AKU DAN TUBUH; AKU DAN RUANG PRIBADI[1]
Oleh: Tony Broer[2]
Aku dan Ruang Bersama.
Namaku
Tony Supartono, S.Sn, M.Sn. Tapi aku punya panggilan nama panggung: Tony Broer.
Aku dilahirkan di Jakarta, 11 Juni 1966. Pendidikan Seni formal yang kujalani
adalah: A.Md. Keaktoran di ASTI Bandung, S1 Penyutradaraan di STSI Bandung, S2 Penciptaan
Teater di Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan judul karya: Badaya Tubuh Badaya, dan sekarang masih dalam proses penyelesaian
program S3 Penciptaan Teater di Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan judul disertasi:
Tubuh Kata Tubuh.
Proses
teaterku berawal di lingkungan Sekolah Tinggi Seni lndonesia (STSI) Bandung, khususnya
pada Kelompok Teater Payung Hitam (KPH) Bandung. Kurang lebih sudah 30 naskah dalam
dan luar negeri kumainkan. Di kelompok ini proses belajar teater tidak hanya di
bidang keaktoran dan penyutradaraan, melainkan juga pada proses pembuatan artistik
dan produksi teater secara luas: semua aktifitas dalam lahirnya sebuah produksi
teater dimasuki dengan serius.
Salah satu
permainan keaktoranku yang banyak dipuji orang dan diakui oleh media masa
Bandung dan di luar Bandung adalah keaktoran dalam pertunjukan Kaspar, karya Peter Handke. Dalam
pertunjukan pada tahun 1994 itu, aku bermain sebagai tokoh Kaspar. Dari sinilah
kemudian namaku mulai diperhitungkan sebagai aktor, khususnya di Bandung.
Periode proses ruang bersama ini kujalani mulai tahun 1987 sampai 1990-an.
Aku dan Proses Kolaborasi Internasional
Dari
proses berteater di lingkungan STSI Bandung dan KPH Bandung, aku kemudian melangkah
untuk berproses bersama dengan kelompok teater luar negeri, baik dengan pementasan
yang memakai teks (tertulis), maupun dengan pementasan yang mengunakan tubuh sebagai
teks. Beberapa kelompok teater luar negeri di mana aku pernah terlibat berproses
bersama adalah: Black Swan Theatre–Australia, RinKogun Theatre Company–Japan
dan Gekidan Kaitasha–Japan.
Beberapa
karya lahir dalam proses kolaborasi ini, yang periodenya berlangsung sejak
tahun 1997 sampai sekarang. Selain tetap aktif di dalam negeri, aku juga terus aktif
di dalam kolaborasi dengan kelompok teater dari luar itu, terutama dengan
kelompok dari negara Jepang (Theatre Rinko-Gun Company dan Gekidan Kaitasha).
Beberapa negara tempat proses kolaborasi itu berlangsung adalah Perth-Australia,
Jepang, Kampnagel-Jerman, Brollin-Jerman dan Cardiff-UK Inggris.
Aku dan Pertemuan dengan Ruang Butoh
Pergulatannya
dengan seni teater terus memacu semangatku untuk mengenal bentuk-bentuk seni pertunjukan
lainnya. Tidak saja yang ada di lndonesia, aku juga terus mencari referensi-referensi
tentang seni pertunjukan dunia dan akhirnya menemukan satu bentuk seni pertunjukan
Butoh yang berasal dari Jepang.
Proses berkesenianku pun kemudian dimulai kembali dengan mengenal dua nama
master Butoh yaitu: Kazuo Ohno dan Tatsumi
Hiiikata melalui buku.
Proses
mengikuti workshop Butoh kujalani pertama
kali di STSI Bandung, kerjasama Japan Foundation Jakarta pada tahun 1999, oleh
Yukio Waguri dari kelompok Butoh Kohzensha.
Kemudian, pada tahun 2001 aku diundang oleh Japan Foundation Jakarta untuk
mengikuti workshop Butoh di Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), masih dengan pemateri Yukio Waguri. Perkenalanku dengan
Yukio terus berlanjut sampai akhirnya aku berkenalan dengan tokoh besar Butoh, yakni Kazuo Ohno.
