Dari semua sumber yang digali, tidak ada yang dapat memastikan sejak
kapan gitar masuk ke Tulang Bawang. Walupun demikian, masyarakat Tulang Bawang
menganggap, bahwa gitar adalah sisa-sisa persentuhan mereka dengan Portugis dan
Belanda. Persentuhan masyarakat Tulang Bawang dengan bangsa asing dimulai di
Banten pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir (1605-1640). Pada masa itu,
Banten telah ada orang-orang Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris, yang
datang karena tertarik rempah-rempah yang melimpah di Nusantara. Portugislah
yang pertama kali berhasil membangun benteng dan jaringan perdagangan di
wilayah ini, seperti di Ternate, Tidore, Ambon, Seram, Flores dan Timor, muar
di Selatan Malaysia, Tugu di Jakarta, Makassar, dan Timor Timur.[1] Bangsa Portugis ternyata juga
membawa beberapa alat music, Yaitu: giatar, violins alto (viola dalam bahasa
Portugis; biola dalam bahasa Indonesia-Melayu) dan perkusi. Disamping itu juga
meniggalkan komunikasi keturunan Portugis yang menetap di wilayah tertentu,
seperti Tugu di Jakarta dan kampong Serani di perkampungan nelayan di Malaka.
Juga hanya bangsa Portugislah di antara para kolonialis Eropa yang berani
menikah dengan wanita setempat, lau menetap di sana. Keturunan Portugis ini
biasa memakai nama Portugis berikut segala kebiasaannya.
Menurut R. Abdurrahman dalam Tesis
Misthohizzaman halaman 68, setelah melewati 80 tahun persentuhan dengan wilayah
Asia Tanggara, terbentuklah suatu populasi campuran dengan budaya etnis
setempat dan serapan dari Afrika, India, Melayu, dan Portugis sendiri, yang
kesemuanya masih dapat dijejaki secara jelas dalam bentuk lagu, music dan tari.
Hasil percampuran yang tersebar di wilayah Asia Tenggara ini salah satunya
adalah ansambel Keroncong. Dalam pertunjukan keroncong secara tradisional di
Kampung Tugu, gitar keroncong dipadukan dengan cuk dan cak. Cuk bernada rendah
dimainkan tepat pada ketukan, sementara cak yang bernada tinggi dimainkan tidak
pada jatuh ketukan (counterbeat), para musikolog juga menganggap keroncong
bukanlah music asli bangsa Indonesia, melainkan music hasil percampuran antara
music Eropa, Melayu, dan Polenesia. Keberadaan keroncong di Indonesia,
telah diakui sebagai warisan Portugis yang bercampur dengan kekayaan local.
Pada genre gitar kalsik Lampung Tulang Bawang, keberadaan gitar dan ukulele
yang disebut dengan cuk, kroncong atau kruccung, mengisarakat adanya persamaan
atau kedekatan hubungan dengan music keroncong di Jawa.
Pengakuan,bahwa gitar merupakan
warisan Portugis juga dibenarkan oleh seniman Tulang Bawang. Kehadiran Portugis
di Tulang Bawang diakui memang pernah terjadi. Pengaruh Belanda yang menetap di
Tulang Bawang sejak tahun 1655 hingga 1913, saat peran Menggala sebagai pusat
perdagangan dialihkan ke Teluk Betung dan Kotabumi, jelas menorehkan jejak yang
cukup dalam, seperti system tatakota Menggala dengan jalan-jalan yang lurus dan
teratur, bentuk arsitektur bangunan, juga nama-nama jalan di Menggala yang
hingga saat ini masih memakia bahasa Belanda, yaitu Strat I sampai Strat V. Dalam pertunjukan gitar klasik
Lampung Tulang Bawang,pengaruh belanda dapat dijejaki dengan kata yang
digunakan. Lagu tetti’ satu kris misalnya. Kata kris berasal dari kruis berarti
naik setengah nada. Juga stem pal yang berasal dari Belanda stem melaras dan
fals, yang berarti sumbang. Nama-nama lagu atau petikan gitar
klasik Lampung juga memiliki kesamaan dengan yang ada di luar Lampung. Misalnya
ada yang bernama kembang kacang, yang merupakan judul lagu keroncong di Jawa.
Juga stambul yang di Jawa merupakan salah satu bentuk Keroncong.
