BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seni
menurut penulis adalah karya yang diciptakan dengan keahlian luar biasa dan kesanggupan
akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam suatu kebebasan
berekpresi. Akan tetapi, pada masa kemunculannya artis dangdut Inul Daratista,
akhirnya kebesasan dalam berseni sekarang untuk para pelaku seni harus sangat
berhati-hati agar tidak terkena undang-undang pornografi yang telah di bentuk
pada tahun 2008. Karena pada masa itu Inul Daratista menyajikan pertunjukan
yang menurut pandangan masyarakat akan mengundang aksi suatu pertunjukan yang
mengarah ke porno aksi. Dengan banyak perdebatan dan pembincangan akhirnya para
dewan perwakilan rakyat republik Indonesia membentuk undang-undang pornografi,
agar masyarakat Indonesia tidak melakukan pornografi dan pornoaksi.
Pada masa itu topik seni dan
pornografi semakin hari semakin hangat saja dibicarakan bahkan tidak sedikit
mengundang pro dan kontra bagi orang yang membahas tentang hal tersebut,
apalagi pembahasan tentang pertunjukan-pertnjukan para biduan-biduan yang
sering di tampilkan pada panggung hiburan. Bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki lebih dari 300 ragam suku dan etnis, 742 bahasa (dialek), budaya dan
agama, situasi ini menjadikan sebuah pembicaraan yang hangat dan tak kunjung
usai, apalagi dengan adanya aturan baru pemerintah yang secara khusus mengatur
tentang pornografi dan pornoaksi, yang semakin menciptakan keseriusan bagi setiap
kalangan terkhusus para pelaku seni untuk semakin berhati-hati dalam berkarya
seni dan mempertunjukan suatu pertunjukan.
Berdasarkan
kenyataan
yang sebenarnya pornografi sendiri sebenarnya mempunyai sudut pandang yang
sangat dengan berbeda seni, namun cenderung banyak kalangan termasuk para
pemangku kebijakan di negara ini, tidak paham dengan perbedaan dua kata
tersebut. Sehingga ada kesan yang menyetarakan seni dengan pornografi itu
sendiri. Hal ini yang sebenarnya ditolak oleh para pelaku seni, kekeliuran
dalam memahami serta mengeneralisasi bahkan menjustifikasikan seni dengan
pornografi atau sebaliknya, merupakan sikap yang sangat tidak teoritis dan
mendasar. Sehingga apa yang menjadi kekeliuran ini telah menciptakan perluasan
masalah yang pada akhirnya menjadi penghambat seniman dalam berkarya.
Pornografi
secara etimologi berarti tempat untuk mengiklankan kegiatan prostitusi, atau
secara harafiah pornografi diartikan
sebagai tulisan tentang pelacur atau pelacuran. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan
porno adalah suatu kegiatan cabul; jorok, sedangkan pornografi diartikan
sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan/tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi. Dua defenisi tersebut memberi gambaran umum bahwa
pornografi adalah sebuah pengeksplisitan tentang persetubuhan, ketelanjangan
serta unsur-unsur yang memuat adanya kecabulan secara sengaja dan dianggap
memiliki nilai-nilai yang tidak etis.
Pemahaman
akan unsur-unsur pornografi dalam aspek seni harus di cermati dengan benar.
Terlebih bila mengaitkannya dengan seni musik, musik sendiri dapat di artikan
suatu nada atau suara yg disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama,
lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat
menghasilkan bunyi-bunyian). Secara teoritis dan mendasar musik merupakan seni
yang bersumber dari bunyi-bunyian (audio).
Namun hal tersebut tidak serta merta dapat bebas dari kaitannya dengan
pornografi. Sekilas teringat pada dua tahun sebelum 2014, banyak dari beberapa
lagu yang beredar di Indonesia dan dicekal oleh pemerintah Indonesia karena
mempunyai unsur-unsur yang berbau cabul seperti lagu Julia Peres yang berjudul
“senang 69”. Pencekalan-pencekalan tersebut semakin membuat pelaku seni
berpikir keras dan kritis, sebatas mana wilayah-wilayah yang dikategorikan
dengan cabul oleh pemerintah Indonesia yang telah di bentuk oleh Undang-undang.
Karena banyak para pelaku seni yang belum mengerti seni yang bagaimana bisa
disebut pornografi.
B. Persoalan/permasalahan
Melihat
serta mengamati penomena yang di bahas pada latar belakang sangat penting di
rumuskan permasalah mengenai pornografi yang seperti apa di dalam seni. Adapun
pertanyaannya bila secara defenisi pornografi selalu dikaitkan dengan bentuk
visual. Berarti pertanyaannya.
ü Apakah secara fungsi, struktural dan kegunaannya
musik bisa dikaitkan dengan pornografi?
ü Apakah dengan audio bisa menyampaikan nilai-nilai
kecabulan?
ü Apa yang dimaksud dengan cabul?
ü Apakah dengan musik bisa mempengaruhi respon
seseorang untuk birahi?
ü Bagaimana dengan aturan-aturan pemerintah Indonesia
yang mengatur tentang pornografi maupun aksi dalam tatanan seni musik?
BAB II
MANEJEMEN SENI PERTUNJUKAN
A. Manajemen Seni
Pertunjukan.
Bagi
beberapa institusi seni, manajemen seni pertunjukan merupakan satu hal yang
perlu dalam memperoduksi sebuah pertunjukan kesenian. Karena mau tak mau,
meskipun sebagai bidang ilmu, muara dari musik itu sendiri adalah bagaimana
memproduksi bunyi itu, baik dalam bentuk rekaman maupun dalam bentuk
pertunjukan musik. Meskipun tidak terkait langsung dengan nilai-nilai komersil,
yaitu dalam tataran seni untuk seni, namun suksesnya sebuah perhelatan atau
pertunjukan musik membawa dampak kepuasan minimal bagi performer apabila sebuah
produksi pertunjukan dilakukan dengan manajemen yang baik. Namun perkembangan
selanjutnya, ketika musik terkait langsung dengan masalah nilai-nilai komersil,
maka ia menjadi lebih atau ‘sangat’ perlu dikelola, dimenej, karena terkait
dengan masalah dampak berikut atau selanjutnya, sehingga dapat memenuhi
keinginan kesenian itu sendiri sekaligus bagi audien sebagai pasar dan bagi
performernya yang dapat menghasilkan materi. Ini tentunya membutuhkan pemahaman
yang baik tentang aspek teoritis maupun praktis.
Bagaimana
hal tersebut kita dapat dalam pengelolan seni pertunjukan? Barangkali dalam
pengelolaan mata kuliah yang terkait dengan manajemen produksi atau manajemen
seni pertunjukan, kita lebih sering mengemukakan contoh-contoh manajemen seni
itu kepada seni pertunjukan yang sifatnya formal, besar, jelas tempat
pertunjukannya, atau barangkali pertunjukan yang dapat dikatakan berskala
besar. Padahal pengelolaan seni pertunjukan dalam skala kecil juga dalam ranah
praktik keilmuan juga dapat kita temukan dalam keseharian, yang ada di
lingkungan kita yang dapat direfleksikan juga pada skala besar, salah satu
contohnya adalah pengamen. Pengamen adalah sebuah pementasan karya musik yang
skalanya relatif kecil untuk merencanakan dan melaksanakan suatu pertunjukan
musik dengan tempat pertunjukan dimana saja ada kesempatan yang memungkinkan
mereka untuk mengekspresikan musiknya. Untuk melaksanakan pertunjukan musik,
pengamen juga membutuhkan pemahaman aspek teoritis, pengenalan lapangan, pasar
atau audiens, sehingga dapat dijadikan sebagai modal dalam kelancaran
pelaksanaan pertunjukannya. Dalam hal ini pengamen tidak hanya dwi fungsi,
yaitu terampil sebagai pekerja dan terampil sebagai pemain, tetapi lebih dari
itu, pengamen akan merangkap sekaligus beberapa peranan. Artinya pengamen harus
mampu sebagai (1) pemain atau pelaku (actor); (2) pembawa acara atau MC; (3)
sebagai manajer; (4) sebagai tenaga pemasaran; (5) pelatih; dan (6) keuangan.
Jika peranan-peranan itu dimainkan oleh pengamen solo sendirian, maka dapat
dikatakan pengamen sebagai satuan terkecil manajemen seni pertunjukan.
Dalam
menjadikan dirinya terampil sebagai pekerja dan pemain, pengamen juga
mengembangkan dirinya tergantung pada level mana yang hendak ia capai. Artinya
pengamen juga mengembangkan berbagai strategi yang kadang cukup kreatif dan
inovatif. Misalnya dalam pemilihan lagu-lagu yang hendak dibawakan, alat musik,
dan berbagai hal yang terjadi di lapangan tempat ia ‘manggung’ yang sangat
situasional. Dalam hal ini sangat dibutuhkan tingkat professional yang matang.
Artinya unsur-unsur manajemennya sangat kental dan menarik untuk dicermati.
Pemahaman ‘enam A’ (apa, mengapa, siapa, bilamana, dimana, dan bagaimana)
meskipun tidak formal mereka dapatkan dari bangku sekolah, tetapi dalam
praktiknya mereka terapkan dalam mengelola dirinya sebagai actor dan sekaligus
manajer. Dalam prakteknya ada pengamen yang mampu mengimplementasikannya dalam
pertunjukan keseniannya, yaitu sebagai penyelenggara dan sebagai pelaku.
Pengamen
dapat disebut sebagai satuan kecil seni pertunjukan, karena unsur-unsur
manajerial ada disana meskipun dilakukan oleh hanya satu orang pelaku saja.
Konsep manajemen seni sebenarnya adalah menganut konsep ilmu ekonomi, yaitu
bagaimana mengatur dan menjalankan sebuah unit-unit kerja agar dapat berjalan
dengan baik, efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Manajemen seni pertunjukan
biasanya terkait dengan masalah efek balik, yaitu khususnya aspek pemasaran dan
penggalangan dana, sehingga dari segi materi pertunjukan juga dapat
dipertunjukkan dengan baik (feeder), yang akhirnya berimbas kepada masuknya
dana, sehingga proses pertunjukan-pertunjukan selanjutnya dapat berlangsung
tarus menerus. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mengelola organisasi dan pertunjukan (musik).
Hal-hal
yang terkait dengan manajemen ini biasanya terkait dengan empat hal, yaitu yang
biasa dalam manajemen dikenal dengan POAC, yaitu unsur-unsur Planing, Organizing, Actuiting,
dan Controlling. Jika kita kaitkan
dengan pengamen, maka mereka juga mempunyai keempat hal tersebut. Mereka
mempunyai perencanaan meskipun terkadang perencanaan ini tidak kelihatan
terlalu matang atau perencanaan jangka pendek, bahkan perencanaan sesaat saja.
Namun ada beberpa pengemen juga yang mempunyai perencanaan matang ketika dia
memutuskan diri menjadi pengamen. Jika dia memilih itu sebagai profesinya, maka
sangat dituntut keprofesionalan, khususnya dalam merencanakan berbagai hal,
baik masa pendek dan masa panjang.
Pengamen
juga mengorganisasikan dirinya dalam kegiatannya, khususnya manajemen diri
sendiri jika itu dilakukan sendiri. Organisasi ini terkait dengan multi-peran
yang ia miliki atau multi peran yang melekat pada dirinya sendiri. Dalam hal
ini ia harus mampu mengorganisasikan dirinya dalam berbagai peran sekaligus.
Dia harus mengetahui dirinya berperan sebagai apa dalam satu waktu. Ketika ia
sebagai MC sebelum membawakan lagu misalnya, ia benar-benar tahu siapa
audiensnya, dan pemilihan kata-kata apa yang tepat ia sampaikan sehingga
memperoleh simpati atau setidaknya mengalihkan perhatian orang kepada
pertunjukan yang bakal ia pertunjukkan dalam waktu berikutnya. Ketika ia
melakukan pertunjukan ia juga mengerti bahwa saat itu ia sebagai performa atau
artisnya. Dalam hal ini teknik-teknik vocal, bermain musik sekaligus,
penguasaan panggung, ekspressi dan sebagainya benar-benar diterapkan. Demikian
seterusnya ketika dalam waktu yang bersamaan dalam multi perannya tersebut.
Dalam mengutip uang dari audiens biasanya, ia mengerti apa ia lakukan. Ini
semuanya membutuhkan pengorganisasian peran agar berlangsung dengan baik,
meskipun dalam skala yang paling kecil, yaitu diri sendiri.
Hal
sama juga ia lakukan untuk melihat bagaimana kemajuan (progress) dari
pertunjukannya dari hari ke hari. Pengamen juga mempunyai goal setting. Dan
goal setting ini tegantung kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok
pengamen. Hal ini berpengaruh secara holistik bagi multi peran tadi, dan ini
kelihatan dari prilaku pengamen itu sendiri. Goal setting mempengaruhi
manjerialnya, dan saling terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu kontrol
terhadap pencapaian dan keberhasilan menjadi bahan koreksi bagi pengembangan
berbagai hal.
B. Seni
Pertunjukan.
Seni,
dalam hal ini seni pertunjukan selama perjalanan sejarah memperlihatkan keragaman
fungsi yang disandangnya. Beragam fungsi ini oleh R.M. Soedarsono dikelompokkan
ke dalam tiga wilayah, yaitu 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan
pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Pemilahan ke dalam tiga wilayah ini
berdasarkan kepentingan pengamat atau penontonnya.[1] Ketiga
wilayah yang dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali
bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual
juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan
untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya
wujudnya.
Para
peneliti dan ahli menengarai bahwa fungsi seni pertunjukan setidak-tidaknya sudah
mulai dilekatkan di dalam keberadaannya pada waktu masyarakat mengenal
peradaban bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi berpindah-pindah
tempat untuk menemukan dan mengumpulkan makanan yang disediakan oleh alam.
Waktu luang di sela-sela dan di antara bercocok tanam merupakan saat yang tepat
untuk berkesenian. Di samping itu, kebutuhan dan harapan akan keselamatan serta
kesejahteraan di dalam kehidupan membutuhkan kehadiran seni pertunjukan sebagai
sarananya.
Simbol-simbol
mistis yang mewujud sebagai aspek-aspek seni pertunjukan ditampilkan untuk
memuliakan arwah leluhur dan kekuatan alam yang disakralkan. Mantera yang
diserukan, gerak yang ditarikan, pakaian dan rias yang dikenakan, perlengkapan
yang digunakan, tempat dan waktu penyelenggaraan, serta warna-warni sesaji yang
menyertai merupakan ungkapan kehendak komunitas yang melaksanakannya. Melodi yang
disuarakan sebagaimana juga gerak-gerak yang ditarikan dan aspek-aspek pendukung
bentuk yang disajikan bukan semata-mata ungkapan keindahan, tetapi lebih
ditegakkan sebagai pilarpilar
kesakralan ritual.
Penampilan
seni pertunjukan dalam kesempatan demikian menjadi sarana upacara atau dapat
juga merupakan upacara itu sendiri. Bentuk-bentuk kelanjutannya yang masih
dikenali sampai sekarang antara lain tari Hudoq yang menggunakan topeng di
Kalimantan, Dendang Saluang di Sumatera Barat, tari penyembuhan penyakit di
Riau, tari Rejang di Bali, dan tari Tayub serta Tiban di Jawa. Aspek-aspek yang
membentuknya memperlihatkan jalinan akar yang memanjang tidak terputus oleh
waktu. Dalam kategori sejarah[2]
kerajaan, seni pertunjukan tampil dengan fungsi yang tidak sepenuhnya berubah.
Ia tetap mengusung simbol-simbol mitis untuk kepentingan ritual tertentu.
Sejalan dengan itu, penyelenggaraannya juga untuk mengusung kepentingan
penguasanya dan kalangan tertentu. Pendapa atau bangsal istana dan rumah-rumah
para bangsawan merupakan “panggung pergelaran” yang diutamakan. Seni pertunjukan
dengan seniman pelakunya ditempatkan sebagai regalia atau benda-benda yang
turut melegitimasikan dan menguatkan kedudukan raja dan bangsawan. Audiensi
atau kunjungan raja ke wilayah tertentu selalu diiringkan oleh sekelompok
petugas kerajaan yang berkewajiban menyajikan seni pertunjukan.
Sebagai
regalia, seni pertunjukan berdampingan dengan benda-benda pusaka kerajaan,
seperti tombak, keris, pedang, payung kebesaran, dukun atau pawang, dan
orang-orang dengan ciri-ciri tertentu yang dipilih khusus untuk menopang
kepentingan tersebut. Pada masa ini seni pertunjukan dihadirkan sebagai sarana
ritual sekaligus juga merupakan presentasi estetis bagi kalangan atau komunitas
khusus. Pada masa kerajaan Majapahit disebutkan di dalam Babad Songennep bahwa
seni pertunjukan menjadi bagian ketika raja beraudiensi dengan para anggota
kerajaan. Pada waktu itu dipertontonkan Okol,[3] yaitu
sejenis tari semacam gulat yang dibawakan oleh dua orang laki-laki tanpa
menggunakan senjata. Okol kadang-kadang masih dijumpai di beberapa wilayah
Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan. Tari ini ditampilkan oleh masyarakat
sebagai sarana upacara meminta hujan apabila musim kemarau berlangsung lebih
panjang dari seharusnya.
Adapun
seni pertunjukan sebagai presentasi estetis yang dimaksudkan oleh Soedarsono
adalah jenis-jenis dan bentuk-bentuk yang dinikmati nilai keindahannya
semata-mata dengan mengabaikan kepentingan yang lain. Hal ini dapat dilakukan
ketika seseorang menyaksikan dan mendengarkan orkestra musik, menonton
pementasan tari-tari kreasi baru, atau pergelaran wayang kulit kemasan padat
maupun semalam suntuk yang tidak bersangkut paut dengan ritual dan tidak
bermuatan bermacam-macam pesan. Akan tetapi di sebalik fungsinya sebagai
presentasi estetis, seni pertunjukan sudah dikenal mampu menjadi wadah
bermacam-macam pesan.
Wayang
kulit digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah yang tidak mengusik
serta mengecilkan arti penting kehidupan religi masyarakat pada masanya.
Melalui wayang kulit pula pemerintah menginformasikan program-programnya, mulai
dari bebas buta huruf, keluarga berencana, pembangunan bangsa, dan
lain-lainnya. Suara dalang wayang kulit dan beberapa bentuk seni pertunjukan
yang lain, seperti tari, musik, dan drama juga digunakan sebagai media untuk
mengkampanyekan partai politik tertentu dalam beberapa kali periode pemilihan
umum yang pernah dialami. Seni pertunjukan dipandang sebagai media yang handal
untuk berbagai kepentingan, termasuk di dalamnya untuk kepentingan tersebut.
Uraian
pengantar di atas memperlihatkan betapa seni pertunjukan menghantarkan fungsi
yang dibutuhkan oleh masyarakat dari waktu ke waktu. Kebutuhan ini tidak hanya
bagi individu atau kelompok tertentu saja, tetapi juga mencakup masyarakat
secara luas.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pornografi (umum)
Undang-Undang
pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan
Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi disingkat RUU APP dan kemudian
menjadi rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk
undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya).
UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober
2008. Pornografi dalam rancangan pertama di definisikan sebagai “substansi dalam
media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi
seksual, kecabulan dan/atau erotika“, sementra pornoaksi adalah“ perbuatan
mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika di muka umum”. Pada draf
kedua, beberapa pasal yang kontoversi dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8
bab. di antara Pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan
antipornografi dan pornoaksi nasional.
Selain
itu rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi, karena
definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi
pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu pome (pelacur) dan graphos
(gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti “tulisan atau gambar tentang
pelacur”. Definisi pornoaksi pada draft ini adalah “upaya mengambil keuntungan,
baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. Dalam draf yang
dikirimkan oleh DPR kepada presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal
terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU
Pornografi, ketentuan mengenai porno aksi dihapuskan.
Pada
September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, menteri Komunikasi dan
Informasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Negara Pemberdayaan
perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR (PANSUS DPR RI)
dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 september
2008, RUU pornografi itu tinggal terdiri dari 8 bab dan pasal 44 pasal. 34 Pada
RUU Pornografi, definisi pornografi disebutkan dalam pasal 1: “Pornografi
adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun syair,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat“.
Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya
dengan memasukkan “gerak tubuh” ke dalam definisi pornografi.
Rancangan
terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari
berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papua),
LSM perempuan yang masih menolak RUU ini dan persepsi merekapun bermacam- macam.
Pro dan kontra pun semakin memanas khususnya di masyarakat mengenai isi dari
pasal pasal RUUAP menimbulkan kontroversi. Adapun kelompok yang mendukung
diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. Sedangkan kelompok
yang menentang berasal dari kelompok aktivis perempuan (feminism), seniman, artis,
budayawan, dan akademisi.
Apa
yang menjadi sorotan dalam materi rancangan undang-undang tersebut dari sisi
substansinya dianggap masih mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang
ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut.
Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan
yang menyerupai hubungan seksual, gerakan
menyerupai masturbasi, dan lain-lain. 35 Pihak yang
menolak mengatakan bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi berlebihan
atas seksualitas melalui majalah, film dan sebagainya, memang harus ditolak
dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan
pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak
manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU
porno ini, seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan
bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Bab
I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan
pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi
lain melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum yg dapat
membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam
masyarakat. Defisini ini menunjukkan longgarnya batasan ”materi seksualitas“
dan menganggap karya manusia seperti syair dan tarian (gerak tubuh) dimuka
umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkit hasrat seksual atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda disetiap
ruang, waktu, maupun latar belakang. Dapatlah disimpulkan bahwa beberapa hal yang
menjadi kontroversi dalam materi undang-undang tersbut adalah 36 penyeragaman
budaya, menyudutkan perempuan dalam bentuk totalitarianisme negara.