PadaTahun
2002 sampai 2003, aku mendapatkan beasiswa dari Bunka-Cho untuk belajar Seni Tradisi
dan Seni Modern di Jepang. Selama proses belajar di Jepang ini, aku berkenalan dengan
beberapa tokoh Butoh dan sempat mengikuti
workshop di beberapa studio Butoh
yang ada di Jepang seperti: Butoh Kohzensha pimpinan Yukio Waguri (dikenal sebagai aliran Butoh
Tatsumi Hijikata), Butoh Dance Sankai Juku pimpinan Amagatsu Ushio dan Semimaru,
Butoh Dairakudakan pimpinan Maro Akaji, dan Asbestos Tatsumi Hijikata pimpinan
Akiko Motofuji (isteri Tatsumi Hijikata).
Proses
belajar Butoh lebih banyak akhirnya
kuperoleh pula dari Kazuo Ohno Dance Studio pimpinan Kazuo Ohno, dengan proses
latihan langsung dibimbing oleh Kazuo Ohno (96 tahun) sendiri, dan putranya yaitu
Yoshito Ohno. Selain belajar Butoh,
aku juga berkesempatan mengikuti proses latihan Metoda Suzuki dari kelompok
SCOT (Suzuki Company of Toga) pimpinan Tadashi Suzuki, di samping juga belajar Kesenian
Tradisi Jepang, yaitu Noh dari aliran
Kongo pimpinan Sumio Yamada.
Aku dan ‘Monolog Tubuh’
Namun
sejak periode tahun 1990-an aku sebenarnya juga telah memasuki masa-masa pada
ruang pribadi, di mana aku memasuki latihan-latihan yang dilakukan hanya
sendiri dengan jadwal yang ketat dan mencoba belajar pada ketekunan diri sendiri.
Proses inilah yang akhirnya mengarahkan pilihanku
pada teater di mana tubuh menjadi media utama yang dieksplor untuk
latihan-latihan ruang pribadi. Latihan-latihan tubuh yang terus kulakukan,
bagiku merupakan sebuah kewajiban dari proses ruang pribadi yang kujalani itu.
Tahun 2005
sampai sekarang aku mencoba menyutradarai dan sekaligus sebagai pemain dalam Ruang
Tubuh (wadah yang terbentuk secara tidak formal dari teman-teman teater dan disiplin
ilmu seni yang lain yang berlatih bersama), yang mengambil tubuh sebagai eksplorasi
utama keaktoran. Kematangan dari tubuh pribadi menjadi prioritas hasil dari latihan
bersama ini. Untuk memperlihatkan hasil-hasil dari eksplorasi yang dilakukan terus
menerus itu, maka lahirlah nomor-nomor tubuh, yang kalau dipentaskan bisa
disebut ‘Monolog Tubuh’ (dengan pengertian pementasan dengan teks tubuh yang diucapkan
oleh seorang aktor).
Karya–karya
dari ‘Monolog Tubuh’ ini yang telah dipentaskan antara lain: Activity I dan Activity II, karya Tony
Broer, yang dipentaskan di Jepang (kolaborasi dengan aktor-aktor dari Theatre
Rinko–gun Company), Pita Terakhir, karya Samuel Beckett dan Tubuh Lahir Tubuh Perang, karya Tony
Broer. Dari ‘Monolog Tubuh” ini pula,
mulai tahun 2007, aku mencoba akting pada Film TV Lepas, Film Layar Lebar juga
TV Komersil (iklan). Selain pentas ‘Monolog Tubuh’ juga membuatku mempunyai
kesempatan untuk memberikan workshop ‘Tubuh Aktor’, yang sudah diadakan di beberapa
kota seperti Jakarta, Bandung, Serang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Pekalongan,
Padangpanjang, Makasar (Palopo), Semarang dan
Madura (Sumenep).
Aku dengan Tubuh Kata Tubuh
Proses
pertemuan dengan O3, sebuah wadah kreatif anak muda Yogya, melahirkan program
dengan nama “Tubuh Kata Tubuh,” yang isinya adalah kolaborasi antara fotografer
dengan aktor. Aktor di sini mengeluarkan tubuhnya sebagai esensi, dan fotografer
mencoba menangkap esensi tubuh itu sendiri, yang diharapkan akan melahirkan impresi
baru dari hasil karya fotonya.