Nama Gitar Klasik Lampung
Kata klasik berasl dari bahasa Latin classicus yang
lebih jauh berasal dari classisi merujuk kepada kelompok masyarakat yang
menduduki kasta tertinggi di Roma. Sementara Pono Banoe memberikan batasan
dengan: Klasik. 1) keadaan atau kondisi yang mutunya patut dicontoh dan
terikat pada tradisi. 2) Zaman lampau, periode sebelum Zaman romatik. Periode
sebelum zaman sekarang. 3) Gaya music masa kejayaan Haydn, Mozart dan Beethoven
pada saat mana music dibakukan dan menjadi panutan periode zaman berikutnya.[2]
Sumber lain,
menyebutkan makna klasik dengan: 1.Mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi
tolak ukur kesempurnaan yang abadi; tertinggi; 2. Karya sastra yang bernilai
tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur atau karya susastra zaman
kuno yang bernialai kekal; 3. Bersifat seperti seni klasik, yaitu sederhana,
serasi, dan tidak berlebihan; 4. Termasyhur karena bersejarah; 5. Tradisional
dan indah.[3]
Dari semua terminology yang ada diatas, yang terasa lebih tepat
untuk memberi batasan arti terhadap kata klasik dalam gitar klasik Lampung
adalah sederhana, serasi, tidak berlebihan, mempunyai nilai atau mutu yang
diakui, dan menjadi tolak ukur serta terikat kepada tradisi. Disamping itu,
gitar klasik Lampung seperti juga teknik petikan dawai pada gitar klasik Barat,
hanya mengenal teknik petikan satu persatu nada dan tidak ada nada yang
dibunyikan secara bersama untuk membentuk akord, hal inilah yang menyebabkan
genre kesenian ini diberi nama gitar klasik Lampung, dan ini dibenarkan oleh
pra pelaku seniman pendukung gitar klasik Lampung. Raja Tihang Aneu dan Abu Tholib
Khalik berpendapat, bahwa nama klasik didapat karena muatan syair dalam gitar
klasik Lampung yang penuh dengan nilai-nilai social dan ajaran agama, sehingga
dianggap sangat bermutu. Gitar klasik Lampung juga dikenal dengan nama lain,
yaitu gitar tunggal, karena dapat dimainkan hanya dengan satu gitar saja.
Istilah giatr tunggal lebih banyak digunakan oleh masyarakat Say Batin, hal ini
karena masyarakat Say Batin menganggap music klasik buat mereka adalah gambus.[4]
PAPARAN GITAR KLASIK LAMPUNG PADA MASYARAKAT TULANG
BAWANG
A.
Unsur-unsur Dasar
Pertunjukan Gitar Klasik Lampung
Pemain dan organisasi pemain
Gitar klasik Lampung ditinjau dari salah satu fungsinya merujuk
batasan Soedarsono adalah hiburan pribadi,[5] sehingga
dapat dimainkan oleh seorang pemain saja. Tetapi karena juga digunakan dalam
kegiatan social yang tidak terkait atau bersifat peribadatan, maka ia pun dapat
ditampilkan di depan public baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Gitar klasik Lampung
Tulang Bawang adalah jenis permainan music vocal instrumenat yang dapat tampil
solo maupun dalam bentuk ansambel. Di
mainkan seorang diri maka pemetik gitar merangkap menjadi menyanyi atau
mengiringi penyanyi lain, sedangkan bila mengiringi penyanyi dalam bentuk
ansambel, maka gitar, cuk dan botol limun dimainkan bersama-sama. Peran
penyanyi dapat dirangkap oleh satu pemain ataupun orang lain. Tidak ada pembatasan
jenis kelamin dalam genre ini, sehingga dapat dimainkan oleh pria dan wanita untuk
mengiringi penyanyi pria atau wanita. Walaupun demikian, ternyata kesenian ini
dianggap oleh banyak dikuasai oleh kaum wanita sejak paling tidak untuk satu
atau dua generasi lebih tua dahulu kala.
Hal ini karena pengaruh
konsep dan hokum adat megou pak tulang bawang yang melarang anak gadis mereka
keluar rumah saat orang tuannya pergi, dan juga harus diantar bila keluar
rumah. Dirumah, mereka diwajibkan untuk belajar menguasai segala pekerjaan dan
keterampilan sebagai bekal kelak berumah tangga. Untuk menghalau kejenuhan
mereka diizikna untuk menghibur diri sendiri, termasuk belajar memetik gitar.
Demikian lah, perlahan-lahan dominasi penguasaan wanita tulang bawang terhadap
permainan gitar klasik lampung ini terbentuk. Kaum pria juga
menguasai genre kesenian ini, karena disamping berfungsi sebagai hiburan
pribadi, juga dapat digunakan sebagai penambah daya tarik lawan jenisnya, dan
penambah tingkatan status social secara informal. Posisi laki-laki ini
diperkuat kaidah hukum masyarakat tulang bawang yang menganut prinsip mayorat
laki-laki, yaitu lebih mendahulukan kepentingan laki-laki, terlebih diranah
public. Wanita diizinkan tampil kedepan public secara terbatas, seperti acara
keluarga. Bila tampil solo ia memetik
gitar dan merangkap menjadi penyanyi, sedangkan bila ada laki-laki yang
menemaninya, kaum wanita lebih cenderung tampil hanya sebagai penyanyi saja.
Hal ini menjadi salah satu penyebab berkurangnya tingkat penguasaan
kaum wanita Tulang Bawang generasi sekarang dalam memainkan gitar klasik Lampung.
Penurunan tingkat penguasaan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi,
yang menyediakan beragam hiburan dan perlahan menggeser posisi gitar klasik
Lampung sebagai hiburan di kala senggang. Ada beberapa kelompok
penggiat seni di Tulang Bawang yang biasa menyertakan gitar klasik Lampung
dalam pertunjukan, selain tari-tarian, yaitu: (1) Sanggar Besapen asuhan Pemda
Kabupaten Tulang Bawang; (2) Sanggar Rio Tengah Menggala; (3) Sanggar Lebuh
Kancah Indah Panaragan; dan (4) satu Sanggar lagi didaerah Pagardewa. Setiap sanggar umunya
memiliki seorang ketua yang melakukan kerja-kerja administrasi dan terkandung
juga wilayah estetik. Jadwal latihan dibuat bersama dengan menimbang keluangan
waktu anggota yang menegaskan, bahwa gitar klasik Lampung belum dapat dijadikan
sandaran utama dalam menfkahi hidup pendukungnya, juga mengentalkan fungsinya
sebagai genre kesenian perintang waktu belumlah pudar. Ketua juga mencari
alternative tempat pertunjukan dan sumber penghasil yang dibutuhkan organisasi,
seperti mencari dan menghubungi produser yang berminat memproduksi karya seni
mereka, bahkan tidak jarang, ketua bersama anggotanya membiayai sendiri
produksi karya seni yang mereka buat.
Alat musik
Alat musik yang digunakan dalam
pertunjukan gitar klasik lampung pada awalnya hanya gitar dan kemudian
berkembang menjadi ansambel kecil yang terdiri dari gitar, cuk, dan botol
limun. Saat ini, bas elektris juga mulai digunakan dalam pertunjukan gitar
klasik lampung. Kedudukan botol limun saat ini juga sudah sering digantinkan
juga oleh triangle. Semua alat music yang digunakan dalam gitar klasik lampung
saat ini adalah alat music yang umum dijual dipasaran, dalam arti tidak
ditemukan orang yang bekerja khusus sebagai pembuat alat music tersebut. Juga
sudah tidak lagi ditemukan alat music dengan motif hiasan yang khas.
3.
Tempat Pertunjukan
Gitar
klasik Lampung umunya ditampilkan dipanggung atau tempat yang sengaja
ditinggikan sehinga lebih mudah disaksikan oleh para hadirin. Pada acara Jaga Damar gitar klasik Lampung
dimainkan diberanda rumah pangung, atau dihalaman rumah dengan kursi yang
disusun berhadap-hadapan. Dalam acara perkawinan,
biasanya gitar klasik Lampung ditampilkan ditempat yang disediakan untuk
pengisi acara hiburan, umunya tempat memberi sambutan dan sebagainya, atau
dapat juga tampil didepan pelaminan kedua mempelai.
4.
Penonton
Penonton
yang hadir dalam pertunjukan gitar klasik Lampung biasanya adalah orang yang
menghadiri sebuah acara yang menghadirkan gitar klasik Lampung sebagai
hiburannya. Hal ini terjadi karena sangat jarang ada pertunjukan khusus gitar
klasik Lampung, dengan waktu, tempat, da penampil tertentu baik yang memungut
biaya masuk tertentu maupun Cuma-Cuma. Masyarakat memberikan
tanggapan terhadap pertunjukan yang berlangsung dengan memberikan komentar
sepontan, terutama bila syair yang dinyanyikan dirasakan mengena dihati
pendengarnya. Penonton terkadang menyebutkan judul lagu tertentu sebagai
permintaan untuk dinyanyikan, yantg umunya sudah dikenal dimasyarakat, atau
ciptaan sang seniman.
5.
Waktu Pertunjukan
Tidak ada
batasan tetap tentang waktu pertunjukan gitar klasik lampung tulang bawang.
Pada jaga damar, permainan gitar klasik lampung dapat berlangsung cukup lama
karena jaga damar itu sendiri berlangsung semalam penuh, kecuali pada bulan
Ramadan yang dibatasi hingga menjelang waktu saur tiba saja. Selain malam jaga
damar, waktu pertunjukan biasanya diserahkan kepada pihak yang mengundang,
terkadang pagi, siang atau malam hari. Gitar klasik lampung juga dipakai para
pemuda saat berkunjung kerumah gadis idamannya, biasanya dilakukan pada siang
hingga sore atau malam hari seusai magrib.
6.
Penyelenggara
Sebagai seni
pertunjukan yang berangkat dari hiburan pribadi dan kemudian bergerak memasuki
wilayah public, gitar klasik lampung tampil dengan dua alasan. Pertama, factor
internal, artinya keinginan untuk tampil berasal dari inisiatif pelakunya dan
kedua factor eksternal, yaitu keinginan adanya suatu pertunjukan dengan
inisiatif berasal dari luar pemainnya. Keinginan untuk tampil
kewilayah public berdasarkan factor internal, umunya didorong oleh tujuan
pribadi yang bersifat menunjukan bakat dan prestise sang senimanya. Hal ini
terlihat dari pemanfaatan gitar klasik lampung dalam aktifitas pergaulan bujang
gadis, atau seorang pemain gitar klasik yang menawarkan diri untuk tampil dalam
sebuah acara. Dalam batasan internal ini, lazimnya pemain tidak dapat imbalan
jasa dalam arti financial untuk penampilannya.
Umunya penyelengara
sebuah acara yang menampilkan gitar klasik lampung adalah keluarga yang sedang
begawei adat, seperti pernikahan atau khitana. Institusi yang lain juga
tercatat pernah mengundang seniman gitar klasik lampung untuk tampil adalah
lembaga-lembaga penyiaran pemerintah maupun suasta, seperti RRI, Radio swasta,
TVRI Lampung dan LTV ( Lampung televisi). Tidak ketinggalan,
gitar klasik lampung juga pernah dimaanfaatkan oleh partai politik untuk
memeriahkan kegiatan partai politik tersebut seperti kampanye pemilihan umum.
Undangan ini menegaskan, bahwa gitar klasik lampung dapat dimanfaatkan untuk tujuan
yang lebih luas. Perkembangan terakhir
gitar klasik lampung juga tampil dalam acara yang diselenggarakan oleh lembaga
pemerintahan, yang dipengaruhi kebijakan pemerintah propinsi Lampung sejak era
otonomi daerah prihal perkembangan seni budaya local, dan pemda Tulang Bawang
menanggapinya mendirikan sanggar kesenian untuk mengali potensi seni budaya
Tulang Bawang.
B.
Sistem Pelarasan, Lagu.
System pelarasan gitar yang biasa digunakan masyarakat Tulang Bawang
dalam memainkan lagu-lagu klasik Lampung Tulang Bawang bebeda dengan lazimnya
penalaan gitar standar. System penalaan ini ditinjau dari segi praktis empiris,
mengedepankan semangat pencarian kemudahan dalam memetik gitar dan efisiensi,
yang memang diakui oleh para Pelakunya. Tinjauan praktis terhadap teknik
penjarian memang menegaskan semangat efisiensi dalam berkarya, mengolah kondisi
menimalis untuk mencapai hasil maksimum. Pembahasan system pelarasan didahului
karena menurut R. Supanggah, melalui laras jauh lebih mudah mengenali music
dibandingkan lewat kualitas suara, komposisi music, bentuk, ritme, atau pola
permainan musical.[6] System pelarasan giatr klasik Lampung Tulang Bawang tersebut adalah;
(1) stem pal; (2) stem kembang kacang; (3) stem be; (4) stem hawayang; dan (5)
stem sanak mewing di ejan, denagn tinggi nada dawai masing-masing adalah
sebagai berikut.
No
|
Nama
Sistem Pelarasan
|
Tinggi
nada dawai ke
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1
|
Stem
Pal
|
e’
|
c’
|
g
|
d
|
Bb
|
F
|
2
|
Stem
Kembang Kacang
|
e’
|
b
|
f#
|
c#
|
A
|
F#
|
3
|
Stem
Be
|
e’
|
b
|
g
|
d
|
A
|
G
|
4
|
Stem
Hawayang
|
d’
|
b
|
g
|
d
|
A
|
G
|
5
|
Stem
Sanak Mewang di Ejan
|
e’
|
b
|
g
|
d
|
B
|
G
|
6
|
Standar
|
e’
|
b
|
g
|
d
|
A
|
E
|
Tabel 1. System
pelarasan dawai pada gitar klaisk Lampung Tulang bawang (1-5) san system
pelarasan gitar standar.
System pelarasan berbeda ini juga dikenal dalam marga dan etnis
lain, seperti masyarakat Abung Siwo Megou di Lampung Utara, masyarakat Mandar
di Sulawesi Selatan, demikian juga masyarakat Manado, bahkan di Hawaii, hamper
setiap kepala keluarga memiliki system pelarasan mereka sendiri-sendiri. Dawai pertama disebut bernada e’ adalah sebagai pemudah
perbandingan, karena pada prakteknya dilaras sesuai keinginan pemain gitar
klasik Lampung Tulang Bawang, dapat bernada e’ dan dapat juga bukan. Dawai
pertama selalu menjadi patokan dalam melakukan pelarasan, baik pada permainan
gitar klasik Lampung Tulang Bawang maupun gitaris lain di seluruh dunia.
Penyesuaian tinggi nada dawai pertama pada gitar klasik Lampung ini
biasanya dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) penyesuaian
terhadap ambitus suara penyanyi; dan (2) penyesuaian terhadap ketegangan dawai
yang rentan memutuskan dawai gitar, saat bermain sendiri terlebih saat
kolektif. Dalam permainan bersama, pelarasan merujuk kepada gitar yang terendah
kekuatan dawai dan kondisi organologinya. Pola sikap ini menyiratkan keterbukaan terhadap unsure asing yang
datang dari luar lingkuangannya, menyerapnya dan kemudian mengolahnya menjadi
satu pertunjukan yang tidak mengindikasikan kelemahan salah satu komponennya,
tetapi lebih menunjukan kekuatan kolektif yang muncul dari sekumpulan keadaan
yang berbeda-beda kekuatannya. Sikap ini menunjukkan toleransi yang tinggi
terhadap hadirnya pendatang dan saat yang sama menghormati tatanan yang sudah
mapan bila memasuki wilayah lain. Prinsip toleransi adalah mencari persamaan
dalam perbedaan, dan toleransi inilah wujud pengaruh pandangan hidup masyarakat
Lampung Tulang Bawang nemui nyimah, suka menerima tamu dan suka member sesuatu
kepada orang lain.
Penyamaan laras gitar yang dimiliki dengan gitar orang lain, juga
dapat dimaknai sebagai dilandasi falsafah negah nyappur, yaitu kehendak untuk
masuk ke tengah kalangan komunitas lain dan bergaul secara aktif di dalamnya
dengan menghormati segala kaidah yang dimiliki oleh komunitas tersebut. Sisi lain adalah munculnya kesadaran dan kiat untuk mengolah bahan
yang tersedia (kondisi gitar berkemampuan terendah) dan menampilkannya dengan
yang terbaik, yang pada dasarnya didorong oleh bentuk positif penafsiran
lanjutan dan pi’il pasenggiri, yakni kesenengan terhadap pujian, kebesaran
nama, keagungan martabat dan sikap menjunjung tinggi harga diri. Dalam genre gitar klasik Lampung Tulang Bawang dikenal 9 buah lagu
yang disebut petikan atau tetti’, yang masing-masing bermelodi baku, dan
biasanya dimainkan dengan system pelarasan tertentu. Kesembilan lagu tersebut
adalah: (1) tetti’ pal; (2) tetti’ kembang kacang; (3) tetti’ stambul; (4) tetti’ keroncong pandan; (5) tetti’ tiga
serangkai; (6) tetti sanak mewing di ejan; (7) tetti’ las bas; (8) tetti’ satu
kris; dan (9) tetti’ hawayang. Kesmbilan tetti dalam genre gitar klasik Lampung
Tulang Bawang di atas dimainkan dalam system pelarasan tertentu, dan dikenal
juga dengan beberapa istilah lain seperti terlihat pada table berikut.
Nama
Pelarasan (Steman)
|
No
|
Nama tetti’ atau petikan menurut versi
|
|||
Sabki
|
Daman
Hori B.S.
|
Cikdin
Syahri SM
|
Masyarkat
|
||
Stem
pal
|
1
|
Pal
|
Pal
|
Pal
|
Pal
|
Kembang
Kacang/ Batang Kanyut
|
2
|
Mesuji/
Batang Kanyut
|
Kembang
Kacang
|
Kembang
Kacang
|
Kembang
Kacang
|
Stem
B
|
3
|
Mol
(Stambul)
|
Stambul
Be
|
Stambul
Mol
|
Stambul
|
4
|
---
|
Kroncong
Pandan
|
Keroncong
Pandan
|
Keroncong
Pandan
|
|
5
|
Bebai
Balew
|
Tiga
Serangakai
|
Tiga
Serangkai
|
Tiga
Serangkai
|
|
6
|
Las
Bas
|
Las
Bas
|
Las
Bas
|
Las
Bas
|
|
7
|
Satu
Kris
|
Satu
Kris
|
Satu
Kris
|
Satu
kris
|
|
8
|
Sanak
Mewang Di Ejan
|
Serai
Kasih
|
Cerai
Kasih
|
Sri
Kasih
|
|
9
|
Hawayang
|
Hawayang
|
Hawayang
|
Hawayang
|
|
Hawayang
|
10
|
Hawayang
|
Hawayang
|
Hawayang
|
Hawayang
|
Sanak
Mewang
|
11
|
Sanak
Mewang di Ejan
|
Serai
Kasih
|
Cerai
Kasih
|
Sri
Kasih
|
Domisili
Narasumber
|
Menggala
Tulang Bawang
|
Tanjung
Raja Lampung Utara
|
Sukadana
Lampung Timur, Jakarta
|
Menggala
Tulang Bawang
|
Tabel 2. Nama-nama sitem pelarasan (stem) dan petikan (tetti’) gitar
klasik Lampung Tulang Bawang.
Dua jenis pelarasan, yaitu stem pal
dan stem kembang kacang masing-masing hanya digunakan untuk memainkan satu
tetti’, stem pal dengan tetti’ pal, dan stem kembang kacang dengan tetti’
kembang kacang. Sedangkan tujuh tetti’ lainnya biasa dimainkan dalam stem be.
Tetti’ hawayang dahulu biasa dimainkan dengan system pelarasan stem hawayang,
tetapi baik dilakukan oleh seniman pelakunya atau masyarakatnya, antara lain
karena, lupa istilah aslinya, atau ingin memeperkenalkan istilah baru. Istilah
baru ini dpat menjadi mapan karena masyarakatnya tidak lagi dapat melakukan
kendali terhadap istilah yang diajukan oleh seniman, karena seniman tersebut
dianggap memiliki otoritas social menyangkut hal-hal yang terkait dengan
kesenian tersebut. Istilah baru ini dapat terjadi berdasarkan doronagn
psikologi si seniman untuk membentuk atau memepertahankan social dirinya di
dalam masyarakat.
Teknik pelarasan gitar klasik
Lampung Tualang Bawang umunya dilakukan sebagai berikut: (1) menentukan tinggi
nada dawai pertama; (2) menyamakan tinggi nada dawai kedua yang ditekan pada
fret tertentu dengan dawai pertama; (3) menyamakan tinggi nada dawai ketiga
yang ditekan pada fret tertentu dengan dawai kedua; (4) menyamakan tinggi nada
dawai keempat yang ditekan pada fret tertentu dengan dawai ketiga; (5)
menyamakan tinggi nada dawai kelima yang ditekan pada fret tertentu dengan dawai
keempat; dan (6) menyamakan tinggi nada dawai keenam yang ditekan pada fret
tertentu dengan dawai kelima.
C.
Bentuk Penyajian
1.
Penyajian Secara Langsung
Dalam bentuk penyajian
langsung, gitar klasik Lampung Tulang Bawang dapat tampil dalam beberapa
kesempatan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula, antara lain: 1. hiburan
pribadi, 2. majau mulei (waktu berkunjung yang dilakukan oleh bujang Lampung
kerumah gadis idamannya), 3. Malam Jaga
Damar/Miyah Damar (ajang adu prestasi dan keterampilan memainkan gitar
klasik Lampung dan mengubah syair secara spontan) 4. perkawinan, akikah, dan
khitanan 5. Undangan pertunjukan lain dan 6. Perlombaan. Persoalan busana,
waktu, tempat, dan bentuk komposisi music disesuaikan dengan tujuan pertunjukan
tersebut.
Sebagai hiburan pribadi,
gitar klasik lampung biasanya dimainkan untuk menghibur diri sendiri, keluarga
atau penonton terbatas, yang dilakukan pada malam hari disaat sepi dan hening
diberanda atau ditangga rumah. Syair yang dinyanyikan umunya bernuansa sedih
dan syahdu, karna berisi ungkapan batin, baik sesal terhadap nasib yang menimpa
dirmaupun keluhan terhadap orang yang dikasihi.
2.
Pengunaan GItar Klasik Lampung
Gitar klasik Lampung digunakan sebagai hiburan dalam
aktifitas pribadi dan aktifitas social masyarakat Tulang Bawang. Dalam
aktifitas pribadi, gitar klasik Lampung Tulang Bawang digunakan sebagai alat
ungkap perasaan, gagasan dan fikiran masyarakat Tulang Bawang pada saat-saat
tertentu, mulai dari kegiatan perintang waktu hingga curahaan perasaan. Pada
aktifitas social, gitar klaisk Lampung muncul dalam acara-acara seeprti jaga damar, upacara perkawinana,
khitanan, atau kegiatan lembaga pemerintahan lainya.
3.
Fungsi Gitar Klasik Lampung
Fungsi seni pertunjukan
dalam sebuah masyarakat sangatlah komfleks dan beragam. Identitas pun dapat
dititik dari bagaimana masyarakat meletakkan fungsi seni pertunjukan yang
mereka miliki. Kerumitan seni pertunjukan dalam masyarakat, yang dapat berbeda
dari masyarakat lain, membuat belum pernah ada kesepakatan pendapat mengenai
fungsi-fungsi seni pertunjukan yang sangat komfleks ini. Merujuk kepada batasan
soedarso dan meriam, maka pertunjukan
gitar klasik lampung tulang bawang memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.
Fungsi sebagai hiburan ialah ditunjukkan kepada orang-orang yang berpartisipasi atau yang
khusus menjadi penonton, yang merasa terhibur, baik karena keterampilan memetik
gitar maupun, mengubah syair maupun oleh kandungan syairnya. Penonton umunya
bersikap beragam saat menonton, mulai dari pasif, diam meresapi petikan
gitarnya, lagu yang dinyanyikan oleh pesan syair hingga aktif terlibat
pertunjukan.
b. Fungsi sebagai media
pengungkap perasaan ialah secara jelas terlihat
pada syair yang dipergunakan, yang dapat merupakan ungkapan perasaan sang
pemain sendiri, atau merupakan tafsiran prasaan dan pemikiran tuan rumah,
penonton atau masyarakat, seperti contoh berikut :
Lamen nyak ago sebik bila kukenagkan nasib sendiri
Kak dapok nihan nyak now memang demikian keadaanya
Jak sanak sagon sakik sedari
kecil sakit menjadi
Sampai balak goh ejow hingga
dewasa tetap jua menderita
c. Fungsi pemuas rasa keindahan dan presentasi estetis ialah keterampilan memetik gitar, membuat system pelarasan dawai
gitar dan menciptakan syair yang indah telah menjadi ruang pemuas rasa
keindahan dan pada saat yang sama juga dapat juga menjadi ruang presentasi
estetis pada masyarakat tulang bawang. keindahan mengolah kata, menemukan gerenek pada petikan gitar dan vocal,
kesemuanya menimbulkan rasa puas karena telah melakukan sesuatu secara indah.
Bila hasil penggalian keindahan ini dipertontonkan kepada kehalayak ramai, maka
terciptalah panggung presentasi estetis menurut masyarakat tulang.
d. Fungsi pendidikan dan
komunikasi ialah tampak pada kandungan syairnya
yang bertujuaan mendidik masyarakat atau penonton untuk bersikaf selaras dengan
hal yang dianggap baik dan benar, patut atau tidak patut menurut pandangan
hidup masyarakat tulang bawang.
e. Fungsi sebagai identitas
budaya ialah suatu hal yang melekat bagi hak
asasi dalam kehidupan seorang manusia. Identitas ini perlu dimiliki setiap
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok lainya. Identitas menjadi penanda,
bahwa inilah diri saya, inilah suku bangsa saya, inilah pekerjaan saya, inilah
kebangsaan saya, inilah profesi saya, inilah kelompok saya, dan sebagainya.
Anggapan, bahwa
kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi
teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai tanda atau
(sign). Pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang
ditandai (signifier) telah mengalami perubahan, dari semula memiliki makna
tunggal, ini tidak demikian lagi. Sekali lagi, bahan, bentuk, hasil produksi
(karakter) suara, dan cara memainkannya, adalah isyarat khas yang membuat suatu
alat music dan diasosiasikan dengan pribadi, watak, dan budaya seseorang,
masyarakat, atau bangsa tertentu.
Masyarakat Tulang Bawang mengakui petikan gitar klasik lampung sebagai bagian dari identitas budayanya,
dengan melibatkan gitar klasik lampung dalam beberapa kegiatan kemasyarakatan,
maka masyarakat sebenarnya masyarakat tulang bawang ingin mengungkapkan, bahwa
inilah music tulang bawang. Identitas budaya ini
diperoleh dari modus vocal dan gitar, teknik petikan, nama tetti’ dan system pelarasan, bahasa yang digunakan, dan fungisnya
dalam masyarakat tulang bawang yang berbeda dengan marga dan etnis lain. Hal
lain adalah proses yang harus dijalini oleh seniman hingga diakui oleh
masyarakat, yang dpat berbeda disetiap masyarakat, hingga dapat dijadikan
identitas sosial.
KESIMPULAN
Kata Tulang Bawang memiliki kedekatan pelafalan dengan
To-lang p’o-hwang yang berarti orang Lampung. Lampung sendiri berarti mengapung
diatas air. Pelafalan lain untuk kata Lampung adalah lapping yang berarti luas. Pertunjukan gitar klasik Lampung Tulang Bawang adalah
permainan vocal instrumental yang dapat bentuk ansambel. Pada pertunjukan
tunggal, gitar bermain solo. Dalam format ansambel, gitar tampil bersama cuk
dan botol limun yang dipukul dengan batang logam. Struktur music pada setiap
tetti’ berbeda, beberapa diantaranya memiliki kedekatan bunyi dan alur melodi.
Kedua jenis
permainan instrumental tersebut dapat mengiringi vocal. Melodi gitar bersifat
baku sehingga syair yang dinyanyikan harus mengabdi kepada music dengan
bergerak membentuk rangkaian nada di sekitar melodi gitar dan melakukan
penyesuaian berupa pengulangan suku kata, kata atau kalimat tertentu sesuai
dengan tetti’ yang dibawakan atau kehendak sang seniman dengan tetap mengacu
kepada alur melodi gitar sebagai panduan. Yang masih aktif
dipergunakan dalam permainan gitar klasik Lampung Tulang Bawang saat ini adalah
stem pal, stem kembang kacang, dan stem be. Tetti’ sanak mewang di ejan dahulu
biasa dimainkan dengan memepergunakan system pelarasan stem sanak mewang, dan
tetti’ hawayang biasa dimainkan dalam stem hawayang, tetapi saat ini kedua
tetti’ tersebut lebih sering diaminkan mempergunakan stem be.
Perubahan system
pelarasan dawai pada gitar klasik Lampung Tulang Bawang bertujuan memudahkan
teknik penjarian yang berakar pada konsep-konsep dalam masyarakat Tulang
Bawang, yaitu konsep : music, estetik, social, dan hukum. Konsep music dalam
masyarakat Tulang Bawang adalah : (1) bunyi yang enak didengar; (2) dihasilkan
oleh manusia; (3) dari alat yang dibuat untuk tujuan bermusik; (4) mempunyai melodi; (5) pola dan aturan; (6)
mempunyai tujuan; (7) syairnya mengandung muatan tertentu. Salah satu konsep
keindahan dalam masyarakat Tulang Bawang adalah getaran bunyi yang menghilang
secara alami dan berangsur-angsur.
Gitar klasik
Lampung disajikan dalam aktivitas masyarakat Tulang Bawang secara langsung
dengan menjadi hiburan dalam kegiatan social seperti acara pernikahan,
khitanan, aqiqah, jaga damar, juga acara-acara lembaga-lembaga pemerintah dan
kemasyarakatan. Bentuk sajian langsung ini dimanfaatkan oleh masyrakat Tulang
Bawang untuk menjaga struktur dan norma social kemasyarakatan melalui
penyerapan kandungan makna yang dihembus oleh syair-syair yang digunakan.
Bentuk penyajian music dalam bentuk rekaman audio dan audio visual merupakan
kretifitas yang bertujuan untuk menjangkau masyarakat lebih luas, memanfaatkan
perkembangan teknologi, melestarikan seni pertunjukan gitar klasik Lampung
Tulang Bawang, dan penambahan pendapatan. Gitar klasik Lampung Tulang Bawang
mualai memasuki industry rekaman tahun 1976.
Pada awalnya gitar
klasik Lampung Tulang Bawang adalah jenis kesenian yang bersifat hiburan
pribadi, dan lebih banyak dikuasai oleh wanita, yang dipelajari oleh
gadis-gadis Tulang Bawang untuk menghibur diri dari kejenuhan rutinitas
kegiatan sehari-hari, karena hokum adat Megou Pak Tulang Bawang mewajibkan
gadis-gadis Tulang Bawang untuk lebih banyak berdiam di rumah, mengerjakan
segala pekerjaan rumah tangga sebagai bekal menikah kelak. Beberapa jenis
petikan juga dianggap sebagai lebih layak dinyanyikan wanita karena ambitus dan
alur melodinya, yaitu tetti’ las bas, tetti’ sanak mewang di ejan, tetti’
hawayang dan tetti’ tiga serangkai.