Selain
penjabaran yang di kemukana di atas tentang sebelum di bentuknya undang-undang
pornografi ada hal yang mencangkup belum adanya penjabaran tentang peraturan pelaksanaan
yang menindak lanjuti dari UU No. 44 Tahun 2008, untuk itu peranan pemerintah
sangat penting dan dibutuhkan. Pemerintah juga harus Proaktif dalam pembentukan
Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan kearifan lokal, karena mengingat
negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang terdapat banyak suku. Pemerintah
harus lebih ketat lagi dalam pengawasan kepada media elektronika sesuai dengan
makna dan tujuan dari pada dibentuknya UU NO 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Hal lain masih adanya persepsi yang beragam mengenai isi dari undang-undang
tersebut, ini perlu diperjelas penjabaran dan tafsirnya melalui peraturan-peraturan
perundangan lebih operasioanl dan teknis seperti: 1) persepsi adanya over lap
tentang UU No 44 tahun 2008 dengan KUHP
khususnya tentang batas usia dewasa; 2) Persepsi
masyarakat yang multi tafsir terhadap pengertian beberapa pasal, khususnya
pasal 4 UU No 44 tahun 2008.
B.
Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (khusus).
Sudut
pandang tentang undang-undang no. 44 Tahun 2008 yang mengatur tentang
pornografi dan pornoaksi, bahwa tingkat keresahan akan maraknya pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah
masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia dan
peraturan yang berkaitan dengan pornografi yang ada dianggap belum dapat
mengakomodasi secara kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat sehingga
dibutuhkan peraturan yang baru yang diharap mampu memberikan wadah dalam
perlindungan akan adanya pelanggaran pornografi maupun pornoaksi.
Namun
sejalan dengan berlakunya undang-undang no. 44 tahun 2008 dalam masyarakat
khusus para pelaku seni banyak menimbulkan sederetan permasalahan yang
berkaitan dengan tidak jelasnya defenisi dari pasal per-pasal yang berimbas
pada pelanggaran-pelanggaran yang belum tentu secara teoritis bersalah.
Sehingga dalam prakteknya setiap defenisi mengalami pembiasan yang cukup luas
dan kompleks. Sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, agama serta
suku, yang jelas secara otomatis memiliki sudut pandang yang berbeda-beda pula
dalam memahami aspek pornografi, sehingga pengeneralisasian aturan-aturan yang
mengatur tentang aspek-aspek pornografi di Indonesia akan menjadi sebuah
problematika yang begitu rumit. Pertimbangan sosial dan budaya menjadi sebuah
poin penting untuk menjalani undang-undang ini yang memang secara teori belum
cukup memadai. Adapun pasal yang menjelaskan aspek-aspek yang termasuk dalam
kategori pornografi dan pornoaksi terdapat pada BAB I pasal 1 dalam ketentuan
umum, yang berbunyi:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
2. Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel,
televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang
adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
4.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
C.
Seni Musik
Rekayasa
bunyi-bunyian yang melibatkan ekspresi serta mengandung nilai-nilai estetika
dan apresiasi dari manusia[4].
Defenisi musik diatas tersebut menjelaskan dimana sebuah musik dibentuk dari
proses aktifitas yang melibatkan emosi serta kebebasan dalam mengekspresikan
kreasi dengan kemampuan ide-ide kreatif yang berasal dari orang-orang kreatif
dan jenius serta memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah
fenomena kehidupan, sehingga dituangkan dalam sebuah komposisi bunyi-bunyian
yang keseluruhan secara tonalitas mampu memberi dampak emosi dan perilaku pada seseorang.
Musik
adalah sebuah elemen yang memiliki karakter penting dari segala sistem kimia,
genetika, dan bahasa manusia. Kompleksitas dari sebuah musik yang mampu
memberikan rangsangan terhadap perilaku manusia menunjukan bahwa musik mampu
merasuki setiap pikiran manusia tanpa ada batasan orang, baik itu penyaji
maupun penikmat musik. Berkaitan perilaku seseorang maka tidak akan pernah
lepas kaitanya dengan emosi. Emosi adalah salah satu aspek yang paling meresap
dalam eksistensi manusia, dalam arti yang berhubungan dengan setiap aspek
perilakunya-aksi, persepsi, memori, belajar, dan dalam membuat keputusan[5].
Secara
umum musik memiliki beberapa unsur-unsur didalamnya yaitu: 1) bunyi, sesuatu
yang kedengaran atau ditangkap oleh telinga, suara yang ditimbulkan oleh alat-alat
bicara (KBBI); 2) suara, bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia seperti pada
ketika bercakap-cakap, menyanyi dan tertawa (KBBI); 3) nada, tingkatan rendah
atau tinggi bunyi dalam musik (KBBI); 4) ritme adalah irama; 5) lirik, susunan
kata sebuah nyanyian: teks atau kata-kata lagu-bahasa (KBBI).