Bentuk dari
program ini, disuguhkan layaknya pentas teater tapi dengan satu kekhususan,
yaitu penontonnya adalah mata kamera dari fotografer-fotografer yang terlibat sebagai
peserta dalam program ini. Dalam proses ini, teknik foto pun dikembangkan dengan
berbagai kemungkinan saat menangkap objek yang bergerak dalam pementasan. Hasil
dari setiap proses pemotretan kemudian bisa diolah atau tidak, sementara semua teknik
yang sudah ada atau yang masih dicoba terus dilakukan pada event ini. Program
ini dilaksanakan dari akhir tahun 2008 sampai akhir tahun 2009, dengan 4 event
pentas (in door dan out door). Karya yang lahir pada proses
ini adalah, Tubuh Ruang Meja, Tubuh Sensual, Tubuh Bumi dan Tubuh Perang.
Program dengan O3 ini juga melahirkan buku dengan judul Tubuh Buku, berisi tentang tubuh teater dalam mata kamera para fotografer.
Tahun 2010
proses ruang pribadiku terus dikembangkan, dengan mencoba menjadikan “Tubuh
Kata Tubuh” sebagai sebuah metoda latihan yang bisa digunakan oleh semua orang.
Tujuannya, untuk menyadarkan orang pada narasi tubuhnya. Selama tahun 2010 juga,
dari hasil mencoba metode ini lahir 6 nomor Tubuh
Jalan, yang rencana akan dijadikan buku kembali.
Tahun 2011,
aku masuk di Pascasarjana ISI Yogyakarta untuk mengambil Program Doktoral
Penciptaan Teater, yang sampai sekarang sedang kujalani dan memasuki tahapan untuk
menyelesaikan ujian akhir. Dalam bingkai pengembangan metode itu, tahun 2012
aku terlibat sebagai aktor dalam kolaborasi 5 negara (Indonesia, Jepang, Cina,
Korea, Inggris), memainkan naskah Yaneura
(Loteng), karya/sutradara Yoji Sakate
bersama Rinko-Gun Theatre Company, Jepang. Selama tahun 2013, aku melakukan proses
riset-pelatihan dari metoda ‘Tubuh Kata Tubuh’ dengan mengadakan workshop di
beberapa kota.
Tahun 2014
pada bulan Agustus s/d Desember, aku mendapat program Sandwich-Like DIKTI,
untuk riset/penelitian tentang teater fisikal dan Butoh di kota Osaka (Osaka City University) dan kota Tokyo. Tanggal
18 Oktober 2014, aku berpentas bersama Gekidan Kaitaisha di Gedung Shakespeare–Meisei
University, Tokyo, membawakan adaptasi naskah Machbett, karya Shakespeare. Selama bulan November-Desember 2014,
aku mengikuti latihan di Studio Dance Kazuo Ohno, bersamaYoshito Ohno.
Tahun 2015
ini, yakni pada tanggal 15 Januari lalu, aku membawakan pentas tubuh Sebuah Mimpi Boneka dalam pameran tunggal
Franziska Frennet di Sangkring Art–Yogyakarta. Tahun 2015 ini pula, pada bulan Februari,
aku memberikan materi Workshop Tubuh di dua peristiwa. Workshop pertama di
Teater Camus di Jakarta, yang hasil workshopnya dipentaskan di halaman kampus,
dan kemudian di Taman Budaya Kalimantan Selatan dengan 13 komunitas teater, yang
hasil workshopnya dipentaskan di jalan dan panggung.
Aku, Teater Dan Tubuh
Dari
seluruh proses keaktoranku, aku mahami bahwa tubuh berperan sentral dalam
eksistensi individu dan menjadi simbol yang bersifat publik untuk menggali
kemampuan memahami, mengetahui dan mempersepsi suatu objek, ruang dan waktu. Tujuan
keberadaan tubuh manusia adalah untuk menghadirkan waktu eksistensial manusia,
termasuk juga keleluasan tubuh dan pikirannya.
