TALO BALAK DALAM UPACARA ADAT LAMPUNG
Oleh
Erizal
Barnawi
INTISARI
Ansambel
Talo Balak terdiri dari instrumen kulitang, gung, gujih, canang, dan talo. Talo Balak selalu dipakai sebagai
alat musik pokok dan pengiring dalam prosesi upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei dipergunakan sebagai pengambilan
gelar adat tertinggi di jurai
Pepadun, gelar adat tertingginya yaitu suttan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk penyajian dan fungsi Talo
Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi
Bumei. Pendekatan etnomusikologis dipergunakan sebagai pendekatan utama
dalam penelitian ini, ditopang kajian antropologis, organologis, dan
musikologis. Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan dan kajian
kepustakaan.
Talo
Balak adalah bentuk kecerdasan setempat masyarakat Kampung Kota Alam terhadap
kebutuhan di dalam adat istiadat, dan dalam upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Menurut masyarakat adat Kampung Kota
Alam, tanpa adanya Talo Balak di dalam upacara adat Begawei Mepadun, maka upacara adat tersebut dianggap tidak
sempurna. Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam memiliki tiga bentuk
penyajian, yaitu: bentuk penyajian musikal, bentuk penyajian non musikal, dan
struktur penyajian Talo Balak. Ansambel Talo Balak memiliki dua fungsi yaitu
fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer meliputi fungsi sebagai sarana
ritual, fungsi hiburan, dan fungsi sebagai presentasi estetis. Fungsi sekunder
meliputi fungsi sebagai sarana komunikasi, fungsi pengesahan lembaga sosial,
dan fungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat.
Kata
Kunci : Talo Balak, Begawei
Mepadun, Bentuk, Fungsi
PENGANTAR
Lampung
adalah wilayah paling selatan pulau Sumatera dan terdekat dengan pulau Jawa.
Sejak zaman dahulu Lampung telah menjadi gerbang perlintasan antara kedua
pulau, sehingga penduduk yang menetap di Lampung saat ini terdiri dari beberapa suku bangsa
yang ada di Indonesia, karena Indonesia adalah negara ribuan pulau, memiliki
lebih dari 500 kelompok etnis yang berbeda, serta enam agama besar.[1] Masyarakat Lampung terdiri dari dua jurai (sub etnis) yang dibedakan berdasarkan dialek bahasanya.
Kedua sub etnis tersebut yaitu Pepadun dan
Saibatin. Jurai Pepadun yang
berkediaman di daerah pedalaman Lampung terdiri dari masyarakat adat Abung (Abung Siwo Migo), Pubian (Pubian Telu Suku), Tulang Bawang (Migo Pak Tulang Bawang), Bunga Mayang (Sungkai)
dan Way Kanan (Buai Lima). Jurai Saibatin berkediaman di sepanjang
pesisir, termasuk masyarakat adat Krui, Peminggir Semangka, Peminggir
Pemanggilan, Peminggir Teluk, Melinting, Meninting, Ranau (Muara Dua), Komering
(Kayu Agung), dan Cikoneng (Banten).[2]
Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang
asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk hukum adat masyarakat
tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu perbedaan dapat dilihat pada gelar yang dimiliki oleh kedua jurai tersebut. Masyarakat
Lampung Saibatin memperoleh gelar adat berdasarkan garis keturunan dan gelar adat
tertingginya
disebut pengiran, sedangkan masyarakat Lampung
Pepadun dapat memperoleh gelar
adat dengan cara melakukan sebuah
upacara adat Begawei Mepadun Munggahi Bumei untuk
meraih gelar kedudukan yang lebih tinggi di jurai Pepadun.
Gelar adat Lampung Pepadun yang
tertinggi yaitu gelar
adat suttan.[3]
Masyarakat
adat Lampung memiliki falsafah
hidup yang masih mereka junjung tinggi dalam keseharian dan menjadi ciri khas
bagi masyarakat
adat tersebut. Misthohizzaman
menyebutkan lima urutan dari falsafah yang dapat
mempersatukan perbedaan yang ada antara masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung
Saibatin.[4] Kelima falsafah tersebut antara lain: pi’il
pasenggiri (rasa harga diri), bejuluk
beadek (memiliki julukan dan gelar adat), nemui nyimah (terbuka
tangan/suka memaafkan),
nengah nyappur (hidup
bermasyarakat, dan menghormati tamu),
dan sakai sambayan (tolong menolong).
Falsafah hidup inilah yang
menjadi salah satu latar belakang bagi masyarakat Lampung untuk memiliki gelar
adat dimana dalam falsafah
tersebut status
sosial dari seseorang yang masih hidup dalam masyarakat adat
harus memiliki julukan/gelar adat (bejuluk beadek). Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat adat
Lampung masih memegang teguh falsafah hidup dengan
memiliki gelar adat, sebab dalam falsafah masyarakat Lampung
tersebut diatur bahwa setiap masyarakat adat Lampung harus memiliki julukan (bejuluk) dan memiliki gelar adat (beadek). Berdasarkan salah satu butir yang terdapat pada falsafah
masyarakat Lampung, maka masyarakat
adat Lampung Pepadun yang belum melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei hanya
memperoleh julukan saja. Namun, jika
seseorang ingin memperoleh gelar adat maka harus menikah dan melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei
istilah lainnya
merupakan mepadun, yaitu naik
kedudukan atau
naik tahta.