Berdasarkan
esensinya musik dinikmati dengan pendengaran seseorang yang selanjutnya
direspon dengan pikiran dan diproses di otak sehingga akan menghasilkan sebuah
perilaku. Perilaku musikal dari seseorang ditentukan dari pengalaman musikal
yang dialaminya, baik itu memainkan musik maupun pendengar musik pasif maupun
aktif. Menurut Sloboda, musik tidak berperan menghasilkan emosi namun lebih
menyediakan akses bagi seseorang untuk mengalami emosi yang sudah ter-agenda[6].
Namun
berdasarkan perkembangan pada kebutuhan musikal, untuk menikmati musik tidak
cukup saja mendengarkan suara yang dihasilkan namun kebutuhan tersebut sudah
berkembangan pada ekspresi pemain musik secara langsung atau musik dalam
konteks dipertunjukan. Secara psikologis musik memberi dampak pada tatanan
emosi dan prilaku seseorang, sehingga musik sering digunakan sebagai terapi
dalam bentuk apapun.
D. Pembahasan aspek
pornografi dalam seni musik.
Berdasarkan
pertanyaan sebelumnya yaitu, apakah secara fungsi, struktural dan kegunaannya
musik bisa dikaitkan dengan pornografi? Untuk membahas pertanyaan tersebut kita
harus berpijak dari tinjauan pornografi dan esensi dari musik. Apabila pada
pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa pornografi adalah sebuah perilaku atau
tindakan secara sengaja untuk menunjukan tindakan seksual yang bertujuan
menaikan birahi seksual maka apakah dengan musik dapat digunakan dalam aspek
pornografi? Tadi ditekankan bahwa pornografi adalah prilaku menunjukan tindakan
seksual secar eksplisit, berarti berkaitan dengan visual, sedangkan musik
esensinya adalah audio.
Musik
memang dikatakan bahwa mampu memberi pengaruh pada respon emosi dan sebuah
perilaku manusia. Namun secara teoritis, musik bisa digunakan hanya sebagai
media dalam pornografi namun musik tidak dapat berdiri sendiri. Saya akan
mengambil contoh, dimana ketika pada adegan film porno tersebut menggunakan
media sabun atau oil untuk melumasi seluruh tubuhnya supaya terlihat lebih
menarik dan memberi dorongan rangsangan birahi. Secara fungsi dan kegunaanya,
sabun atau oli itu mampu menambah dorongan rangsangan birahi. Apakah sabun atau
oil tersebut bisa di kategorikan dalam aspek-aspek pornografi? Tentu tidak,
sabun atau oil tersebut hanya media dalam menstimulus psikologi orang yang
melihatnya saja. Begitu juga dengan musik, apabila musik digunakan dalam media
pornografi, musik tidak bisa dikatakan memiliki aspek-aspek pornografi, musik
hanya sebuah media yang sifatnya menstimulus. Namun bagaimana dengan musik yang
digunakan pada terapi seks seperti pada musik kamasutra? Pada kasus ini, musik
tetap sebagai media saja, dalam musik terapi seks, sekali lagi musik tidak
dapat berdiri sendiri, terapi musik seks hanya berlaku pada situasi dan kondisi
yang tertentu saja. Musik digunakan sebagai stimulus ketika seseorang sedang
melakukan “hubungan”. Berdasarkan penelitian seseorang yang sedang “berhubung”
memiliki frekuensi gelombang otak sebesar 20hz-40hz, sehingga untuk
meningkatkan gelombang otak pada tingkat yang diingini, digunakan frekuensi
berbasis gamma sebesar 20hz-40hz sebagai menstimulus gelombang otak tersebut[7].
Pada
kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, banyak lagu-lagu yang dicekal
berdasarkan lirik lagu yang dianggap berbau cabul atau porno. Kita akan mencoba
membahas kasus ini secara mendasar. Saya akan menunjukan salah satu lirik lagu
yang di cekal oleh KPI, yaitu lagu yang dinyanyikan Jupe yang berjudul Jupe
senang 69.
“Kau elus-elus tubuhku Kau
belai-belai rambutku Terpejam-pejam mataku Aduh aduh aduh nikmatnya Duh aduh
aduh asiknya Desah indahmu menusuk kalbu
Kau elus-elus tubuhku Kau
belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatnya Oh yes sungguh bahagia
Suka suka jupe paling suka Kasih
sayangmu luar biasa Gairah cinta 69
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara
Halus halus halusnya selembut sutra
Irama gaya kamasutra ala india
Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatnya Oh yes sungguh bahagia
Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatnya Oh yes sungguh bahagia
Suka suka jupe paling suka Kasih sayangmu
luar biasa Gairah cinta 69
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara, Halus halus halusnya selembut sutra Irama gaya kamasutra ala india”
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara, Halus halus halusnya selembut sutra Irama gaya kamasutra ala india”
Sekarang saya akan mendeskripsikan tentang
aspek-aspek pornografi. Pornografi merupakan bentuk visual yang secara
eksplisit menunjukan sifat cabul, dalam KBBI cabul adalah tidak senonoh;
melanggar peraturan kesusilaan. Apabila kita memperhatikan lirik lagu diatas,
saya sepaham bahwa lirik lagu tersebut termasuk mengandung unsur-unsur porno,
karena didalamnya mengandung unsur-unsur persetubuhan walaupun secara halus. Namun
berkaitan dengan undang-undang no 44. Tahun 2008 tentang pornografi pada bab I
pasal 1, yang menyebutkan salah satu diantara poin yang disebutkan,di tuliskan
bahwa tulisan termasuk pornografi. Apabila dikaitkan pada unsur-unsur musik,
harus dipertegaskan bahwa lirik sangat berbeda dengan tulisan, jadi apabila ada
yang mengaitkan lirik dengan tulisan adalah salah besar. Tulisan adalah membuat
huruf dengan alat bantu tulis (KBBI), sedangkan lirik adalah sebuah susunan
kata sebuah nyanyian: teks atau kata-kata lagu-Bahasa (KBBI, jadi lirik
bukanlah sekedar tulisan namun sebuah lafalan yang dinyanyikan; komunikasi
musikal, dan belum bisa dikatakan lirik apabila tulisan itu bukan untuk
dinyanyikan.
