aro, lawang kuri, ijan/titian, pembersihan lingkungan, maupun dalam rangka penyajian ansambel Talo Balak. Mereka saling menolong demi terciptanya rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
            Rasa solidaritas antar masyarakat dalam kehidupan masyarakat Kampung Kota Alam adalah falsafah yang mendasar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena masyarakat Kampung Kota Alam memegang teguh falsafah Lampung yang berbunyi sakai sambayan (tolong menolong). Rasa solidaritas merupakan faktor dominan sehingga ansambel Talo Balak mampu berkiprah. Selain adanya motivasi untuk berinteraksi dalam kolektivitas kebudayaan di era global ini, rasa kebersamaan yang terjalin harmonis antar sesama pemainnya. Selain sebagai sarana-sarana bagi masyarakat, ansambel Talo Balak berhasil menjadi wadah untuk menjalin ikatan sosial terhadap masyarakat Kampung Kota Alam. Ikatan sosial tersebut terkadang tidaklah hanya berhenti dalam wilayah berkesenian di dalam ansambel Talo Balak namun mereka secara bersama-sama mempunyai kesadaran kongkrit sebagai bagian dari masyarakat Kampung Kota Alam dalam memajukan keseniannya.
KESIMPULAN
            Masyarakat etnis Lampung Pepadun Abung Siwo Mego adalah masyarakat mayoritas yang mendiami propinsi Lampung serta masyarakatnya masih memegang kepercayaan patrilineal dan kestatusan sosial dalam masyarakat adat. Kepercayaan tersebut melahirkan kegiatan-kegiatan upacara adat dan salah satunya adalah Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Begawei Mepadun Muaggahi Bumei dengan sajian ansambel Talo Balak di dalamnya merupakan upacara adat yang dapat dinilai sebagai suatu kebudayaan masyarakat Lampung Pepadun dan suatu kesenian tradisional yang masih murni, berfungsi sebagai upacara adat pengambilan gelar adat tertinggi dan menjadi penyimbang di dalam adatnya, dengan tujuan untuk menjadi pemimpin di dalam adat istiadat. Dengan kata lain, upacara adat pengambilan gelar adat tertinggi di jurai Pepadun yang bisa kapan saja dilaksanakan dengan catatan saybul hajad telah mampu melaksanakan Begawei Mepadun.
            Pelaksanaan Begawei Mepadun Munggahi Bumei merupakan wujud dari keyakinan masyarakat Kampung Kota Alam terhadap penyimbangan yang diyakini sebagai pemimpin yang beradat dalam mengatur baik buruknya dalam rumah tangga dan keluarga besarnya. Penyimbang adat adalah sebuah kehormatan bagi seorang laki-laki yang telah berkeluarga apabila telah memiliki gelar adat dan telah memimpin dalam adat istiadat dan sekaligus bahwa lelaki atau kepala keluarga tersebut tidak keluar dari adat dan masih ikut serta dalam kegiatan dan peraturan adat. Setiap laki-laki yang telah berkeluarga dan tidak memiliki gelar adat di dalam masyarakat Lampung maka seorang tersebut tidak menjalankan salah satu butir dalam falsafah pi’il pasenggiri yaitu bejuluk beadek yang artinya memiliki julukan di dalam adat dan memiliki gelar adat di dalam adat, serta dianggap telah keluar dari adat istiadat, kehilangan hak-haknya di dalam adat dan kedudukkan orang yang tidak memiliki gelar adat biasanya dijadikan sebah, beduwo, dalam begawei apabila ikut serta dalam upacara adat.
            Ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei sangat berperan penting sebagai pengiring dan pelengkap dalam upacara adat, dan juga di percaya oleh masyarakat Marga Nyunyai bahwa apabila tidak adanya ansambel Talo Balak maka suatu upacara adat tersebut dianggap tidak sempurna dalam begawei. Peranan ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun, adalah sejak dari awal prosesi begawei berlangsung sampai akhir akan penobatan atau legitimasi pengambilan gelar adat tertinggi ansambel Talo Balak terus dimainkan. Tahap demi tahap upacara Begawei Mepadun tidak lepas dari peranan ansambel Talo Balak, hingga akhirnya sampai pada tingkat pengesahan seorang kepala rumah tangga menjadi pemimpin di dalam adat istiadatnya. Pengambilan gelar adat tertinggi tersebut maksudnya adalah suatu prosesi adat dimana seorang bisa dipandang dalam masyarakat bahwasanya seorang tersebut mampu mengambil gelar adat tersebut dan selain itu terangkatlah status sosialnya dalam masyarakat adat. Tanpa penyajian ansambel Talo Balak, Begawei Mepadun Munggahi Bumei tidak dapat dilaksanakan sebagai upacara adat pengambilan gelar adat tertinggi di jurai Pepadun sebagaimana fungsinya.
            Masih tingginya keyakinan masyarakat Kampung Kota Alam yang diwariskan oleh nenek moyang mereka bahwa dengan menyajikan ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei, seorang kepala rumah tangga yang akan mengambil gelar adat, secara kemanusiaan akan merasa bangga dan terhibur sehingga menjadi meriahlah pesta adat besar tersebut. Selain itu, juga mendorong masyarakatnya untuk tetap mempertahankan keberadaan ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei.
            Penyajian ansambel Talo Balak di Kampung Kota Alam mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan penyajian ansambel Talo Balak di daerah lain atau kampung-kampung yang masih satu kesatuan Abung Siwo Migo. Ciri utama ansambel Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam adalah tidak menggunakan gendang/rebana sebagai pemimpin dalam ansambel melainkan instrumen kulitang yang menjadi pemimpin di dalam ansambel Talo Balak. Selain itu pula, ansambel Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam tabuhan-tabuhannya (lagu-lagu) berbeda judul tabuhan, sama judul tabuhan akan tetapi motif tabuhan serta tangga nadanya berbeda, dan memiliki sembilan nada dalam instrumen kulitangnya. Tidak seperti di daerah lain atau kampung-kampung yang satu kesatuan Abung Siwo Migo instrumen kulitangnya memiliki lebih dari sembilan nada.
            Ansambel Talo Balak memiliki dua modus nada yang dipergunakan untuk lima tabuhan yaitu: (1) Tabuh Tari; (2) Tabuh Gupek; (3) Tabuh Sanak Miwang Di Ijan; (4) Tabuh Ujan Tuyun; dan (5) Tabuh Sirang. Perilaku pembelajaran yang teramati dalam ansambel Talo Balak masih mengikuti metode tradisional, yaitu dengan cara peniruan, baik perorangan maupun klasikal, dan non-partitural. Ansambel Talo Balak pada masyarakat Kampung Kota Alam berfungsi sebagai: (1) fungsi hiburan; (2) fungsi sebagai kepuasan estetis; (3) fungsi sebagai sarana komunikasi; (4) fungsi pengesahan lembaga sosial; dan (5) fungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat.
Saran
            Begawei Mepadun Munggahi Bumei yang diiringi ansambel Talo Balak dan rangkaian kegiatan prosesi-prosesi adat sehingga menjadi pertunjukan yang menarik, sebaiknya para pecinta seni daerah ikut melestarikan Begawei Mepadun Munggahi Bumei yang merupakan kekayaan budaya dan sebagai suatu pertunjukan khas daerah yang menarik bagi masyarakat luas yang belum mengenal kebudayaan masyarakat Kampung Kota Alam pada khususnya dan pada umumnya kebudayaan masyarakat Lampung. Karena seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi serta kesenian modern di kalangan masyarakat luas, maka disarankan agar kelompok-kelompok musik Talo Balak untuk menyiapkan generasi penerusnya. Hal ini mengingat kurang berminatnya kaum muda untuk mewarisi bakat dalam ansambel Talo Balak.
            Untuk mempertahakan kontinuitas dan keberadaan ansambel Talo Balak, maka perlu dilakukan koordinasi yang serius dari pihak baik dari pemerintah daerah, swasta, seniman, dan pemerhati seni dan budaya serta masyarakat itu sendiri agar ansambel Talo Balak dapat dikenal oleh masyarakat luas. Mengingat ansambel Talo Balak merupakan sebagai pengiring dalam upacara adat dan sebagai identitas masyarakat Lampung. Beberapa hal yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya melestarikan ansambel Talo Balak adalah: (1) membuat dokumentasi audio visual dan tertulis secara terperinci dan menyebarkan hasilnya ke lembaga-lembaga pendidikan, kesenian dan kebudayaan, adat, masyarakat, dan instansi pemerintah; (2) memasukkan sebagai mata pelajaran muatan lokal atau ekstra kurikuler di semua tingkat pendidikan; (3) mengadakan lomba-lomba untuk merangsang kreativitas; (4) lebih mengaktifkan lembaga-lembaga kesenian, adat dan kebudayaan; (5) meningkatkan penghargaan finansial kepada para seniman penggiatnya; (6) mengadakan pertunjukan secara berkala; dan (7) mengadakan pelatihan rutin.
KEPUSTAKAAN
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
Arsana, I Gusti Nyoman. Deskripsi Musik Pengiring Tari Sigeh Penguten. Bandar 
          Lampung: UPTD Taman Budaya, 2009.
Banoe, Pono. Pengantar Pengetahuan Alat Musik. Jakarta: CV.Baru, 1984.
__________. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hasanudin. “Talo Balak dalam Gawei Adat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego.” Skripsi untuk meraih gelar S1 pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2007.
Hugh M. Miller, Introduction to Music a Guide to Good Listening. Triyono Bramantyo. (terj.) “Pengantar Apresiasi Musik”. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, t.p.t.t.
http://id.wikipedia.org/wiki/Fungsi, diakses tanggal 16 Mei 2013 jam 11.00 WIB.   
http://institut-lampungologi.blogspot.com/2009/05/asal-usul-suku-lampung.html,diakses tanggal 10 Maret 2013 jam 10 WIB.
Iman Yang Suttan. Seratus Tigo Genep Wo Ganjil”. Lampung Utara: t.p., 1993.
Iskar. Kamus Bahasa Lampung Aksara Edisi 2. Bandar Lampung: Smart Cipta Intelekta, 2012.
Keraf, Gorys. Komposisi. Flores: Nusa Indah, 1980.
Marhijanto, Bambang. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur, 1995.
Merriam, Allan P. The Anthropolgy of Music. Chicago: Northwestern University Press, 1964.
­­______________. “Metode dan Teknik Penelitian Etnomusikologi,” dalam R. Supanggah, ed., Seri Bacaan Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Misthohizzaman. “Musik dan Identitas Masyarakat Tulang Bawang.” Tesis untuk meraih gelar S2 pada Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarja Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006.
Nakagawa, Shin. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi.  Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Nettl, Bruno. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe, A Division of the Malmlea Company, 1964.
Retnoningsih, Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2012.
Sa, Sabaruddin. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir – Dialek O/Nyow dan Dialek A/Api. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, 2012.
Shadily, Hassan dan John M. Echols. Kamus Inggeris Indonesia. Jakarta: P. N. Gramedia, 1984.
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
___________. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.
Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1988.
Sutrisno, FX. Mudji dan C. Verhaak. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Alam Syah gelar adat Suttan Alam Syah, 78 tahun, Pensiunan Departemen Penerangan, Perumnas Tulung Mili, Kotabumi, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat Lampung Utara.

Mansur gelar adat Suttan Puseran Agung, 71 tahun, Pensiunan PNS, Jl. Suttan Demak Kuaso, Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Tokoh Adat Kampung Kota Alam.

Herman Murad gelar adat Sesunan Paduko Rajo, 57 tahun, Lampung Abung Nyunyai, Dinas PU, Kampung Kota Alam, Tokoh adat Kampung Kota Alam.                                          

Sarbini gelar adat Rajo Nimbang, 56 tahun, Lampung Abung Nyunyai, Kampung Kota Alam, Tokoh Adat.

Saiful Dermawan, SH., MM. glr Kanjeng Ratu Suttan, 51 tahun, Kepala Dinas Ekspektorat Lampung Utara, Jl. Raden Intan No. 242 Kel. Kota Alam, Ketua Badan Perwatin Adat Lampung Pepadun Kampung Kuto Alam Mergo Nyunyai.

Zainudin, 51 tahun, Wiraswasta, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Pemain/penabuh ansambel Talo Balak di Kampung  Kota Alam.

Azas gelar adat Suttan Mangku Negara, 50 tahun, PNS, Kampung Kota Alam, Saybul Hajad (Tuan Rumah).

Rahman gelar adat Kiser Mergo, 47 tahun, Lurah Kota Alam, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Tokoh Adat Kampung Kota Alam.

Zainudin gelar adat Batin Kiyai, 47 tahun, Wiraswasta, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Pimpinan penabuh ansambel Talo Balak di Kampung Kota Alam.

Firmansyah gelar adat Pangeran Mangku Bumi, 44 tahun, Wiraswasta, Jl. Raden Intan Kel. Kota Alam, Sekertaris Badan Perwatin Adat Lampung Pepadun Kampung Kuto Alam Mergo Nyunyai.

Dra. Nani Rahayu, MM, 41 tahun, Koordinator Seni Budaya dan Pariwisata Dinas Pemuda, Pariwisata, Kebudayaan Lampung Utara, Jl.Pahlawan Gg. Asri No.139 Kelurahan Tanjung Aman Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung telp.(0724) 24052 HP.08127913420 –08127919446, Ketua Umum Sanggar Cangget Budaya Lampung Utara dan Dewan Kesenian Kabupaten Lampung Utara.

Ahmad Rifa’i, 39 tahun, PT PLN Persero Cab. Kotabumi Ranting Bumi Abung, Kotabumi, JL. Ahmad Akuan No. 223 Kelurahan Sribasuki, Seniman Tradisi dan anggota Dewan Kesenian Lampung Utara.



[1]R.M Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), p. 7.
                [2]Iskar, Kamus Bahasa Lampung Aksara Edisi 2 (Bandar Lampung: Smart Cipta Intelekta, 2012), p. 160-161.
[3]Hasanudin, “Talo Balak dalam Gawei Adat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego” (Skripsi untuk meraih gelar S1 pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2007), p. 1-2.
[4]Misthohizzaman, “Musik dan Identitas Masyarakat Tulang Bawang” (Tesis untuk meraih gelar S2 pada Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarja Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006), p. 56-61.
[5]Hasanudin, op. cit., p. 4.
[6]Misthohizzaman, op. cit.,  p. 266.
[7]Ibid., p. 267.
[9]Sabaruddin Sa, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir – Dialek O/Nyow dan Dialek A/Api (Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, 2012), p. 62.
                [10]Wawancara dengan Saiful Dermawan tanggal 5 Maret 2013 di rumah kediamannya Kampung Kota Alam, diijinkan untuk dikutip.
                [11]Pono Banoe, Pengantar Pengetahuan Alat Musik (Jakarta: CV.Baru, 1984), p.13.
                [12]Wawancara dengan Saiful Dermawan tanggal 5 Maret 2013 di rumah kediamannya, diijinkan untuk dikutip.
                [13]I Gusti Nyoman Arsana, Deskripsi Musik Pengiring Tari Sigeh Penguten (Bandar Lampung: UPTD Taman Budaya, 2009), p. 3.
                [14]Alan P. Merriam, “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi”, dalam R. Supanggah, ed., Seri Bacaan Etnomusikologi (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), p. 115.
                [15]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (Jakarta: P. N. Gramedia, 1984), p.28.
                [16]Ibid., p. 170.
                [17]Ibid., p. 170.
                [18]Wawancara dengan Nani Rahayu tanggal 17 Maret 2013 di kantor Dispora Lampura, diijinkan untuk dikutip.
                [19]FX. Mudji Sutrisno dan C. Verhaak, Estetika Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Kanisius, 1993), p.81.
                [20]Suharso dan Ana Retnoningsih, op. cit.,  p. 50.
                [21]R.M. Soedarsono, op. cit., p.170.
                [22]Suharso dan Ana Retnoningsih, op. cit.,  p. 260.
                [23]Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1990), p. 131.