Sistem
pelapisan sosial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Lampung pada umumnya didasari
pada perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat, jabatan, dan perbedaan
sifat keaslian. Pelapisan sosial berdasarkan umur dapat dilihat pada upacara
adat, dimana pembagian tugas didasari pada tingkat umur. Seperti halnya dengan tugas kelompok usia
lanjut (lebih
dari 50 tahun) merencanakan, menentukan hari, dan mengatur dalam suatu pelaksanaan
upacara adat. Bagi kelompok muda dan telah berkeluarga bertugas sebagai pendamping/pembantu
kelompok usia
lanjut. Kelompok muda-mudi (laki-laki/perempuan),
bertugas sebagai pelaksana upacara
yaitu pada bagian pembuka dan penutup upacara.[5]
Pelapisan sosial tertinggi berdasarkan
pangkat dan jabatan
disebut kepenyimbangan (tetua adat). Jurai
masyarakat Lampung Pepadun, mengenal
kata penyimbang yang merupakan
pemegang jabatan sebagai kepala dalam sebuah unit sosial masyarakat Lampung
Pepadun. Kepenyimbangan masih
dibagi menjadi tiga penyimbang yang didasarkan pada garis
keturunannya dimulai dari tingkatan tertinggi yaitu penyimbang margo atau penyimbang bandar, yang berkuasa atas suatu marga, penyimbang tiyuh, memimpin sebuah tiyuh/anek (kampung) dan penyimbang suku, memimpin sebuah suku yang anggotanya
terdiri dari sekitar 20 kepala keluarga.[6]
Masyarakat adat Lampung yang tidak tergolong dalam golongan kepenyimbangan di atas, disebut
masyarakat biasa, yaitu masyarakat
yang tidak tentu garis keturunannya dan tidak memiliki hak dan kewajiban dalam
adat.
Berdasarkan pelapisan sosial yang telah dijelaskan, maka
setiap kepala keluarga masyarakat Lampung Pepadun wajib melaksanakan Begawei Mepadun Munggahi Bumei untuk membuat status sosial dalam jurai Pepadun. Begawei
Mepadun Munggahi Bumei merupakan
peristiwa pelantikan penyimbang
(pemimpin adat) menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun dan disahkan
oleh lembaga prowatin dikenal juga
dengan pelafalan lain, yaitu perwatin
(majelis pemangku adat/tokoh adat).[7]
Pelaksanaan Begawei Mepadun Munggahi Bumei dalam tulisan ini
akan difokuskan pada kelompok
Abung Siwo Migo Marga Nyunyai masyarakat adat jurai Pepadun yang
ada di Kelurahan
Kota Alam Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara Provinsi
Lampung.
Abung Siwo Migo berarti
abung sembilan marga, yaitu: 1). Marga Nyunyai; 2). Marga Unyi; 3). Marga Nuban; 4). Marga Beliuk; 5). Marga Kunang; 6). Marga Anak Tuho; 7). Marga Selagai; 8). Marga Nyerupa; dan 9). Marga Subing.[8] Masyarakat Abung Siwo Migo memiliki
kebudayaan yang erat serta mempunyai unsur-unsur budaya, seperti agama
mayoritas Islam, kekerabatannya patrilineal, politik kepemimpinan berdasarkan
keturunan, ekonomi bercocok tanam (pertanian), serta keseniannya seperti tari,
pencak, musik, dan sastra.[9]
Begawei adat (acara
adat) Lampung Pepadun Abung Siwo Migo yang ada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan
Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara tidak pernah
lepas dari unsur-unsur seni. Kesenian yang berperan di dalamnya, salah satunya adalah ansambel Talo
Balak yang
menjadi objek dari tulisan ini.[10] Talo Balak adalah seperangkat alat
musik tradisional daerah Lampung yang sudah dikenal oleh masyarakat Lampung
pada umumnya, sebab secara adat alat musik ini memegang peranan sangat penting
terutama dalam acara adat. Beberapa sumber dari tokoh adat dan masyarakat Lampung
menganggap dengan tanpa kehadiran ansambel Talo Balak ini maka upacara atau
acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna.
Penelitian
sebelumnya tentang Talo Balak telah dilakukan oleh Hasanudin sebagai salah satu
syarat untuk menempuh S-1 Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta
tahun 2007, dalam penelitiannya Hasanudin menyebutkan ansambel Talo Balak yang
berada di Dusun Kampung Tuha Desa Buminabung Ilir Kecamatan Buminabung Ilir
Kabupaten Lampung Tengah memiliki instrumen gendang atau rebana sebagai pembentuk
ritmisnya, instrumen kulitang yang
terdiri dari enam buah alat musik yang berpencon serta tersusun berjejer dan
bernada do-re-sol-la, nama-nama tabuhannya yaitu, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan,
Tabuh Migol Bekekes, Tabuh Jawo, dan Tabuh Tari. Berbeda dengan hal tersebut,
ansambel Talo Balak yang berada di Kelurahan Kota Alam Kecamatan Kotabumi
Selatan Kabupaten Lampung Utara tidak menggunakan gendang atau rebana, serta
instrumen kulitangnya terdiri dari
sembilan buah alat musik yang berpencon serta tersusun berjejer dengan modus
nada A-Bes-Cis-D-E-G-b-d-fis, dan nama-nama tabuhannya yaitu, Tabuh
Tari, Tabuh Gupek, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, Tabuh Sirang, dan Tabuh Ujan
Tuyun. Di samping itu, pola ritmis, pola tabuhan, dan penempatan tabuhannya pun
berbeda dalam Begawei Mepadun.
Curt Sachs dan Eric M. Van Hornbostel
mengklasifikasikan instrumen musik menjadi lima golongan/kelompok, yaitu idiophone (sumber bunyi instrumen
berasal dari badan alat musik), aerophone
(sumber bunyi instrumen berasal dari udara atau satuan udara yang berada
dalam alat musik), membranophone (sumber
bunyi instrumen berasal dari kulit atau selaput tipis yang diregangkan), chordophone (sumber bunyi instrumen
berasal dari senar (dawai) yang ditegangkan),
dan electrophone (instrumen musik
yang ragam bunyi atau penguat bunyinya dibantu atau disebabkan adanya aliran
listrik).[11]
Berdasarkan klasifikasi instrumen di
atas, ansambel Talo Balak tergolong jenis musik idiophone, dimana bagian tubuh alat musik tersebut merupakan
penghasil suara yang dimainkan dengan teknik dipukul (perkusi). Ansambel Talo
Balak yang terdapat di Kelurahan Kota Alam terdiri dari instrumen: (1)
Instrumen kulitang, yaitu instrumen berpencon yang terdiri dari sembilan buah
pencon. Kulitang memiliki beberapa kemiripan bentuk dan
teknik permainan dengan instrumen berpencon dari daerah lain seperti instrumen talempong dari Sumatra Barat, instrumen reong dari Bali.
Instrumen kulitang dalam permainannya berfungsi sebagai instrumen pembawa
melodi pokok serta sebagai pembuka dan penutup sebuah tabuhan (lagu); (2) Talo, yaitu instrumen
berpencon berukuran besar seperti instrumen
kempul di karawitan
Jawa. Instrumen talo terdiri dari dua instrumen
yaitu talo balak (besar) dan talo lunik (kecil); (3) Gujih, yaitu instrumen yang bentuknya seperti instrumen ceng-ceng kopyak dalam ansambel Gong Gede Bali dan ukurannya lebih kecil dari instrumen ceng-ceng kopyak. Instrumen gujih terdiri
dari dua instrumen; (4) Bendi, yaitu instrumen berpencon yang bentuknya seperti instrumen jengglong dalam ansambel gamelan Degung
Sunda; dan (5) Gung, yaitu
instrumen berpencon bentuknya seperti kenong
dalam ansambel Karawitan Jawa, dan digantung menggunakan tali di cagak siger. Melihat serta memperhatikan fenomena yang terdapat pada
pelaksanaan Begawei Mepadun Munggahi
Bumei Marga Nyunyai, maka sangat
penting dilakukan penelitian. Adapun masalah yang menjadi fokus penelitian dan
untuk memudahkan dalam mengkaji data di lapangan adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana bentuk
penyajian Talo Balak dalam Begawei Mepadun
Munggahi
Bumei? 2. Bagaimana fungsi Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei?.
PEMBAHASAN
Begawei
adat (acara adat) Lampung Pepadun Abung Siwo Migo yang ada di Kelurahan Kota
Alam Kecamatan Kotabumi Selatan[12]
Talo Balak adalah seperangkat alat musik tradisional daerah Lampung yang sudah
dikenal oleh masyarakat Lampung pada umumnya, sebab secara adat alat musik ini
memegang peranan sangat penting terutama dalam acara adat. Beberapa sumber dari
tokoh adat dan masyarakat Lampung menganggap dengan tanpa kehadiran ansambel
Talo Balak ini maka upacara atau acara adat dianggap kurang atau tidak
sempurna.
Ansambel
musik etnis Talo Balak ini pada awalnya memiliki banyak nama/istilah sesuai
dengan daerah masing-masing, yaitu dengan penyebutan istilahnya: Kelenongan,
Kulitang, Kerumung, dan beberapa istilah lainnya. Berdasarkan kesepakatan dari
tokoh-tokoh adat Lampung membuat kesepakatan dengan memberikan sebutan bahwa
alat musik tradisional Lampung adalah Talo Balak.[13]
Ansambel Talo Balak biasanya digunakan sebagai iringan tari Sigeh Penguten, tari Cangget, tari Melinting, dan prosesi-prosesi dalam upacara adat seperti
arak-arakan, pelepasan pengatin, dan penerimaan tamu.
Bentuk Penyajian Musikal
Musikalitas
dalam musik tradisi Talo Balak adalah sesuatu yang menyangkut aspek bunyi (audio) yang dihasilkan dari aktivitas
ansambel Talo Balak serta unsur-unsur yang mempengaruhi bunyi tersebut sehingga
menimbulkan kesan tertentu. Beberapa catatan tentang ansambel Talo Balak pada
umumnya telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini. Pemahaman tentang hal
tersebut tentunya berguna agar diperoleh gambaran yang jelas tentang
penganalisisan ansambel Talo Balak. Perlu diketahui bahwa dalam tradisi musik
ansambel Talo Balak tidak memiliki sistem penotasian (non literate), tidak seperti halnya pada gamelan pada daerah
Yogyakarta atau Surakarta yang telah mempunyai sistem penotasian yang disebut
notasi Kepatihan, karawitan Sunda dengan notasi Daminatila, dan karawitan Bali
dengan notasi Ding-dong.
Menganalisis
unsur penyajian ansambel Talo Balak yang ada di Kampung Kota Alam, merupakan
bagian yang tidak kalah penting untuk dibahas dengan mengutamakan analisis
musikologisnya. Hal ini disebabkan analisis musikologis cenderung menyangkut
pada pemahaman tentang sistem nada, struktur melodi dan variabel-variabel musik
yang konotatif dengan aspek budaya, religi, adat-istiadat, dan sebagainya.[14]
Berdasarkan kamus bahasa Inggris Indonesia, arti dari analisis adalah pemisahan
dan pemeriksaan yang teliti.[15] Pemeriksaan yang
dimaksud di sini adalah pemeriksaan secara teliti terhadap penyajian ansambel
Talo Balak yang tertuju pada analisis musikologis, yang diperoleh dari susunan
bunyi-bunyian musik dengan konteks kultur masyarakat Kampung Kota Alam,
sehingga menduduki kedudukan yang terpisah guna diselidiki dari sudut pandang
ilmu musik.
Mengacu
pada pengertian tersebut di atas, maka akan dicoba untuk menganalisis beberapa
hal yang dianggap penting untuk dianalisis yang berhubungan dengan objek
penelitian ini, yaitu ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei. Langkah pertama yang akan dilakukan
untuk menganalisis ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun ini adalah terlebih dahulu melihat ansambel Talo Balak
tersebut secara keseluruhan. Maksudnya, ansambel Talo Balak ini adalah sebuah
musik yang memiliki awal dan akhir dalam penyajiannya, atau dengan kata lain
ansambel Talo Balak dapat dipandang sebagai musik yang memiliki struktur. Ansambel
Talo Balak pada dasarnya memiliki beberapa hal pokok yang terkandung di
dalamnya, yang kiranya perlu untuk dibahas serta dianalisis lebih lanjut, yaitu
instrumentasi dari ansambel Talo Balak, sistem tangga nada/modus nada yang ada
dalam ansambel Talo Balak, nama-nama tabuhannya, dan transkripsi musik.
Instrumentasi di ansambel Talo
Balak
Instrumen kulitang
Nada-nada pada tiap-tiap intrumen kulitang memiliki interval nada yang
berbeda-beda dengan nadanya yaitu A-Bes-Cis-D-E-G-b-d-fis.