Berbeda
dengan musik untuk dipertunjukan, kaitannya pada poin ini bukan saja terletak
pada audionya saja, namun sudah pada bentuk visual dari orang yang
memainkannya. Sebagai studi kasusnya adalah, pencekalan penyanyi Inul Daratista untuk tampil di depan
publik, karena goyangannya dianggap berbau pornoaksi, kemudian pembatalan konser Lady Gaga di Indonesia karena, penyanyi ini juga dianggap penyanyi
yang selalu berpakaian seksi sehingga dianggap mempertontonkan unsur-unsur
pornoaksi. Pada kasus ini pusat fokusnya bukan pada lagu atau musiknya lagi
tetapi pada figur penyanyinya, jadi dalam aspek musik (audio) tidak bisa
dikatakan pornografi.
Untuk
lebih mendalam akan pemahaman aspek-aspek pornografi pada seni musik, kita
seharusnya lebih teliti memahami setiap defenisi yang ada. Saya akan mencoba
memaparkan berdasarkan teori yang ada. Bentuk-bentuk produk porno secara garis
besar dapat dibagi 5 bagian yaitu, 1) pornografi, 2) pornoaksi, 3) pornosuara,
4) pornoteks, 5) dan pornomedia (Burhan: 2003). Jadi apabila dikaitkan dengan
peraturan undang-undang no 44. Tahun 2008 tentang pornografi dan pornoaksi,
seharusnya pemerintah lebih paham lagi menuliskan setiap defenisi sesuai dengan
posisinya, suara atau bunyi tidak dapat dikategorikan dengan pornografi namun
pada pornosuara.
Salah
satu aspek-aspek porno pada musik (audio) terletak ketika seseorang dengan
sengaja mensuarakan desahan-desahan persetubuhan dengan tujuan utama menaikan
nafsu birahi, namun berbeda apabila desahan-desan tersebut digunakan pada
sebuah karya seni, karena tujuannya bukan untuk mendapatkan respon atau
dorongan nafsu birahi, namun secara kontekstual untuk mengkomunikasikan
perilaku manusia dengan komposisi yang mengandung nilai-nilai estetika.
Jadi
aspek-aspek pornografi pada musik terdapat pada liriknya namun untuk bunyi
maupun suara tidak dapat dkategorikan dengan aspek-aspek pornografi karena
bedasarkan terminologinya, bunyi dan suara merupakan kategori pornosuara.
Ketika untuk memahami pornografi atau bukan harus pula memperhatikan hubungan
antara teks dengan konteksnya yang terbatas pada ruang dan waktu. Sehingga
sudut pandangan yang digunakan mampu memposisikan objek yang dinilai sesuai
dengan konteksnya atau bukan.
BAB IV
KESIMPULAN
Suatu
bagian tulisan dari pakar hukum mengenai pornografi mengemukakan bahwa masalah
pornografi dan pornoaksi di Indnesia telah melampaui ambang toleransi dan
merusak akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap pornografi belum sesuai
dengan yang diharapkan. Menurutnya kesulitan dalam mengatasi tindak pidana
pornografi (pornoaksi) antara lain disebabkan oleh adanya pengertian dan
penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah
porngrafi, dan dahulu masyarakat lemah dalam merespos pornografi dan pornoaksi.
Faktor penyebabnya adalah faktor politik di bidang keagamaan yang nampak dalam
politik pendidikan agama di sekolah-sekolah dasar sampai dengan Sekolah Menengah
Umum (SMU) dan Perguruan Tinggi. Selain itu faktor budaya, dalam hal ini budaya
asing yang masuk ke Indonesia melalui jaringan komunikasi, baik cetak maupun
elektronik telah mengikis iman bangsa Indonesia. Hal lain KUHP sendiri tidak
merumuskan soal pengertian pornografi. Sejak diundangkan pada 30 Oktober 2008
hingga saat ini, UU Pornografi memang belum sepenuhnya dapat dikategorikan
telah berhasil diimplementasikan. Indikasinya dapat dilihat dari masih maraknya
praktek asusila yang dapat dilihat melalui pemberitaan media massa, baik cetak
maupun elektronik. Oleh karena itu Tim perumus dapat menyimpulkan analisis dan
evaluasi sebagai berikut:
1.
Terlepas dari berbagai pro-kontra, secara yuridis formal maupun politik kenegaraan,
bagian besar rakyat Indonesia mendukung adanya undang-undang yang mengatur
mengenai pornografi, tidak lain merupakan langkah hukum dan politik untuk
terjaminnya pengamalan nilai-nilai kehidupan bermoral beragama serta
nilai-nilai budaya luhur bangsa.
2.
Undang-Undang Pornografi memang sangat diperlukan guna terwujudnya pembangunan
karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanahkan konstitusi. Oleh karena
itu Undang-Undang Pornografi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) pada hari Kamis 30 Oktober 2008 merupakan keberhasilan
bangsa dan negara Republik Indonesia dalam mengawali upaya menyelamatkan bangsa
dan negara terutama generasi muda, anak-anak dan perempuan.
3.
Undang-Undang Pornografi ditetapkan merupakan hasil kompromi-kompromi yang
terjadi melalui pembahasan di lembaga legislatip DPRI RI.
4.
Undang-undang ini disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008,
karena itu keberadaan undang-undang tersebut telah sah dan memiliki legitimasi
yang kuat.
5.
Adanya undang-undang lain yang juga mengatur persoalan menyangkut kesusilaan,
sesungguhnya keberadaan undang-undang tentang pornografi telah mempertegas dan
melengkapi berbagai undang-undang yang telah ada, bukan saling tumpang tindih (overlapping)
sebagaimana anggapan yang muncul dari sebagian kelompok.
6.
Adanya hasil keputusam yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan
pengujian undang-undang dalam Amar Putusan menyatakan menolak permohonan para
pemohon untuk seluruhnya. Dengan itu, semakin teruji keberadaan Undang-Undang
No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi semakin kuat legitimasinya.
7.
Undang-Undang Pornografi belum tersosialisasikan dengan baik dan secara menyeluruh.
Terbukti pelaku pornografi bukannya insyaf, malah seringkali tindakan-tindakan
pornografinya ditransfer ke orang lain. Hal demikian terjadi karena pelaku
sebenarnya belum memahami UU Pornografi ini secara paripurna.
8.
Perlunya segera pemerintah mengeluarkan perangkat peraturan lainnya yang dapat mengoptimalkan
implementasi perundangan tersebut dalam kehidupan masyarkat.
B. Rekomendasi
1.
Untuk penegakkan hukum; Perlu adanya peran aktif pemerintah, penegak hukum dan
masyarakat sesuai dengan fungsi dan tugasnya secara proposional. Penegakan
hukum untuk tindak pidana pornografi tidak tebang pilih dan perlu perlakuan
yang sama dan diperlukan goodwill dari pemerintah khususnya para penegak
hukum.
2.
Subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana adalah individu dan korporasi (corporate);
penjatuhan pidana terhadap korporasi selama ini dalam praktek belum satupun ada
dan lebih pada penjatuhan pidana secara individu. Hal ini disebabkan karena
bekerjanya sistem peradilan pidana, yang dimulai dari peran sentral penyidik
sebagai gate-keeper dari sistem peradilan pidana, menunjukkan kebijakan
yang tercermin dalam dokumen penyidikan lebih berorientasi menempatkan individu
sebagai tersangka, meski tindak pidana yang didakwakan kepada tersangka
dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pengurus badan hukum (korporasi). Diperlukan
keberanian dari para penegak hukum untuk konsisten terhadap aturan yang telah
ditetapkan dalam UU mengenai adanya tanggung jawab korporasi.
3.
Perlu segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunannya yang dapat
memberikan penjabaran aturan lebih rinci bagi penerapan Undang-Undang Pornografi
baik dari segi materi, teknis serta kemungkinan pengecualian yang dibenarkan
atas pertimbangan kearifan lokal.
4.
Perlu dibentuk Badan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Tindak Pidana pornografi
dan/atau Tindak Pidana Pornoaksi, yang pembentukannya pada tingkat Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai ke desa/kelurahan.
5.
Undang-Undang Pornografi tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus seiring dengan
adanya penguatan pendidikan pada tingkat pranata terkecil, seperti penyadaran
terhadap individu dan keluarga. Karena itu diperlukan sebuah langkah di tingkat
pranata keluarga dan pranata pendidikan formal tentang pentingnya memahami
bahaya pornografi.
6.
Diperlukan niat baik dari seluruh stakeholders serta tindakan nyata terkait
dengan upaya perang terhadap pornografi dengan segera menerbitkan undangundang yang
mendukung pelaksanaan UU Pornografi seperti; Undang-Undang IT atau
Undang-Undang Pembatasan Peredaran Pornografi di tengah-tengah masyarakat serta
Gerakan Nasional mensosialisasikan bahaya pornografi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Data Tercetak
Djohan. Psikologi
Musik. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Buku Baik, 2005.
Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Marhijanto, Bambang. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur, 1995.
Retnoningsih,
Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2012.
Sloboda. Jhon. Music and the Mind: Essays in Honour of
John Sloboda . New York: Oxford University Press 2011.
Soedarsono,
R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002.
Soebajia,
Azimah. Pornografi dilarang Tapi di Cari.
Jakarta: Gema Insani, 2007.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Pasaribu, Ben M. Pluralitas
Musik Etnik: Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo,
Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian
Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, 2004.
Werdisastro,
R., Babad Songennep, Djember: 1914, transliterasi 1971.
Hamzah,
Andi., KUHP Dan KUHAP, Edisi Digabungkan Dalam Satu Buku, Cet. 2,
Jakarta: Roneka Cipta, 1992.
B.
Data Internet.
http://artikel-media.blogspot.com/2009/12/waspadai-juga-pornografi-di-media142,
di akses tanggal 3 April 2014.
http://dialektikahukum.blogspot.com/2009/05/panorama-dialektik-uu-pornografi,
di akses tanggal 11 April 2014.
http://www.dialektikahukum.blogspot.com/2009/05/panorama-dialektik-uupornografi.
Html, di akses tanggal 11 April 2014.
http://www.nasional.kompas.com/read/2010/06/23/14532638/Masyarakat.Indonesia.Gemar.S
itusPorno, di akses tanggal 9 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar