Penulis: Raden Aditya Saputra Nugraha
Ansambel Talo Balak yang berada di Kampung Kota Alam
(Foto:
Erizal Barnawi, 15 Maret 2013).
I. Pendahuluan.
Lampung merupakan salah satu provinsi di wilayah Sumatera
bagian selatan yang kaya dalam kultur kesenian musik tradisinya. Masyarakat
adat Lampung memiliki falsafah hidup yang masih mereka junjung tinggi dalam
keseharian dan menjadi ciri khas bagi masyarakat adat tersebut. Misthohizzaman
menyebutkan lima urutan dari falsafah yang dapat mempersatukan perbedaan antara
masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin.[1] Kelima falsafah tersebut antara lain: pi’il pasenggiri (rasa harga diri), bejuluk beadek (memiliki julukan dan
gelar adat), nemui nyimah (terbuka
tangan/suka memaafkan), nengah nyappur
(hidup bermasyarakat, dan menghormati tamu), dan sakai sambayan (tolong menolong).
Selain dari pada itu, Lampung merupakan gerbang masuknya
suatu budaya aktif di masa saat ini. Akulturasi antara budaya asing dan budaya
lokal berbaur dengan asrinya masyarakat setempat. Disinilah, titik dimana
lintas budaya Hindu dan Islam berkembang cukup pesat. Sehingga menjadikan
karakteristik musik daerah Lampung menjadi kaya. Dalam hal ini musik daerah Lampung
terdefinisi dalam musik dengan tabuhan yang dinamis. Di daerah Lampung pun
terdapat unsur musik yang bernuansa Islam yang ditandai dengan adanya permainan
seperti Rebana, Gambus, dan Akordion. Namun tetap harmoni dengan serat tabuh
Talo Balak yang kemudian melahirkan corak asli musik daerah Lampung. Talo Balak
adalah seperangkat alat musik tradisional daerah Lampung yang sudah dikenal
oleh masyarakat Lampung pada umumnya, sebab secara adat alat musik ini memegang
peranan sangat penting terutama dalam acara adat. Beberapa sumber dari tokoh
adat dan masyarakat Lampung menganggap dengan tanpa kehadiran ansambel Talo
Balak ini maka upacara atau acara adat dianggap kurang atau tidak sempurna.[2]
Adapun instrumen yang mendukung corak musik daerah Lampung
yang bernuansa Hindu adalah: Gong, Kulintang, Cetik, Canang, Gujih, Tawa-tawa,
dan Kendhang dok-dok. Pada tiap-tiap instrumen di Lampung dasarnya selalu di
gunakan untuk hiburan dan ritual. Seperti instrumen canang digunakan sebagai
tanda-tanda pengumuman bahwa di dalam kampung (tiyuh) terdapat seseorang petinggi di dalam adat telah meninggal
dunia. Atau pun instrumen gujih, dipercayai sebagaian masyarakat Lampung dalam
melakukan ritual upacara adat pengambilan gelar adat atau pun julukan selalu mengundang roh nenek
moyang (apew tuyuk) untuk ikut dalam
melakukan legitimasi penyimbang adat.
Keadaan sosial masyarakat Lampung yang sangat terbuka
terhadap hal-hal baru, baik berupa kebudayaan maupun produk kesenian luar,
ternyata sangat mempengaruhi kemurnian atau keaslian teknik permainan musik
daerah Lampung itu sendiri. Dalam hal ini,
masuknya kebudayaan dari daerah Bali yang dibawa oleh para pendatang (tranmigrasi)
dari daerah tersebut ternyata mempunyai andil besar dalam kemajuan musik
tradisi daerah Lampung. Sebagai contoh: teknik permainan rebana di Lampung
sebenarnya tidak terlalu didominasi pola atau motif pukulan yang terlalu rapat,
seperti yang dimainkan dalam permainan kendhang, Lanang dan Wadon di daerah
Bali. disebabkan oleh campur tangan para pendatang dari Bali yang terlampau
besar sampai menciptakan laras nada pada cetik yang sebelumnya, belum ada di
daerah Lampung. Akhirnya ada.
Kekhawatiran yang ditimbulkan adalah adanya ketidak-murnian
permainan musik daerah Lampung yang dibawa sampai masa kekinian. Pada sebagian
masyarakat asli Lampung, mengatakan bahwa musik asli daerah Lampung tidak mempunyai
pola permainan yang terlalu rapat, banyak motif dan dinamis. Namun
ketidakberdayaan untuk mengubah pola yang telah melekat, mengakar pada musik
tradisi Lampung sejak lama akhirnya menjadikan mereka hanya sebatas pengkritik
seni semata.
II. Pembahasan
Kedatangan masyarakat Bali contohnya salah satu seniman Lampung
yang berasal dari bali adalah wayan woko biasa panggilan akrabnya,
dia salah satu orang Bali yang berperan penting dalam kesenian tradisi Lampung
khususnya cetik alat musik yang berbahan dasar bambu ini dia orang yang
mematenkan atau menemukan lasar pada cetik tersebut dan kemudian melakukan
seminar keberbagai kota dan pulau didaerah Indonesia tentunya dengan dana
sendiri om Wayan Woko biasanya dia dipanggil. Beliau merupakan salah satu pegawai
di Dinas Pariwisata Provinsi Lampung. selain dari pada itu, ini lah satunya
yang memudahkan beliau untuk ambil besar dalam penetrasi budaya terhadap
kebudayaan Lampung sebenarnya dalam batas kewajaran. Namun, karena masyarakat
Bali terkenal giat dalam menggali potensi kesenian musik Lampung dari pada
masyarakat Lampung itu sendiri, akhirnya secara tidak langsung musik asli daerah
Lampung mengalami change of culture in music secara besar-besaran.
Sebagai
suatu penggalian terhadap kesenian Lampung analisis menurut saya meliputi
pengaruh positif dan pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh adanya akulturasi
dari pola permaian musik Bali ke pola permianan musik Lampung. adapun pengaruhnya sebagai berikut :
1) Pengaruh positif.
Pengaruh positif di sini yaitu suatu kemajuan terhadap
perubahan dalam hal pola permainan, tema lagu, dan kembang (grinik) dalam setiap pelaku seni.
Sebagai contohnya: motif permainan musik di daerah Lampung menjadi semakin kaya,
dengan kata lain, terdapat suatu imbal-imbalan di dalam pola permainan rebana,
dan terdapat permainan dinamika serta permainan yang interaktif terhadap
penonton atau audiens yang menghari dalam suatu pertunjukan kesenian di
Lampung.
Pengaruh
positif lain di dalam perkembangan musik tradisional khas Lampung yaitu kesenian
musiknya di daerah Lampung menjadi lebih hidup. Artinya, musik lampung yang
berawal dari ritual menjadi hiburan. Seperti, musik-musik pengiring upacara
adat yang sangat monoton di kombinasikan dengan permainan yang kreatif akhirnya
menjadi meriah, megah, dan mempesona. Pada sebagian masyarakat Lampung menjadi
lebih bergairah dalam memainkan musik tradisional, karena telah adanya pengaruh
permainan yang sangat mendukung untuk tiap-tiap pemain musik tradisi menjadi
lebih tinggi penjiwaannya dalam bermusik (soul).
2) Pengaruh negatif.
Pengaruh
negatif dalam hal ini, bukan sebagai perusak atau hal-hal yang jelek. Akan
tetapi sebagai suatu istilah saja. Sebagai contoh negatif perubahan musik
tradisi di Lampung yang beralkuturasi yakni; keaslian motif permainan dalam
bermusik di daerah Lampung menjadi berkurang, artinya permainan musik yang
selalu berkembang merubah gaya permainan di tiap-tiap pemain musiknya. Selain
dari pada itu, para pemain musik selalu ini berkontemporer yang akhirnya menyebabkan
akan melupakan motif-motif Lampung, yang walaupun masih tetap memegang idom
ciri khas Lampung tersebut.
Contoh lain
dari sisi negatif akulturasi musik Lampung dengan Bali yaitu; menjadikan
masyarakat Lampung sendiri kurang peka terhadap jati diri kesenian musik
Lampung. Maksudnya disini, masyarakat yang dulu disajikan permainan musik khas
tradisi Lampung sekarang menjadi lebih tidak peka terhadap musik yang
berkembang di Lampung pada saat ini. Serta dampak lainnya menjadikan masyarakat
Bali sebagai tokoh yang memajukan musik tradisi
Lampung. Padahal mereka bukan memajukan tapi ikut turut andil dalam
mengembangkan.
III. Penutup
a. Kesimpulan :
Sebagai Masyarakat asli Lampung dalam kasus ini sangat
merenggut kekhawatiran saya sebagai seorang pemerhati seni. Sesuatu yang telah
tumbuh, berakar sejak lama dan tumbuh berkembang di daerah Lampung tidak akan
bisa dirubah dalam kurun waktu yang relatif singkat. Oleh sebab itu, tentulah
penting bagi kita selaku generasi seniman mendatang untuk memacu semangat masyarakat
pribumi asli Lampung untuk melesetarikan kebudayaannya sendiri tanpa campur
tangan masyarakat lain. Dalam hal ini bukan sebuah pelarangan terhadap
penetrasi kebudayaan baru yang masuk, namun akan lebih harmoni bila masyarakat
aslinya sendiri yang mengembangkan keseniannya dengan mampu menyalakan
filternya terhadap elemen kebudayaan-kebudayaan baru.
b. Rekomendasi/Saran:
Beberapa
hal yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya melestarikan kesenian Lampung
dalam hal ini adalah musik tradisional yaitu sebagai berikut: 1) Membuat
dokumentasi audio visual dan tertulis secara terperinci dan menyebarkan
hasilnya ke lembaga-lembaga pendidikan, kesenian dan kebudayaan, adat, masyarakat,
dan instansi pemerintah; 2) Memasukkan sebagai mata pelajaran muatan lokal atau
ekstra kurikuler di semua tingkat pendidikan; 3) Mengadakan lomba-lomba untuk
merangsang kreativitas; 4) lebih mengaktifkan lembaga-lembaga kesenian, adat
dan kebudayaan; 5) meningkatkan penghargaan finansial kepada para seniman
penggiatnya; 6) mengadakan pertunjukan secara berkala; dan 7) mengadakan
pelatihan rutin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar