Hasil Riset Erizal Barnawi
Waktu Penelitian dari Oktober 2015 s.d Februari 2016 di Kabupaten Lampung Utara
Pengantar
Secara
etimologis, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, syajarah, yang berarti
pohon kehidupan. Dalam bahasa Inggris, padanan sejarah adalah history yang
berasal dari bahasa Yunani, historia, yang berarti
pengetahuan tentang gejala-gejala alam terutama mengenai umat
manusia yang bersifat kronologis, sedangkan yang tidak bersifat kronologis
dipakai kata scientia atau science.[1]
Sartono Kartodirjo memberikan
batasan sejarah dengan suatu dialog antara masa kini dan masa lampau,[2]
sementara Garraghan memberi batasan sejarah kepada tiga konsep yang berhubungan
tetapi memiliki perbedaan yang jelas, yaitu: (a) kegiatan dan perilaku manusia
masa lampau; (b) catatan terhadap kejadian tersebut; dan (c) proses atau teknik
pembuatan catatan. Pada penggunaan masa kini, kata sejarah berhubungan dengan
salah satu dari tiga hal berikut: (1) penyelidikan; (2) sasaran penyelidikan;
dan (3) catatan hasil penyelidikan, yang kesemuanya berkaitan dengan tiga butir
(a,b,c) di atas.[3]
Beranjak dari bahasan di atas, akan
dilacak sejarah Marga Sungkai di Kabupaten Lampung Utara,
Provinsi Lampung. Pendokumentasian, pengarsipan dan penulisan ulang kembali
dari data yang di dapat secara elementer atau mendasar. Hasil data tersebut
sebagai berikut.
Sejarah Sungkai
Sungkai bisa
dikategorikan sebagai marga sebab masih dalam satu kesatuan sub jurai etnis
Pepadun Lampung. Sungkai pula salah satu komunitas masyarakat adat yang berada
di bawah tradisi hukum adat Pepadun Lampung. Marga Sungkai bermukim di wilayah
Lampung, tepatnya di Kabupaten Lampung Utara. Walaupun pada dasarnya banyak
pula masyarakatnya telah menyebar ke seluruh penjuru Lampung maupun di luar
Lampung. Dikarenakan faktor ekonomi, pekerjaan, dan masyarakatnya yang suka
berhijrah mencari penghidupan baru.
Sungkai
secara harafiah berarti pohon. Sebab, pada masa lalu terbentuknya marga Sungkai
pada daerah yang dinamakan Way Sungkai. Selain itu, memang di sana pula
terdapat pepohonan yang masyarakat setempat menamakannya Sungkai. Dengan kata
lain, harapan pada masyarakat Marga Sungkai menggunakan nama sungkai yang
artinya pohon karena anggapan mereka mengambil filosofi pohon tersebut. Bahwa,
filosofi pohon adalah sumber kehidupan manusia.
Diriwayatkan asal usul Marga Sungkai,
menurut cerita rakyat Sungkai, bahwa dahulu berasal dari daerah Komering.
Dahulu banyak orang komering yang bermigrasi keluar dari daerah asal mereka di
sepanjang aliran Way Komering, untuk mencari kehidupan baru pindah ke wilayah
lain. Pada perjalanan migrasi, mereka membuka pemukiman baru (umbul) maupun kampung (tiyuh). Perpindahan kali pertama oleh
orang Komering marga Bunga Mayang yang kemudian menjadi suku Sungkai atau
disebut juga sebagai suku Lampung Sungkai Bunga Mayang.
Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom,
1997), mengatakan “Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah
orang Komering pada tahun 1800 Masehi, pindah dari Komering Bunga Mayang
menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung
Buway Nunyai pada tahun 1818 s/d. 1834 Masehi. Kenyataan kemudian hari mereka
maju. Mampu begawi menyembelih kerbau
64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung”.
Oleh masyarakat Abung, suku Sungkai
dinyatakan berada di bawah adat Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan
Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah Sungkai yang
pertama kali adalah Negara Tulang Bawang, membawa nama kampung/marga Negeri
Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai
Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara,
banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi
keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Marga Sungkai terdiri dari 7 Kebuwayan (keturunan )besar, yaitu:
1. Buway
Indor gajah (Segajah)
2. Buway
Selembasi
3. Buway
Perja (serja) yang ketiganya anak Putri Silimayang
4. Buay
Harayap
5. Buway
Liwa
6. Buway
Dibintang
7. Buway
Semenguk
Penyebaran kampung-kampung
pada masyarakat Marga Sungkai di Provinsi Lampung Utara,[1] sebagai berikut.
a. Buway Indor Gajah (Segajah)
Buway Indor Gajah yang tergolong kelompok Marga Sungkai
menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara,
penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Negara Tulang Bawang; 2) Cempaka Raja;
3) Bumi Ratu; 4) Labuhan Ratu Kampung; 5) Labuhan Ratu Pasar; 6) Ketapang; dan
Mulungan Ratu.
b. Buway Selembasi
Buway
Selembasi yang tergolong kelompok Marga Sungkai
menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara,
penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Tanah Abang; 2) Tanjung Jaya; 3) Negeri
Batin Jaya; dan 4) Pengiran Ratu Menong.
c. Buway Perja (serja)
Buway Perja
(serja) yang tergolong kelompok Marga Sungkai
menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara,
penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Negeri Ujung Karang; 2) Pekuon Agung;
3) Haduyang Ratu; 4) Banjar Negeri; 5) Negeri Ratu Perja; 6) Banjar Ratu; dan
7) Sri Agung.
d. Buway Harayap
Buway Harayap yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di
kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran
kampung-kampungnya yaitu: 1) Negara Ratu; 2) Negara Batin; 3) Gedung Batin; 4)
Sukadana Unggak (Udik); 5) Sukadana Liba (Ilir); 6) Negara Bumi; dan 7) Suku
Jaya.
e. Buway Liwa
Buway Liwa yang tergolong kelompok Marga Sungkai menyebar di
kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara, penyebaran
kampung-kampungnya yaitu: 1) Kota Napal; 2) Batu Raja; 3) Banjar Ketapang; 4)
Gedug Ketapang; dan 5) Kubu Hitu.
f. Buway Debintang
Buway Debintang yang tergolong
kelompok Marga Sungkai menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh
Kabupaten Lampung Utara, penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Bandar Agung.
g. Buway Semenguk
Buway Semenguk yang tergolong kelompok Marga Sungkai
menyebar di kampung-kampung (kelurahan) seluruh Kabupaten Lampung Utara,
penyebaran kampung-kampungnya yaitu: 1) Kota Negara Unggak (Udik); 2) Kota
Negara Liba (Ilir); 3) Negeri Sakti; dan 4) Hanakau Jaya.
SEJARAH MARGA BUNGA
MAYANG SUNGKAI.
Data yang diterangkan di bawah ini
direduksi dari hasil review buku yang berjudul Masyarakat Adat Marga Bunga
Mayang Sungkai, yang disusun oleh: 1) Ir. H. Ansory Djausal, M.T. (Ratu Sepahit
Lidah) Jabatan Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat; 2) Aminuddin Thaib
(Suntan Ulangan); 3) Syamsuddin (Suntan Ulangan); 4) Fauzan (Pemuka Raja); 5)
Djohar (Ratu Segero); 6) Adjmain (Kepala Sangun Ratu); 7) Tajuddin (Ratu
Nyinang); 8) Ratu Bangsawan (Minak Sunan Bangsawan); 9) Drs. H. Hidayatullah
(Ratu Pengadilan); dan 10) Djuanda Harun (Raja Mula Jadi).
Marga Bunga Mayang atau sering
masyarakat menyebutnya Sungkai Bunga Mayang adalah masyarakat adat yang dalam pengelompokkannya
tergolong keadatan Pepadun Lampung. Selain itu, menurut keterangan yang tua-tua
bahwa Sungkai Bunga Mayang sudah ada jauh sebelum pemerintah Kolonial Belanda
menguasai Lampung Utara. Kala itu salah satu paksi dari marga tersebut dipimpin
oleh seorang Adipati yang bergelar Dipati Wirabumi. Pusat pemerintahannya
berada di Negeri Ujung Karang (Saat ini berada di Ibu Kota Kecamatan Muara
Sungkai). Pemerintah Koloniak Belanda mengakui wilayah Marga Bungan Mayang
sungkai lewat Besluit Resuden Nomor 93/AA Tahun 1928. Daerahnya berbatasan
dengan empat marga lainnya, Yakni :
1. Sebelah
Timur dengan Marga Buwai Bulan Udik
2. Sebelah
selatan dengan Marga Buwai Nunyai
3. Sebelah
Barat dengan Marga Rebang
4. Sebelah
Utara dengan Buwai Lima (Way Kanan)
Wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai
pernah menjadi lokasi Tranmigrasi spontan lewat Resetlement pada tahun 1979 dan
Tahun 1984 sehingga membuat Marga Sungkai Bunga Mayang lebih Heterogen dengan
interaksi antara masyarakat pribumi dan pendatang dalam membangun Sungkai Bunga
Mayang. Yang pada saat ini, Sungkai sudah terbagi menjadi delapan kecamatan
yakni Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Tengah, Sungkai Barat, Sungkai
Jaya, Muara Sungkai, Bunga Mayang dan Hulu Sungkai.
Makin lama Adat Istiadat makin
diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kegiatan adat akhirnya
cuman tersisa pada saat upacara perkawinan. Generasi muda mengira bahwa adat
hanya mengatur mengenai perkawinan. Bertolak dari kenyataan tersebut,
masyarakat adat Marga Bunga Mayang Sungkai menyatukan kembali Visi & misi
agar sejalan dengan semangat Era Reformasi.
Masyarakat Marga Bunga Mayang memeluk
Agama Islam. Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW menjadi pandangan hidup
mereka (Sungkai). Setiap orang yang akan melaksanakan upacara Adat harus
memeluk Agama Islam. Selain itu masyarakat Adat juga mengenal kebiasaan atau
kepribadian Fiil misil.
Menurut catatan DR. BJ. Haga,
pembentukan Marga Bunga Mayang Sungkai yang terdiri dari Buay Indor Gajah, Buay
Pereja dan Buay Harayap pada tahun 1775 lewat prosesi adat besar dengan
memotong 60 kerbau. Marga Bunga Mayang mengundang para tokoh adat dari
marga-marga terdekat, antara lain dari Kabupaten Way kanan, Menggala dan Abung.
Pada upacara adat tersebut, marga-marga menyepakati batas wilayah Marga Bunga
Mayang Sungkai.
Pada tahun 1820, Kapten Du Bois,
pejabat Hindia Belanda, ikut membantu penetapan perbatasan Marga Bunga Mayang
dengan Marga Baradatu. Hal itu diperkuat pula oleh laporan dari penguasa daerah
Abung tertanggal 21 Oktober 1862 yang menyatakan turut pula menetapkan
perbatasan seperti di atas. Pada tanggal 7 Juni 1864, jumlah penduduk
masing-masing tiuh (Kampung):
1. Pakuon Agung : 250 orang
2. Negeri Ujung Karang : 270 orang
3. Bandar Agung : 39 orang
4. Sukadana : 106 orang
5. Negara Tulang Bawang : 179 orang
6. Kepayungan : 23 orang
7. Tanah Abang : 65 orang
8. Negeri Batin : 40 orang
9. Batu Raja : 46 orang
10. Negara Ratu : 74 orang
11. Kota Napal : 92 orang
12. Kota Negara : 101 orang +
Jumlah : 1.291
orang
Hindia Belanda lalu membentuk distrik
pada tanggal 5 April 1928 lewat Soerat Angkatan No. 1254/12 dari Residentie
Lampongsche Districten Onder Afdeeling Sepoetih yang ditandatangani oleh
DeControleur der Onder Afdeling Sepoetih yang berkedudukan di Kotaboemi.
Pada tanggal 29 September 1928 lewat
Besluit Residen Lampung No. 93/AA tertanggal 29 September 1928, Hindia Belanda
mengubah distrik kembali menjadi marga sekaligus menetapkan batas wilayah Marga
Bunga Mayang Sungkai. Raja Yang Tuan terpilih menjadi pesirah. Dia memimpin seluruh
tiuh yang berada di Marga Bunga Mayang Sungkai. Batas wilayahnya:
1. Sebelah Timur dengan Marga Buway Bulan
Udik
2. Sebelah Selatan dengan Marga Buway Nunyai
3. Sebelah Barat dengan Marga Rebang
4. Sebelah Utara dengan Marga Buway Lima
(Way Kanan),
Raja Yang Tuan membangun jalan dan
jembatan yang menghubungkan tiuh-tiuh
dan daerah pemukiman, perkebunan, peladangan, untuk kelancaran ekonomi
masyarakat. Dia berhasil membangun jalan sepanjang 120 Km. Pesirah ini juga membangun
sekolah desa—sampai kelas tiga—di setiap kampung. Di Negara Tulangbawang, Raja
Yang Tuan membangun Hover-tement, sekolah sampai kelas lima.
Pada awal kepemimpinan Raja Yang Tuan,
penduduk Marga Bunga Mayang Sungkai berkembang pesat. Berdasarkan catatan pada
masa itu, jumlah penduduk Marga Bunga Mayang Sungkai:
1. Pakuon Agung : 1077 orang
2. Banjar Negeri : 527 orang
3. Bandar Agung : 137 orang
4. Negri Ujung karang :
522 orang
5. Handuyang ratu :
347 orang
6. Sukadanallir : 343 orang
7. Sukadana Udik : 597 orang
8. Negara Tulang Bawang : 1615 orang
9. Tanah Abang : 815 orang
10. Kota napal : 984 orang
11. Kota Negara : 600 orang
12. Negara Batin : 391 orang
13. Baturaja : 431 orang
14. Negararatu : 532 orang
15. Ketapang : 225 orang
16. Cempaka : 300 orang +
jumlah : 9440 orang
Pada
tahun 1943, Raja Yang Tuan digantikan Sjamsoeddin gelar Toean Radja Djondjom.
Pusat pemerintahan atau ibu kotanya ikut pindah pula ke Kota Napal. Jabatan
pesirah digenggam Toean Radja Djondjom sampai tahun 1950. Pada tahun 1950 itu,
Sjamsoeddin gelar Toean Radja Djondjom diangkat menjadi camat. Sedangkan Abdoel
Rachim gelar Selinggang Alam menjadi pesirah.
Pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1945, pemerintahan tetap dalam bentuk marga. Mulai tahun 1945, pesirah tetap
ada. Namun, untuk urusan birokrasi, dibentuk pemerintahan Kecamatan
Negararatu/Ketapang yang dipimpin oleh seorang camat. Pusat pemerintahannya di
Ketapang. Tahun 1957, Marga Bunga Mayang Sungkai berubah menjadi Negeri
Sungkai. Pimimpinnya Kepala Negeri Achmad Djazuli gelar Ratu Anom Sekandar
Alam.
Pada tahun 1960, terbentuk dua
kecamatan yaitu Kecamatan Negararatu berkedudukan di Negararatu dan Kecamatan
Ketapang berkedudukan di Ketapang. Pada tahun 1962, Muchtar Hasan terpilih
menjadi kepala Negeri Sungkai menggantikan Achmad Djazuli gelar Ratu Anom Sekandar
Alam karena meninggal dunia tahun 1961.
Tahun 1973, sistem pemerintahan negeri
dihapus berlaku pemerintahan kecamatan yakni Kecamatan Sungkai Utara yang
berkedudukan di Negararatu dan Kecamatan Sungkai Selatan yang berkedudukan di
Ketapang. Pada tahun 2000 Marga Bunga Mayang telah terbentuk menjadi empat
kecamatan: Sungkai Selatan berkedudukan di Ketapang, Kecamatan Sungkai Utara
berkedudukan di Negararatu, Kecamatan Bunga Mayang berkedudukan di Negara
Tulang Bawah dan Kecamtan Muara Sungkai berkedudukan di Negeri Ujung Karang.
Pemakaian istilah Marga Bunga Mayang
Sungkai disepakati untuk membedakan antara Marga Bunga Mayang yang ada di
Komering Sumatera Selatan dengan Marga Bunga Mayang yang berada di Kabupaten
Lampung Utara, Provinsi Lampung.
Marga Bunga Mayang Sungkai adalah kesatuan
masyarakat beradat Pepadun yang dikenal diantara kesatuan masyarakat beradat Pepadun
lainnya seperti Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Way Kanan dan Pubian Telu
Suku. Marga Bunga Mayang Sungkai adalah merupakan Marga yang terbesar dan
terluas wilayahnya karena pengertian marga di Bunga Mayang meliputi seluruh kebuwayan yang ada di seluruh wilayah
Sungkai yang telah mendirikan tiuh-tiuh
adat.
Setiap tiuh, ada penyimbang marga, penyimbang tiuh, penyimbang lebuh,
penyimbang suku (penyimbang Pepadun). Mereka ini dibedakan menurut kedudukannya
dengan bentuk warna pakaian yang dipakai pada waktu mengikuti upacara adat di
Sesat.
Perlengkapan adat lainnya dapat dipergunakan
oleh setiap warga adat melalui musyawarah perwatin adat dan atas persetujuan
penyimbang marga masing-masing tiuh.
Penyimbang marga maupun tiuh bertugas
mewakili tiuhnya apabila berhadapan dengan tiuh
di luar Marga Bunga Mayang Sungkai. Penyimbang lebuh bertugas mewakili lebuhnya
berhadapan dengan lebuh lain dalam
tiuhnya, Penyimbang suku (penyimbang pepadun) bertugas mewakili pepadunnya
berhadapan dengan pepadun lain dalam tiuhnya.
Sampai saat ini bentuk peradaban
masyarakat adat Sungkai Bunga Mayang terrealisasi melalui benda pusaka dan
peralatan-peralatan adat. Menurut manuskrip
dari Ratu Bangsawan terdapat beberapa benda-benda tersebut dan masih sampai
sekarang dimiliki oleh orang-orang yang bermarga Sungkai, seperti:
KONDISI SAAT INI
I. Wilayah
Marga Bunga Mayang Sungkai sekarang
berada pada empat kecamatan definitif: Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Bunga
Mayang dan Muara Sungkai. Keempat kecamatan tersebut memiliki sekitar 82 tiuh. Penduduk yang bermukim di setiap tiuh terdiri dari warga pribumi dan
pendatang. Penduduk pribumi berasal dari beberapa kebuwayan, yakni:
1. Kebuwayan Indor Gajah
2. Kebuwayan Silembasi
3. Kebuwayan Perja
4. Kebuwayan Harayap
5. Kebuwayan Di Bintang
6. Kebuwayan Liwa
7. Kebuwayan Semenguk
8. Kebuwayan lainnya yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Setiap kebuwayan memiliki tata-titi adat. Meski sama-sama beradat Pepadun,
ada ciri khas tata-titi setiap kebuwayan.
Ciri-ciri tersebut berkembang masing-masing akibat sulitnya sarana transportasi
antar kebuwayan masa lalu. Dengan tak ada laginya kendala semacam itu, sudah
saatnya Marga Bunga Mayang Sungkai menyatukan visi dan misi dalam rangka membangun
Kabupaten Lampung Utara, terutama di wilayah Marga Bunga Mayang Sungkai.
Selain dari pada keterangan di atas,
Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai telah menyatukan diri dalam suatu
naungan organisasi. Dasar rujukan organisasi Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang
Sungkai merujuk pada peraturan pemerintah daerah No. 13 Tahun 2000 tetang,
Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat yang diterbitkan pada
tanggal 12 September 2000.
Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang
Sungkai melakukan Musyawarah sekaligus membentuk kepengurusan organisasi.
Organisasi adat Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang Sungkai bernama “Gunom Ragom
Marga Bunga Mayang Sungkai”. Terbentuk pada tanggal yang di tetapkan oleh
musyawarah adat pada 11 November 2001 di Ketapang, Kabupaten Lampung Utara.
Adapun struktur organisasi “Gunom Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai” akan
digambarkan di bawah ini.
Struktur organisasi “Gunom
Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai”
STRUKTUR KEPENGURUSAN LEMBAGA MUSYAWARAH MASYARAKAT ADAT
MARGA BUNGA MAYANG SUNGKAI
Ketua
Umum : Ir. Anshori Djausal, M.T. Glr. Ratu Sepahit Lidah
Ketua
– Ketua : Rusdan Effendi, BBA Glr. Tuan Turunan
Raja
Abu Yazid Bustomi Glr. Suntan Jaya Merga
Syamsuddin Glr.
Suntan Ratu Alamsyah
Ajmain Glr.
Kepala Sangun Ratu
Johar Glr.
Ratu Segero
Tajudin Glr.
Raja Nyinang
Sekretaris
Umum : Aminudin Thaib Glr.
Suntan Ulangan
Sekretaris
I : Fauzan Abdullah Glr. Pemuka
Jaya
Sekretaris
II : Drs. Hi. Hidayatullah Glr.
Ratu Pengadilan
Sekretaris
III : Jamaludin Hipni Glr. Ratu Asal
Bendahara
Umum : Ratu Bangsawan Glr. Minak
Sunan Bangsawan
Bendahara
I : Faizin
Bendahara
II : Drs. Hadi Kesuma
Benndahara
III : Juanda HR Glr.
Raja Mula Jadi
KEPUSTAKAAN
Djausal, Anshori & dkk.
2002. “Masyarakat Adat Marga Bunga Mayang
Sungkai”. Kotabumi: Masyarakat Adat
Marga Bunga Mayang Sungkai.
Suntan Ulangan. 2005. “Gawi Agung Sumbay Pat”. Lampung Utara:
t.p. Manuskrip.
Nara Sumber
Nama : Ratu Bangsawan Gelar
Minak Sunan Bangsawan
Bin H.
Umar Gelar Suntan Pengiran
Usia : 61 tahun
Tgl Lahir : 18 November 2015
Pekerjaan : Pensiunan PNS (Sekcam Sungkai Selatan)
Alamat : Kampung baru, Kotabumi, Lampung Utara.
Ket. : Asal Kampung
Banjar Negeri Kec. Muara Sungkai, Buay Perja Marga Bunga
Mayang Sungkai.
Istri : Bairah Gelar Sunan Indoman Ratu
Tgl Lahir : 24 November 1959
Pekerjaan : PNS (Guru SD N 2 Kotabumi Tengah)
Lampiran
Wawancara dengan
Ratu Bangsawan sebagai bukti penelitian ke lapangan
(Foto: Edo, 23
November 2015).
[1]Wawancara dengan Ratu Bangsawan
tanggal 23 November 2015 di rumah kediamannya daerah Kampung Baru, diijinkan
untuk dikutip.