Akan tetapi,
di tengah dunia yang kian dibingkai oleh idealitas citra dan sensasi konsumsi,
akal sehat publik dibekukan oleh logika komoditas. Hal itu telah menciptakan
penataan ulang citra dan sistem tanda bersama, yang menyajikan fantasi dan
dorongan-dorongan individual yang seolah-olah bebas diekspresikan. Menurutku, manusia
yang bergerak pada sistem tanda itu bergerak bersama bukan sebagai kesatuan
koheren, tetapi sebagai gerombolan yang akhirnya melahirkan manusia gerombolan:
Manusia yang tanpa refleksi.
Tubuh
bayang-bayang dari kebertubuhan manusia urban, pada akhirnya kian kehilangan
bentuknya karena kehilangan bayangannya sendiri. Tubuh-tubuh manusia urban
adalah tubuh yang berusaha menghilangkan sejarahnya masing-masing: Tubuh-tubuh
masyarakat kota yang plural dan terkurung dalam instalasi wilayah yang
terbatas, sehingga harus berkompromi dengan banyak hal. Selain itu, tubuh-tubuh
yang memiliki identitas bawaan itu, kerap dikaburkan secara paksa demi memenuhi
standar seperti pola yang disetujui bersama. Hal ini adalah salah satu bentuk
pernyataan berkedok yang memang menjadi ciri manusia urban dalam mengembangkan
sejumlah motif psikologis baru untuk mempertahankan eksistensi diri dalam
kehidupan sehari-hari.
Menyikapi
fenomena ini, aku merasa diperlukan semacam interogasi yang akan mengungkap
meta-narasi dari kehidupan dan pola-pola yang telah diciptakan untuk menunjukan
situasi dan keberadaan kongkret manusia urban. Interogasi menjadi suatu
“intensionalitas” yang aku pilih sebagai salah satu cara membuka diri pada
kemungkinan penjelajahan teater terhadap ruang konsentrasinya. Interogasi
artistik dari tubuh adalah strategi agar tetap menjadikan diri sebagai
individu, di tengah penyangkalan peran individu dalam kondisi manusia urban
yang menggunakan logika “gerombolan”. Sebuah interogasi yang tetap memproduksi
ekspresi-ekspresi artistik yang mengubah ruang ilusi dan ruang transaksional
menjadi ruang nilai dan makna: Ruang yang menguji kembali normalitas dengan menyatakan
abnormalitasnya, dan mempertanyakan kelaziman dengan menghadirkan ketidaklazimannya.
Program
Interogasi Tubuh Urban untuk menemukan Meta-narasi Ruang Publik adalah sebuah
program pementasan teater berupa pertunjukan di ruang publik yang menjadi
tempat berkumpul manusia-manusia urban, seperti halte, taman kota, stasiun bis,
pusat perbelanjaan, jalan raya, dan lain-lain. Pertunjukan yang mengambil ruang
publik sebagai panggung pertunjukan, sekaligus untuk melihat secara langsung
respon dari masyarakat yang menyaksikan ketika tubuh-tubuh urban kembali
dihadirkan kepada mereka.
Interogasi
tubuh di ruang publik, akhirnya akan menciptakan komunikasi yang jujur antara
aktor dan apresiatornya. Manusia urban sebagai objek dari pertunjukan ini tentu
akan memberikan respon alami dari apa yang disajikan dalam pertunjukan ini. Hal
inilah yang akhirnya menurutku akan dapat mengungkap pernyataan tentang konflik
tersembunyi manusia urban yang mungkin tidak disadari. Logika dan pola yang
mereka terima sekaligus terapkan selama ini, akan kembali diusik untuk
dipertanyakan oleh mereka sendiri. Cara ini aku tempuh sebagai upaya untuk
“menggangu” konstruksi nalar mereka dan diriku sendiri, sesuatu yang sudah
tertanam dan disepakati bersama, untuk“menyingkap” identitas dan realitas yang disembunyikan.
Proses ini aku maksudkan untuk menciptakan atau menimbulkan daya tarik
epistemik dan estetik sekaligus.
Yogyakarta, 3 / 3 /20 15 / Selasa