Gambar
1. Instrumen kulitang yang berada di
Kampung Kota Alam
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
Instrumen talo
Ada dua buah instrumen talo yang digunakan,
yaitu talo balak (talo besar) dan talo lunik (talo
kecil) serta keduanya digunakan dalam tiap-tiap tabuhan.
Talo yang ada di Kampung Kota Alam ini memilki diameter
55 cm untuk talo yang besar dan 50 cm untuk talo yang kecil. Talo
berfungsi sebagai pengatur ritme dari irama melodi kulitang dan sebagai
penutup suatu urutan bunyi yang dimainkan dalam suatu tabuhan. Sebagai contoh
dapat dilihat pada pola tabuhan instrumen talo dalam notasi balok di
bawah ini:
Pola instrumen talo pada tabuhan Tabuh Tari,
Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, Tabuh Sirang, dan Tabuh Gupek.
Gambar
2. Instrumen talo lunik (sebelah
kanan penabuh/pemain) dan talo balak
(sebelah kiri penabuh/pemain) (Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
Instrumen gujih
Pola instrumen gujih pada tabuhan Tabuh Tari
Gambar
3. Instrumen gujih (Foto: Erizal
Barnawi, 15 Maret 2013).
Instrumen canang
Pola instrumen canang pada tabuhan Tabuh Tari
Gambar 4. Instrumen canang
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret
2013).
Instrumen gung
Pola instrumen gung pada Tabuhan Tabuh Tari
Gambar 5. Instrumen gung
(Foto: Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
Tangga Nada
Instrumen
kulitang sebagai pembawa melodi yang
dijadikan standar pengukuran di sini. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi
perbedaan standar pengukuran dengan instrumen kulitang yang berasal dari kampung lainnya yang ada di Kecamatan
Kotabumi Selatan ataupun di kampung-kampung yang satu kelompok dari Abung Siwo
Migo jurai Pepadun.
Nada A Nada Bes Nada Cis Nada D Nada E Nada G Nada b Nada d Nada
fis
Pencon 1 Pencon 2 Pencon 3 Pencon 4 Pencon 5 Pencon 6 Pencon 7 Pencon 8 Pencon 9
Keterangan:
Nama-Nama
Tabuhan
Tabuh Tari,
Tabuh Sirang, Tabuh Gupek, Tabuh Sanak Miwang Di Ijan, dan Tabuh Ujan Tuyun.
Kesemuaan tersebut digunakan untuk dalam proses di upacara adat Kampung Kota
Alam. Selain itu, tabuhan ini menjadi lagu inti pada tiap-tiap proses adat.
Bentuk Penyajian Non Musikal
Tempat
penyajian ansambel Talo Balak selalu dilakukan di dalam sesat (balai adat). Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat Lampung
juga sering melakukan penyajian di berbagai tempat, biasanya di panggung
terbuka, gedung pementasan, dan ruang publik yang berorientasi ke hiburan. Waktu
penyajian Talo Balak di dalam upacara adat sampai saat ini berlangsung selama
dua hari dua malam. Penabuh disini lebih diutama kepada pemain yang memag sudah
mengerti benar akan esensi dan bermain secara baik. Artinya, saat memainkan
musik Talo Balak sudah hafal di luar kepala. Tidak
ada aturan khusus penempatan alat musik Talo Balak. Akan tetapi saat ini
bisanya Talo Balak di tempat di atas panggung dengan ketinggi satu meter sampai
satu meter setengah dengan lebah dan panjang 3x4 meter. Untuk kostum pemain
Talo Balak dalam upacara adat hanya menggunakan peci dan sarung yang di gulung
sampai mendekati lutut, seperti pakaian melayu pada umumnya. Akan tetapi yang
membedakan corak serta motif yang has dari Lampung. Pengaturan cahaya hanya
digunakan sebagai penerang pada malam dan tidak menggunakan tata cahaya yang
seperti pada umumnya di terapkan pada pentasan festival atau panggung hiburan. Penggunaan
pengeras suara hanya digunakan untuk pembesaran suara di dalam penyajian Talo
Balak. Fungsinya agar para masyarakat adat yang terlibat mendengar secara jelas
tabuhan dan pukulan musik Talo Balak.
Fungsi Talo Balak
dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei
Fungsi Primer Ansambel Talo Balak
Fungsi
primer adalah fungsi sebuah pertunjukan yang tujuannya untuk dinikmati oleh
penikmatnya.[16]
Pada ansambel Talo Balak fungsi primer terbagi menjadi tiga fungsi yaitu fungsi
sebagai sarana ritual, fungsi hiburan, dan fungsi sebagai presentasi estetis.
Fungsi Sebagai Sarana Ritual
Talo
Balak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Begawei Mepadun Munggahi Bumei, karena ansambel Talo Balak sebagai
pelengkap dan pengiring suatu prosesi upacara pengambilan gelar adat. Salah
satu instrumen canang yang terdapat
di ansambel Talo Balak dipakai untuk pengesahan pada saat pemberian dan
penyebutan gelar adat suttan kepada saybul hajad.
Begawei Mepadun Munggahi Bumei merupakan
suatu upacara adat yang telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Kampung
Kota Alam. Begawei tersebut masih
dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Kampung Kota Alam karena umumnya
masih teguh mempertahankan adat istiadat leluhur mereka. Masyarakat Kampung
Kota Alam berpendapat jika adat istiadat yang mereka jalankan berlandaskan pada
agama Islam, dan agama Islam bersandar kepada Kitabullah maka disini terjalin
hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah manusia dengan
Tuhannya dimana adat istiadat masyarakat Kampung Kota Alam bersandarkan kepada
agama yaitu Islam, dan hubungan horizontal adalah individu dengan individu
dalam masyarakat yang diatur oleh hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
Aktifitas-aktifitas
yang terjalin dalam adat istiadat yang dilakukan masyarakat Kampung Kota Alam
berkaitan dengan agama dan Tuhannya. Baik secara langsung maupun tidak langsung
aktivitas tersebut terjalin dalam adat istiadat, karena dalam agama Islam yang
dianut masyarakat Kampung Kota Alam juga mengatur hubungan horizontal yaitu
hubungan seorang individu dengan masyarakat lingkungannya yang diaplikasikan pada
bentuk upacara adat yang disebut begawei
mepadun munggahi bumei.
Fungsi Hiburan
Menurut
Soedarsono seni pertunjukan memiliki fungsi primer yang pada intinya adalah
untuk menghibur, yaitu menghibur kepada kekuatan-kekuatan yang tidak kasat
mata, menghibur kepada diri pelakunya, dan menghibur kepada penonton.[17] Pernyataan ini
diperkuat dengan klasifikasi fungsi yang dinyatakan oleh Allan P. Merriam yang
dalam teori fungsinya menyatakan hiburan termasuk fungsi dalam musik (seni
pertunjukan).
Pementasan
ansambel Talo Balak tidak memandang struktur masyarakat. Sealur dengan
fungsinya, ansambel Talo Balak kerap kali disajikan dalam acara-acara yang
diselenggarakan oleh masyarakat Kampung Kota Alam maupun pihak lain. Selain
hiburan dalam prosesi upacara adat, ansambel Talo Balak juga biasa dipentaskan
dalam acara festival kesenian rakyat yang berpangkal dari perayaan hari-hari
besar negara maupun murni pertunjukan dalam festival tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun propinsi.[18]
Fungsi
hiburan dalam bentuk tontonan adalah salah satu bagian dalam memberikan wahana
apresiasi seni rakyat kepada masyarakat luas. Selain itu, penyajian Talo Balak
dalam berbagai event memberikan
peluang dalam membuka diri dan mengenalkan ansambel Talo Balak. Sejalan dengan
itu, melalui penyajian ansambel Talo Balak dalam suatu peristiwa merupakan
salah satu sarana pembuktian bahwa kesenian rakyat masyarakat Kampung Kota Alam
sampai sekarang masih tetap lestari serta masih mendapat dukungan kuat dari
masyarakat setempat.
Fungsi
utama jenis kesenian hiburan adalah bilamana kesenian itu dapat menghibur atau
membuat suasana pertunjukan itu sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya yang
melibatkan pemain maupun penonton. Seirama dengan fungsi yang dimilikinya, maka
kebanyakan seni-seni kerakyatan sangat lekat di tengah para penontonnya. Hal
ini dapat dilihat saat ansambel Talo Balak dipentaskan dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei (pada
prosesi di malam cangget) yang
disajikan di dalam penurunan sesat mungah
dabung, dimana banyak masyarakat yang berkeinginan datang ke lokasi untuk
melihat lebih dekat jalannya pementasan. Antusias masyarakat untuk menonton
penyajian ansambel Talo Balak dilakukan dengan sendirinya. Dengan kata lain,
walau cuma mendengar berita secara lisan atau tidak ada pemberitahuan secara
luas (iklan atau undangan), mereka akan tetap berbondong-bondong untuk
menyaksikan pertunjukan ansambel Talo Balak serta tidak dipungut adanya semacam
biaya. Hal ini dikarenakan semua biaya pementasan telah ditanggung oleh
penyelenggara atau yang punya hajat.
Fungsi Sebagai Presentasi Estetis
Seni pertunjukan sebagai hasil
kebudayaan terjadi mula-mula ingin memuaskan kebutuhan akan naluri dalam bentuk
estetis. Dalam perspektif filsafat keindahan, selama ini telah banyak
mengeluarkan ragam teori dan pandangannya. Hal ini menyangkut tentang wawasan
terhadap kesenian, baik dipandang dari sudut bendanya maupun persepsi
keindahannya. Selain pandangan mengenai benda dan keindahannya, sudut pandang
juga telah meliputi fungsi serta kemampuan penyerapan dalam hati manusia (audiens).[19]
Estetika perlu dikaji guna menangkap unsur-unsur keindahan serta makna yang
terkandung dalam penyajian ansambel Talo Balak tersebut. Sampai sekarang kita
belum melihat kriteria dan keindahan dalam seni pertunjukan.
Menyimak dari ungkapan di atas,
tampak kajian estetika membutuhkan adanya bentuk tindak apresiasi. Apresiasi
dimaksudkan sebagai rasa kesadaran
terhadap adanya nilai-nilai karya seni budaya yang telah ada.[20] Musik
merupakan suatu karya seni. Suatu karya dapat dikatakan karya seni apabila dia
memiliki unsur keindahan atau estetika di dalamnya. Melalui musik kita dapat
merasakan nilai-nilai keindahan baik melalui melodi ataupun dinamikanya. Pada
ansambel Talo Balak terdapat unsur keindahannya terlihat pada saat mengiringi
tarian-tarian adat, para penabuh kompak dalam memulai dan berhenti dalam
tiap-tiap tabuhannya (lagu), keterampilan menabuh ansambel Talo Balak terlihat
pula pada saat peralihan antar prosesi, strukturnya sama dalam tabuhan, akan
tetapi tiap pola permainan penabuh berbeda tingkat keindahannya.
Fungsi Sekunder Ansambel Talo Balak
Fungsi sekunder dilihat jika seni
itu bertujuan bukan hanya sekedar dinikmati tetapi untuk kepentingan lainnya
sebagai bagian dari masyarakat.[21]
Pada ansambel Talo Balak fungsi sekunder terbagi menjadi tiga fungsi yaitu
fungsi sebagai sarana komunikasi, fungsi pengesahan lembaga sosial, dan fungsi
pengikat solidaritas masyarakat.
Fungsi Sebagai Sarana
Komunikasi
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia
komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang
atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.[22] Berbicara
masalah komunikasi sebenarnya tidak terlepas dari sebuah bentuk interaksi
sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada suatu kehidupan
bersama. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut
hubungan antar individu, kelompok maupun individu dengan kelompok.[23] Dengan
demikian, suatu interaksi sosial terjadi apabila adanya kontak sosial dan
adanya komunikasi.
Musik
memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah musik yang berlaku di suatu
daerah kebudayaan mengandung isyarat-isyarat tersendiri yang hanya diketahui
oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teks
atau pun melodi musik tersebut. Demikian pula pada musik Talo Balak, merupakan
bentuk musik tanpa teks yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Kota Alam yang
bermarga Nyunyai. Mereka sendiri dengan mudah memahami fungsinya sebagai
komunikasi lewat suara ataupun tabuhan (lagu) yang dimainkan oleh ansambel Talo
Balak tersebut.
Hal
ini dapat dimengerti karena sudah merupakan tradisi yang secara turun temurun
dilakukan di kampung tersebut. Sebagai contoh, ketika Tabuh Gupek ditabuh,
masyarakat telah tahu bahwa tabuhan itu digunakan pada saat mengarak tiap-tiap
prosesi gawei. Ataupun canang yang ditabuh sebagai pertanda
pemberian juluk adat atau gelar adat
pada tuan rumah (saybul hajad) yang
melakukan prosesinya, sehingga masyarakat setempat yang ingin melihat secara
langsung jalannya begawei tersebut
langsung berangkat menuju lokasi.
Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial
Fungsi
musik Talo Balak disini menurut beberapa sumber dari tokoh
adat dan masyarakat Kampung Kota Alam, yang menganggap dengan tanpa adanya
kehadiran ansambel Talo Balak ini maka begawei
atau acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna. Berarti bahwa
sebuah ansambel Talo Balak memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu begawei adat. Musik merupakan salah satu
unsur yang penting dan menjadi bagian dalam upacara, bukan hanya sebagai
pengiring. Sebagai contoh, canang
yang ditabuh pada saat legitimasi atau pemberian gelar adat atau julukan adat dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei di Kampung Kota Alam, dan
tabuhan-tabuhan (lagu) dalam mengiringi tari-tarian adat yang diadakan di dalam
sesat.
Fungsi Sebagai Pengikat Solidaritas Masyarakat
Ansambel
Talo Balak tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat setempat, karena
alat musik tersebut juga merupakan wujud kegiatan sosial, artinya menyangkut
kehidupan bermasyarakat. Ansambel Talo Balak merupakan bagian integral dari sistem
sosial masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat bahwa alat musik dapat
meningkatkan solidaritas dan persatuan di antara mereka. Semua ini akhirnya
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tingginya rasa kegotong-royongan,
persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.
Rasa
persatuan dan kesatuan antara kelompok musik Talo Balak dan anggota masyarakat
dapat dilihat dalam kegiatan gotong-royong, di antaranya dalam membuat atau
mendirikan tempat prosesi adat, seperti lunjuk,
kayu aro, lawang kuri, ijan/titian, pembersihan lingkungan, maupun dalam
rangka penyajian ansambel Talo Balak. Mereka saling menolong demi terciptanya
rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasa
solidaritas antar masyarakat dalam kehidupan masyarakat Kampung Kota Alam
adalah falsafah yang mendasar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena
masyarakat Kampung Kota Alam memegang teguh falsafah Lampung yang berbunyi sakai sambayan
(tolong menolong). Rasa solidaritas merupakan faktor dominan sehingga
ansambel Talo Balak mampu berkiprah. Selain adanya motivasi untuk berinteraksi
dalam kolektivitas kebudayaan di era global ini, rasa kebersamaan yang terjalin
harmonis antar sesama pemainnya. Selain sebagai sarana-sarana bagi masyarakat,
ansambel Talo Balak berhasil menjadi wadah untuk menjalin ikatan sosial
terhadap masyarakat Kampung Kota Alam. Ikatan sosial tersebut terkadang
tidaklah hanya berhenti dalam wilayah berkesenian di dalam ansambel Talo Balak
namun mereka secara bersama-sama mempunyai kesadaran kongkrit sebagai bagian
dari masyarakat Kampung Kota Alam dalam memajukan keseniannya.
KESIMPULAN
Masyarakat etnis Lampung Pepadun
Abung Siwo Mego adalah masyarakat mayoritas yang mendiami propinsi Lampung
serta masyarakatnya masih memegang kepercayaan patrilineal dan kestatusan
sosial dalam masyarakat adat. Kepercayaan tersebut melahirkan kegiatan-kegiatan
upacara adat dan salah satunya adalah Begawei
Mepadun Munggahi Bumei. Begawei
Mepadun Muaggahi Bumei dengan sajian ansambel Talo Balak di dalamnya
merupakan upacara adat yang dapat dinilai sebagai suatu kebudayaan masyarakat
Lampung Pepadun dan suatu kesenian tradisional yang masih murni, berfungsi
sebagai upacara adat pengambilan gelar adat tertinggi dan menjadi penyimbang di dalam adatnya, dengan
tujuan untuk menjadi pemimpin di dalam adat istiadat. Dengan kata lain, upacara
adat pengambilan gelar adat tertinggi di jurai
Pepadun yang bisa kapan saja dilaksanakan dengan catatan saybul hajad telah mampu melaksanakan Begawei Mepadun.
Pelaksanaan
Begawei Mepadun Munggahi Bumei
merupakan wujud dari keyakinan masyarakat Kampung Kota Alam terhadap penyimbangan yang diyakini sebagai
pemimpin yang beradat dalam mengatur baik buruknya dalam rumah tangga dan
keluarga besarnya. Penyimbang adat
adalah sebuah kehormatan bagi seorang laki-laki yang telah berkeluarga apabila
telah memiliki gelar adat dan telah memimpin dalam adat istiadat dan sekaligus
bahwa lelaki atau kepala keluarga tersebut tidak keluar dari adat dan masih
ikut serta dalam kegiatan dan peraturan adat. Setiap laki-laki yang telah
berkeluarga dan tidak memiliki gelar adat di dalam masyarakat Lampung maka
seorang tersebut tidak menjalankan salah satu butir dalam falsafah pi’il pasenggiri yaitu bejuluk beadek yang artinya memiliki julukan di dalam adat dan memiliki gelar
adat di dalam adat, serta dianggap telah keluar dari adat istiadat, kehilangan
hak-haknya di dalam adat dan kedudukkan orang yang tidak memiliki gelar adat
biasanya dijadikan sebah, beduwo,
dalam begawei apabila ikut serta
dalam upacara adat.
Ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei sangat
berperan penting sebagai pengiring dan pelengkap dalam upacara adat, dan juga
di percaya oleh masyarakat Marga Nyunyai bahwa apabila tidak adanya ansambel
Talo Balak maka suatu upacara adat tersebut dianggap tidak sempurna dalam begawei. Peranan ansambel Talo Balak
dalam Begawei Mepadun, adalah sejak dari awal prosesi begawei berlangsung sampai akhir akan penobatan atau legitimasi
pengambilan gelar adat tertinggi ansambel Talo Balak terus dimainkan. Tahap
demi tahap upacara Begawei Mepadun
tidak lepas dari peranan ansambel Talo Balak, hingga akhirnya sampai pada
tingkat pengesahan seorang kepala rumah tangga menjadi pemimpin di dalam adat
istiadatnya. Pengambilan gelar adat tertinggi tersebut maksudnya adalah suatu
prosesi adat dimana seorang bisa dipandang dalam masyarakat bahwasanya seorang
tersebut mampu mengambil gelar adat tersebut dan selain itu terangkatlah status
sosialnya dalam masyarakat adat. Tanpa penyajian ansambel Talo Balak, Begawei Mepadun Munggahi Bumei tidak
dapat dilaksanakan sebagai upacara adat pengambilan gelar adat tertinggi di jurai Pepadun sebagaimana fungsinya.
Masih tingginya keyakinan masyarakat
Kampung Kota Alam yang diwariskan oleh nenek moyang mereka bahwa dengan menyajikan
ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun
Munggahi Bumei, seorang kepala rumah tangga yang akan mengambil gelar adat,
secara kemanusiaan akan merasa bangga dan terhibur sehingga menjadi meriahlah
pesta adat besar tersebut. Selain itu, juga mendorong masyarakatnya untuk tetap
mempertahankan keberadaan ansambel Talo Balak dalam Begawei Mepadun Munggahi Bumei.
Penyajian ansambel Talo Balak di
Kampung Kota Alam mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan penyajian ansambel
Talo Balak di daerah lain atau kampung-kampung yang masih satu kesatuan Abung
Siwo Migo. Ciri utama ansambel Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam
adalah tidak menggunakan gendang/rebana sebagai pemimpin dalam ansambel
melainkan instrumen kulitang yang
menjadi pemimpin di dalam ansambel Talo Balak. Selain itu pula, ansambel Talo
Balak yang berada di Kampung Kota Alam tabuhan-tabuhannya (lagu-lagu) berbeda
judul tabuhan, sama judul tabuhan akan tetapi motif tabuhan serta tangga
nadanya berbeda, dan memiliki sembilan nada dalam instrumen kulitangnya. Tidak seperti di daerah
lain atau kampung-kampung yang satu kesatuan Abung Siwo Migo instrumen kulitangnya memiliki lebih dari sembilan
nada.
Ansambel Talo Balak memiliki dua
modus nada yang dipergunakan untuk lima tabuhan yaitu: (1) Tabuh Tari; (2)
Tabuh Gupek; (3) Tabuh Sanak Miwang Di Ijan; (4) Tabuh Ujan Tuyun; dan (5)
Tabuh Sirang. Perilaku pembelajaran yang teramati dalam ansambel Talo Balak
masih mengikuti metode tradisional, yaitu dengan cara peniruan, baik perorangan
maupun klasikal, dan non-partitural. Ansambel Talo Balak pada masyarakat
Kampung Kota Alam berfungsi sebagai: (1) fungsi hiburan; (2) fungsi sebagai
kepuasan estetis; (3) fungsi sebagai sarana komunikasi; (4) fungsi pengesahan
lembaga sosial; dan (5) fungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat.
Saran
Begawei Mepadun
Munggahi Bumei yang diiringi ansambel Talo Balak
dan rangkaian kegiatan prosesi-prosesi adat sehingga menjadi pertunjukan yang
menarik, sebaiknya para pecinta seni daerah ikut melestarikan Begawei Mepadun Munggahi Bumei yang
merupakan kekayaan budaya dan sebagai suatu pertunjukan khas daerah yang
menarik bagi masyarakat luas yang belum mengenal kebudayaan masyarakat Kampung
Kota Alam pada khususnya dan pada umumnya kebudayaan masyarakat Lampung. Karena
seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi serta kesenian modern di
kalangan masyarakat luas, maka disarankan agar kelompok-kelompok musik Talo
Balak untuk menyiapkan generasi penerusnya. Hal ini mengingat kurang
berminatnya kaum muda untuk mewarisi bakat dalam ansambel Talo Balak.
Untuk mempertahakan kontinuitas dan
keberadaan ansambel Talo Balak, maka perlu dilakukan koordinasi yang serius
dari pihak baik dari pemerintah daerah, swasta, seniman, dan pemerhati seni dan
budaya serta masyarakat itu sendiri agar ansambel Talo Balak dapat dikenal oleh
masyarakat luas. Mengingat ansambel Talo Balak merupakan sebagai pengiring
dalam upacara adat dan sebagai identitas masyarakat Lampung. Beberapa hal yang
dapat dijadikan alternatif dalam upaya melestarikan ansambel Talo Balak adalah:
(1) membuat dokumentasi audio visual dan tertulis secara terperinci dan
menyebarkan hasilnya ke lembaga-lembaga pendidikan, kesenian dan kebudayaan,
adat, masyarakat, dan instansi pemerintah; (2) memasukkan sebagai mata pelajaran
muatan lokal atau ekstra kurikuler di semua tingkat pendidikan; (3) mengadakan
lomba-lomba untuk merangsang kreativitas; (4) lebih mengaktifkan
lembaga-lembaga kesenian, adat dan kebudayaan; (5) meningkatkan penghargaan
finansial kepada para seniman penggiatnya; (6) mengadakan pertunjukan secara
berkala; dan (7) mengadakan pelatihan rutin.
KEPUSTAKAAN
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
Arsana, I Gusti Nyoman. Deskripsi
Musik Pengiring Tari Sigeh Penguten. Bandar
Lampung:
UPTD Taman Budaya, 2009.
Banoe, Pono. Pengantar Pengetahuan Alat Musik. Jakarta: CV.Baru, 1984.
__________. Kamus
Musik. Yogyakarta: Kanisius,
2003.
Hasanudin. “Talo Balak dalam
Gawei Adat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego.”
Skripsi untuk meraih gelar S1 pada
Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, 2007.
Hugh M. Miller, Introduction to Music a Guide to Good
Listening. Triyono Bramantyo. (terj.) “Pengantar Apresiasi Musik”.
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, t.p.t.t.
http://mestaboh.com/217/adat-pepadun-abung-sewou-megou-dengan-marga-marganya,diakses tanggal 14 Februari 2013 jam 21.00 WIB.
http://institut-lampungologi.blogspot.com/2009/05/asal-usul-suku-lampung.html,diakses tanggal 10 Maret 2013 jam 10 WIB.
Iman Yang Suttan. “Seratus Tigo
Genep Wo Ganjil”. Lampung Utara:
t.p., 1993.
Iskar. Kamus Bahasa Lampung Aksara Edisi 2. Bandar Lampung: Smart Cipta
Intelekta, 2012.
Keraf, Gorys. Komposisi. Flores: Nusa Indah, 1980.
Marhijanto, Bambang. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur, 1995.
Merriam, Allan P. The
Anthropolgy of Music. Chicago: Northwestern University Press, 1964.
______________. “Metode dan
Teknik Penelitian Etnomusikologi,” dalam R. Supanggah, ed., Seri Bacaan Etnomusikologi. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Misthohizzaman. “Musik dan Identitas Masyarakat Tulang Bawang.” Tesis untuk meraih
gelar S2 pada Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarja Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 2006.
Nakagawa, Shin. Musik
dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001.
Nettl, Bruno. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe, A
Division of the Malmlea Company, 1964.
Retnoningsih, Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya, 2012.
Sa, Sabaruddin. Lampung
Pepadun dan Saibatin/Pesisir – Dialek O/Nyow dan Dialek A/Api. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau,
2012.
Shadily, Hassan dan John M.
Echols. Kamus Inggeris Indonesia. Jakarta: P. N. Gramedia, 1984.
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2002.
___________. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.
Soekamto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV.
Rajawali, 1988.
Sutrisno,
FX. Mudji dan C. Verhaak. Estetika Filsafat
Keindahan. Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Alam
Syah gelar adat Suttan Alam Syah, 78 tahun, Pensiunan Departemen Penerangan, Perumnas
Tulung Mili, Kotabumi, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat Lampung Utara.
Mansur
gelar adat Suttan Puseran Agung, 71 tahun, Pensiunan PNS, Jl. Suttan Demak
Kuaso, Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Tokoh Adat Kampung Kota Alam.
Herman
Murad gelar adat Sesunan Paduko Rajo, 57 tahun, Lampung Abung Nyunyai, Dinas PU,
Kampung Kota Alam, Tokoh adat Kampung Kota Alam.
Sarbini
gelar adat Rajo Nimbang, 56 tahun, Lampung Abung Nyunyai, Kampung Kota Alam, Tokoh
Adat.
Saiful
Dermawan, SH., MM. glr Kanjeng Ratu Suttan, 51 tahun, Kepala Dinas Ekspektorat
Lampung Utara, Jl. Raden Intan No. 242 Kel. Kota Alam, Ketua Badan Perwatin Adat Lampung Pepadun Kampung Kuto Alam
Mergo Nyunyai.
Zainudin,
51 tahun, Wiraswasta, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg Kosgoro Kel. Kota Alam, Pemain/penabuh
ansambel Talo Balak di Kampung Kota Alam.
Azas
gelar adat Suttan Mangku
Negara, 50 tahun, PNS, Kampung Kota Alam, Saybul Hajad (Tuan Rumah).
Rahman
gelar adat Kiser Mergo, 47 tahun, Lurah Kota Alam, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg
Kosgoro Kel. Kota Alam, Tokoh
Adat Kampung Kota Alam.
Zainudin
gelar adat Batin Kiyai, 47 tahun, Wiraswasta, Jl. Suttan Demak Kuaso. Gg Kosgoro
Kel. Kota Alam, Pimpinan penabuh ansambel Talo Balak di Kampung Kota Alam.
Firmansyah
gelar adat Pangeran Mangku Bumi, 44 tahun, Wiraswasta, Jl. Raden Intan Kel.
Kota Alam, Sekertaris Badan Perwatin Adat
Lampung Pepadun Kampung Kuto
Alam Mergo Nyunyai.
Dra.
Nani Rahayu, MM, 41 tahun, Koordinator Seni Budaya dan Pariwisata Dinas Pemuda,
Pariwisata, Kebudayaan Lampung Utara, Jl.Pahlawan Gg. Asri No.139 Kelurahan
Tanjung Aman Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung
telp.(0724) 24052 HP.08127913420 –08127919446, Ketua
Umum Sanggar Cangget Budaya Lampung Utara dan Dewan Kesenian Kabupaten Lampung
Utara.
Ahmad
Rifa’i, 39 tahun, PT PLN Persero Cab. Kotabumi Ranting Bumi Abung, Kotabumi,
JL. Ahmad Akuan No. 223 Kelurahan Sribasuki, Seniman Tradisi dan anggota Dewan
Kesenian Lampung Utara.
[1]R.M Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era
Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), p. 7.
[3]Hasanudin, “Talo Balak dalam
Gawei Adat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego”
(Skripsi untuk meraih gelar S1 pada
Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia
Yogyakarta, 2007), p. 1-2.
[4]Misthohizzaman, “Musik dan
Identitas Masyarakat Tulang Bawang” (Tesis untuk meraih gelar S2 pada Jurusan
Ilmu-ilmu Humaniora Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Sekolah Pascasarja Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006), p. 56-61.
[5]Hasanudin, op. cit., p. 4.
[6]Misthohizzaman, op. cit., p. 266.
[8]http://mestaboh.com/217/adat-pepadun-abung-sewou-megou-dengan-marga-marganya diakses tanggal 14 Februari
2013.
[9]Sabaruddin Sa, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir –
Dialek O/Nyow dan Dialek A/Api (Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, 2012), p.
62.