Menurut tingkat
penguasaan dan minat wanita dalam genre pertunjukan ini karena; (1) pengaruh
perkembangan teknologi yang menyediakan ragam hiburan pribadi yang lebih
beranek, (2) pengaruh hokum mayorat laki-laki yang dianut oleh masyarakat Megou
Pak Tulang Bawang, yang mendahulukan kepentingan dan kedudukan laki-laki, (3)
pengaruh pergeseran fungsi dan kedudukan genre kesenian ini dalam masyarakat;
dan (4) pengaruh kecilnya nilai ekonomi dalam genre kesenian ini.
Gitar klasik
Lampung Tulang Bawang menjadi music dan identitas budaya masyarakat Tulang
Bawang karena: (1) system pelarasan dawai gitar; (2) penamaan system pelarasan
dan petikan atau tetti’; (3) modus vocal dan gitar; (4) teknik petikan yang
hanya dua jari, (5) bahasa yang digunakan; (6) alat music yang digunakan; dan
(7) fungsinya dalam masyarakat Tulang bawang. Acaman terhadap keberlangsungan keberadaan gendre gitar klasik
Lampung Tulang Bawang terjadi karena antara lain : (1) Menurut minat generasi
muda Lampung Tulang Bawang; (2) Perkembangan teknologi hiburan; (3) Kurangnya
perhatian lembaga-lembaga adat, lembaga kesenian dan kebudayaan, serta lembaga
pemerintaha; (4) Menurunnya pemakaian bahasa Lampung dalam kehidupan
sehari-hari; (5) Rendahnya nilai tambahan ekonomi bagi para penggiatnya; ( 6) Pergeseran
fungsi dan kedudukannya di dalam aktivitas social masyarakat Tulang Bawang; dan
(7) Semakin berkurangnya orang yang menguasainya.
Beberapa hal yang dapat dijadikan
alternative dalam upaya melestarikan genre kesenian gitar klasik Lampung Tulang
Bawang adalah : (1) Membuat dokumentasi audio visual dan tertulis secara
terperinci dan menyebarkan hasilnya ke lembaga-lembaga, pendidikan, kesenian
dan kebudayaan, adat, masyarakat, dan instansi pemerintah; (2) Memasukannya
sebagai mata pelajaran muatan local atau eskstra kurikuler di semua tingkat
pendidikan; (3) Mengadakan lomba-lomba untuk merangsang kreativitas; (4) Lebih
mengaktifkan lembang-lembaga kesenian, adat, dan kebudayaan; (5) Meningkatkan
penghargaan financial kepada para seniman penggiatnya; (6) Mengadakan
pertunjukan secara berkala; dan (7) Mengadakan pelatihan rutin.
KEPUSTAKAAN
Banoe, Pono. Kamus Musik Yogyakarat: Penerbit
Kanisius, 2003
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
Hasan, Hafizi.
et al. Diskripsi Musik Tradisional Gitar
Tunggal. Bandar Lampung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah
Provinsi Lampung, 1998.
Fattah, Fauzi. Kamus Bahasa Lampung: Lampung-Indonesia Bandar
Lampung: Gunung Pesagi, 2002.
Junaiyah H.M., Kamus Besar Bahasa Lampung – Indonesia Jakarta:
Balai Pustaka, 2001.
Poesponegoro,
Marwati Djoned. dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Soedarsono, R.M.
Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002.
______________.
Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.
______________. Seni Pertnjukan Dari Persepektif Politik,
Sosial, dan Ekonomi Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.
Supanggah,
Rahayu, Bothekan Karawitan I Jakarta:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002.
[1] Poesponegoro dan Notosusanto, 1993b, 64-67.
[2] Pono Banoe, Kamus Musik
(Yogyakarat: Kanisius, 2003), 87.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 574.
[4] Hafizi Hasan, Diskripsi Musik
Tradisional Gitar Tunggal (Bandar Lampung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Lampung, 1998/1999).
[5] R.M. Soedarsono, Metodologi
Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, Cetakan Kedua, 2001), 170-171.
[6] Rahayu Supanggah, Bothekan
Karawitan I (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002), 85.
[7] Junaiyah H.M., Kamus Besar
Bahasa Lampung – Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 4 dan Fauzi
Fattah, Kamus Bahasa Lampung:
Lampung-Indonesia (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 2002).
[8] R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan
Dari Persepektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003), 211.
Izin mengutip ya Dek..Erizal.B untuk penyempurnaan buku LKS Seni Budaya Kls.7 MGMP Kota bandarlampung dan buku " SAGATA -GITAR KLASIK LAMPUNG" Insya ALLAH dalam penulisan....Salam
BalasHapusMaaf mau tanya,bentuk dan fungsi dari petikan kembang kacang dan petikan 3 serangkai itu bagaimana? Mohon bantuannya ya kawan2:)trima kasih
BalasHapus