Selasa, 29 April 2014

Simbol Dan Makna Kadipaten Pakualaman

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Kadipaten Pakualaman berlokasi di Jl. Sultan Agung, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55122 kurang lebih 2 kilometer ke arah timur dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Secara simbolis Kadipaten Pakualaman jelas sebagai kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja dalam hal ini Adipati. Sedangkan memaknai Kadipaten Pakualaman sebagai sebuah sistem patrilineal atau patrilineal descent yang menghitung kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luas batas itu. Kekuasaan terpenuh dan kendali kemajuan suatu kerajaan di tangan Adipati Pakulaman yang sampai saat ini Paku Alam yang ke IX memimpin Kadipaten Pakualaman.
            Apabila para pengunjung mendatangi komplek Kadipaten Pakulaman yang pertama kali pasti yang di jumpai bentuk fisik suatu bangunan keraton yang berbasis kerjaan kejawen. Kadipaten Pakualaman terlihat megah dan mewah karena kerjaan ini di pakai sebagai rumah tinggal sekaligus suatu istana kerajaan dalam menjalankan suatu pemerintahan keraton.
            Dari keterangan di atas, penulis akan menguraikan bagaimana konsep kekuasaan Jawa yang terdapat makna mendalam baik tersirat maupun tersurat bahwa suatu kerajaan mutlak dan absolut kekuasaan penuh ditangan raja. Karena dalam falsafah Jawa memiliki konsep keagungbinataraan.
            Masyarakat moderen mengenal konsep atau sistem politik demokrasi. (Alfin:1986) Inti dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari keterangan singakt inilah tertangkap bahwa subjek demokrasi adalah rakyat, yang menentukan arah dan tujuan suatu negara. Mereka juga memilih siapa yang diserah tugaskan untuk mengantarkan mereka mencapai tujuannya. Karna jumlah rakyat begitu besar, maka mereka membentuk perwakilan lewat pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia.
            Agar pemerintahan yang dibentuk sungguh-sungguh menyelenggarakan kepentingan mereka, maka demokrasi menuntut adanya keterbukaan terhadap kontrol sosial. Berbagai sarana demokrasi dapat menjadi alat bagi berlangsungnya kontrol sosial itu, seperti DPR, Parpol, Ormas, Pers. Kadang-kadang warga negara menyampaikan kontrol sosial juga dengan mengirimkan surat kepada aparat atau pejabat yang bersangkutan, misalnya ditujukan kepada pemerintahan RI yang membuka Kotak Pos 5000 di Jakarta. Untuk dapat menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak, pemerintah membagi wilayah Indonesia dalam sekian banyak propinsi, kabupaten, kotamadia, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Untuk menjaga keamanan dan pertahanan pemerintah mempunyai tentara dan polisi. Semua itu merupakan aparat birokrasi.
            Bagaimana halnya dengan kerajaan Jawa, khususnya Mataram? Mataram sebagai kerajaan Jawa mempunyai konsep atau sistem politik juga. Sebagai salah satu sistem atau konsep kekuasaan Jawa, mempopulerkan konsep atau doktrin Keagungbinataraan (G. Moedjanto: 1990). Apa inti dari konsep Keaggungbinatraan? Intinya adalah pengakuan bahwa kekuasaan raja itu “agung binathara, bahu dhedha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta” (besar laksana kekuasaan dewa, pemerintahan hukum dan pengusaan adil terhadap sesama).
            Jadi menurut konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal juga sebagai tugas raja: “njaga tata tentreming praja” (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara).
            Dengan demikian konsep kekuasaan Jawa menentukan bahwa kekuasaan yang absolut itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat yang diperintah oleh raja. Sebaliknya, supaya raja dapat melaksanakan tugasnya, rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Dengan demikian antara raja dan rakyat berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring kawulo-gusti (bertemunya rakyat dengan raja).
            Doktrin keagungbinataraan mengajarkan bahwa raja harus selalu membangun kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang tertinggi dan paling kuasa. Secara singkat kekuasaan raja besar menurut konsep kekuasaan Jawa ditandai oleh, (G. Moedjanto: 1985):
1)      Wilayah kerajaan yang sangat luas;
2)      Kerajaan taklukan dan berbagai barang persebahan yang disampaikan oleh raja taklukan.
3)      Kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggrakan pada hari-hari tertentu;
4)      Kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka dan perlengkapan yang tampak dalam upacara;
5)      Besarnya tentara dengan segala jenis dan perlengkapannya;
6)      Kekeyaan yang dimiliki oleh raja, gelar-gelar yang disandang dan kemasyhurannya;
7)      Seluruh kekuasaan menjadi satu di tangannya, tanpa ada yang menandingi.
            Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta.
            Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggeris pimpinan Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, putra Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran Notokusumo berjasa kepada Inggeris, karena ia berusaha melunakkan hati Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudaranya seayah.
            Pendirian Pakualaman sebenarnya merupakan situasi disintegrasi[1] lebih lanjut bagi kerajaan Mataram. Dalam tahun 1755 lewat penjanjian Gianti, Mataram telah terbagi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lebih disintegratif lagi karena wilayah kedua kerajaan itu terpancar secara tidak beraturan. Ada wilayah Surakarta yang terletak di Timur Yogyakarta, ada wilayah Yogyakarta yang terletak di Barat Surakarta. Dengan demikian sulitlah bagi kedua kerajaan membangun kekuatan yang utuh.
            Eksistensi sebuah kerajaan terlihat secara kasat mata dari keraton yang dimilikinya. Benteng kokoh sekeliling istana menyekat dan membedakan mana area bangsawan dan mana area rakyat biasa. Biasanya, arsitektur dan kemegahan bangunannya menunjukkan keangkeran dan keangkuhan feodalistis sang raja dan kerabatnya.
            Menurut pak Rimawan Istana Pakualaman pernah mengalami kerusakan hebat yang terjadi pada saat gempa bumi dahsyat di Jogjakarta pada tahun 1864. Yang secara simbolis juga, pasti ada yang berubah baik dari segi arsitektur maupun dari bangunannya. Meskipun demikian, Kadipaten Pakualaman tetaplah sebuah keraton yang megah di mata rakyatnya. Bangunan Kadipaten Pakualaman menempati areal seluas 5.4238 hayang meliputi bangunan pokok, tambahan di belakang, samping, kestalan, halaman depan dan alun-alun.
            Menurut I Wayan Senen, mengatakan dengan makna dan simbol bisa dikaitkan dengan tujuh unsur suatu kebudayaan yang disimpulkan Koentjaraninggrat sebagai cultur universals, yang nantinya akan mencari makna dan simbol apa saja yang terdapat di Kadipaten Puakualaman. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut meliputi:
1)  Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transportasi, dsb).
2)   Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dsb).
3)      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan, dsb).
4)      Bahasa (lisan maupun tertulis).
5)      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dsb).
6)      Sistem pengetahuan.
7)      Religi. 

B. Rumusan 
         Dari permasalahan di atas, terdapat pertanyaan apa saja yang menyimbolkan dan memaknai Kadipaten Pakualaman, seperti yang disimpulkan Koentjaraningrat cultural universals. Akan tetapi, menurut R. Linton (Koentjaraninggrat, 1974:82) cultural universals dapat dipecah lagi dalam unsur-unsur yang lebih kecil seperti cultural activities atau aktivitet-aktivitet kebudayaan.
            Demikian misalnya dapat disebut sebagai contoh dalam rangka universal mata pencaharian hidup, ada aktivitet-aktivitet kebudayaan seperti: perburuan, pertanian, berladang, pertanian menetap, perternakan, perdagangan dan lain sebagainya. Dalam rangka universal kesenian, ada aktivite-aktivitet seperti: seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama, seni sastra, dan lain sebagainya. Selain itu, universal bangunan yang di dalamnya terdapat arsitektur yang menyimbolkan makna.

C. Tujuan Penelitian
1.      Mencari apa saja yang telah disimbolkan dan dimaknai di Kadipaten Pakualaman.
2.      Untuk mengetahui simbol dan makna Kadipaten Pakualaman dalam bidang  bangunan-bangunan fisik yang ada di Kadipaten Pakualaman.
3.      Untuk mengenalkan kepublik atau masyarakat bahwa kerajaan di Jogja bukan hanya keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi Kadipaten Pakualaman juga ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Batasan Penulisan
            Batasan penulisan merujuk pada apa yang dilihat pertama kali oleh peneliti di Kadipaten Pakualaman baik dari bentuk fisik bangunan maupun lambang dan simbol-simbolnya yang pasti memiliki makna yang tersirat dan tersurat. Dalam pembahasan makna dan simbol Kadipaten Pakulaman penulis menggunakan metode deskriptif, studi literatur, dan analitik observation. Penulis menjelaskan makna dan simbol di Kadipaten Pakualaman lebih terpusat pada bangunan fisik atau visual (arsitektur).

E. Pengumpulan Data
            Pendekatan-pendekatan dalam mendapatkan suatu informasi dilakukan peneliti dengan cara wawancara. Wawancara merupakan teknik untuk mengumpulkan data secara interaktif (tanya jawab). Wawancara berguna untuk mengumpulkan data dengan cara menanyakan langsung kepada nara sumber atau dengan orang yang mengetahui permasalahan. Metode ini bertujuan untuk memperoleh data yang lebih valid dengan cara berinteraksi langsung dengan nara sumber yang berhubungan langsung dengan objek penelitian maupun dalam hal-hal lain yang masih berkaitan dengan objeknya, sehingga dapat membantu penulisan agar dapat memperoleh keterangan yang akurat dan lebih objektif. Wawancara tersebut dilakukan kepada beberapa abdi dalem, dan pengurus harian Kadipaten Pakualaman.
            Observasi merupakan pengamatan dan mencatat data secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan objek penelitian. Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data yang menuntut peran aktif peneliti pada setiap peristiwa dan kegiatan yang berhubungan dengan objek penelitian yang dialami masyarakat pendukungnya dengan tujuan agar memahami aspek-aspek yang melingkupinya.  Mengingat minimnya waktu yang tersedia, dalam penelitian ini sebelumnya telah dilakukan observasi yaitu berupa pengamatan langsung di lapangan guna memperoleh data-data yang diperlukan untuk mempersingkat waktu yang ada. Observasi langsung salah satunya ke perpustakaan yang terdapat di Kadipaten Pakualaman, serta perpustakaan daerah Kota Jogja.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Simbol dan makna.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011:306) makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.   
            Ilmu semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Selain dari pada itu, budaya dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu (code), untuk menghasilkan makna.
            Sedangkan simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya ”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.
Simbol dari 9 agama di dunia: Kristen, Yahudi, Hindu, Islam, dll.
            Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara. Lambang bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang dapat berupa warna atau pola. Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu.
            Makna yang terkesan dan terpancar dari Kadipaten Pakualaman adalah: sederhana, terbuka, dan modern. Atap gaya kampung srotong pada pintu masuk menunjukkan kesederhanaan. Simbol-simbol yang dipakai menunjukkan bahwa kehidupan istana itu sarat dengan makna. Arsitektur modern yang diterapkan tanpa menghilangkan kesan tradisional menunjukkan sifat keterbukaan suatu kerajaan.
            Kadipaten Pakualaman posisi bangunannya mengahap ke arah selatan. Menurut Mas Bekel Wirotomo (abdi dalam PA) bangunan Kadipaten Pakualaman pada dasarnya letaknya di utara Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak baik apabila bangunan Kadipaten Pakualaman menghadap sama seperti keraton Jogja hadapnya ke utara karena dalam bahasa Jawa Ngungkuri (membelakangi) tidak baik dan untuk saling menghargai. Selain dari pada itu, posisinya Kadipaten Pakualaman yang menghadap ke selatan melambangkan penghormatan terhadap keraton Yogyakarta. Saat ini, istana yang didirikan pada awal abad ke-19 ini menjadi kediaman Sri Paduka Paku Alam IX, wakil Gubernur Daerah Istimewa  Yogyakarta (DIY), yang merupakan dwi tunggal Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

a. Lambang Kadipaten Pakualaman

Gambar 1. Lambang (Poho) Kadipaten Pakualaman.
 (Foto: Arsip Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).
            Lambang atau simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman terhadap objek dan untuk mempertegas pengertian simbol atau lambang ini perlu dibedakan antara pengertian-perngertian seperti isyarat, tanda dan simbol atau lambang (Budiono Herusatoto:2008:18). Lambang atau simbol dapat berupa benda atau bentuk-bentuk seperti contoh: partai, palang merah, garuda pancasila, salib, bulan bintang, simbol matematika, dan logika, simbol dari badan atau organisasi seperti PBB, departemen, sekolah/universitas dan sebagainya, dan dapat pula berupa hal atau keadaan seperti misalnya seloka, pepatah, candra sengkala, kisah/dongeng.
            Suatu kerajaan, organisasi, atau pemerintahan pastilah memiliki lambang agar supaya di kenal identitasnya. Selain itu pula, lambang memiliki arti tiap-tiap bentuknya dan mengandung makna serta filosofi yang tinggi. Lambang Kadipaten Pakualaman menyimbolkan kerajaan yang terdapat di tanah Jawa karena jelas dalam lambang tersebut terdapat tulisan aksara Jawa.
            Warna yang dominan dalam lambang Kadipaten Pakualaman yaitu warna hijau dan kuning. Menurut M.W. Sestrudirjo (Ir. Rimawan) warna hijau terinspirasi dari pareanom (buah pare yang muda) karena warna favorit kebanggaan dan sayur pare menjadi makanan khas Paku Alam yang terdapat di Kadipaten Pakulaman (Warnasari:2012). Warna hijau memiliki makna yang terkandung di dalamnya dan selalu dikaitkan dengan warna alam yang menyegarkan. Karena warna hijau dapat membangkitkan energi dan juga mampu memberi efek menenangkan, menyejukkan, dan menyeimbangkan emosi. Selain dari pada itu, makna yang tersirat di warna hijau ini memiliki sesuatu yang elegan, menyembuhkan, menimbulkan perasaan empati terhadap orang lain, dan juga nuansa hijau dapat meredam stres, memberi rasa aman dan perlindungan.
            Warna lain yang terdapat di lambang Kadipaten Pakualaman yaitu warna kuning. Warna kuning memiliki makna optimis, semangat dan ceria. Selain dari pada itu, dari sisi psikologi keberadaan warna kuning dalam lambang kadipaten Pakualaman dapat merangsang aktivitas pikiran dan mental karena warna kuning sangat baik digunakan untuk membantu penalaran secara logis dan analitis sehingga lebih bijaksana dan cerdas dari sisi akademis, lebih kreatif dan pandai meciptakan ide yang original (http://erbinabaroes.wordpress.com). Warna-warna pembantu dilukiskan dengan hitam, meniru seperti apa yang sebenarnya terdapat dalam alam.
Gambar 2. Potongan Lambang (Poho) Kadipaten Pakualaman.
(Foto: Arsip Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).

            Pecahan lambang Kadipaten Pakualaman yang terdapat di atas, memiliki arti sawat (pengembangan). Dari lambang di atas terdapat lima sawat yang memiliki makna bahwa K.G.P.A.A. Paku Alam ke IX mengikuti pola pemerintahanannya Paku Alam ke V (Ir. Rimawan). Manurut Mas Bekel Wirodromo (abdi dalem PA) mengatakan sayap (sawat)  yang terdapat di lambang Kadipaten Pakualaman kenapa ada lima, karena mengambil makna dari rukun islam yang di dalam mengadung arti bahwa Kadipaten Pakualaman dalam sistem religinya menganut ajaran agama Islam. Rukun islam sendiri terdiri dari 5 (lima) yaitu: (1) Megucapakan dua kalimat shadat; (2) Melakuakan Sholat; (3) Berzakat; (4) Berpuasa; (5) Melakukan ibadah haji bila mampu.
Gambar 3. Potongan Lambang (Poho) Kadipaten Pakualaman.
(Foto: Arsip Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).
            Pecahan lambang Kadipaten Pakualaman di atas, memiliki arti mahkota seorang raja, lebih tepatnya di sini mahkota Adipati Paku Alam yang di dalamnya terdapat simbol bunga teratai, makna bunga teratai terbagi menjadi teratai putih, biru, merah, dan ungu (http://lotusflowerwnm.blogspot.com/2009/08/makna-bunga-teratai.html). Yakni: 1) Teratai putih melambangkan Bodhi (Sansekerta untuk pencerahan). Murni melambangkan tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan kesempurnaan spiritual dan perdamaian sifat seseorang. Sebuah bunga teratai umumnya dilengkapi dengan delapan kelopak, yang sesuai dengan Delapan Jalan Hukum Baik.  Teratai putih dianggap sebagai teratai dari Buddha (tapi tidak Buddha sendiri) karena disebutkan di atas simbol-simbol yang terkait dengannya. 2) Teratai biru melambangkan semangat kontrol atas salah satu indera material.  Jadi simbol pengetahuan, kebijaksanaan dan kecerdasan.
            Teratai biru adalah teratai yang terkait dengan Manjusri, dan juga merupakan salah satu atribut dari Prajnaparamita, perwujudan dari kesempurnaan kebijaksanaan. 3) Teratai Merah melambangkan keadaan asli hati. simbol cinta, kasih sayang, keaktifannya, nafsu dan emosi lain yang terkait dengan hati. Teratai merah biasanya digambarkan dengan kelopak terbuka, yang mungkin untuk melambangkan keindahan dan keterbukaan hati yang memberi.
Teratai merah muda adalah teratai tertinggi, sering dikaitkan dengan dewa tertinggi, Sang Buddha sendiri. Meskipun sering bingung dengan teratai putih, itu adalah teratai merah muda yang melambangkan Buddha dimana teratai putih digunakan untuk tokoh-tokoh suci yang lebih rendah. 4) Teratai ungu dikenal sebagai mistik teratai, dan hanya diwakili dalam beberapa sekte Buddha esoterik. Teratai ini seringkali digambarkan beberapa cara; itu mungkin mekar atau hanya sebuah kuncup. Dari keterangan diatas jadi makna sesungguhnya yang terdapat di bunga teratai untuk simbol mahkota Adipati Pakualaman yakni (adipati harus bisa memakmurkan rakyatnya dan bisa bijaksana dalam segala hal). 
            Selian itu, terdapat pula tiga simbol yang terdapat di mahkota yang di sebut tri tunggal yang memiliki arti manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Makna yang tersirat dari konsep tri tunggal ini manusia harus bisa menjaga hubungan baik antara sesama manusia, sesama alam, dan mempasrahkan sepenuhnya kehidupkan yang mengatur mati hidupnya manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam hal ini Allah SWT.  Pada pecahan lambang di atas pula terdapat tulisan aksara Jawa yang menyimbolkan dalam tulisan latin IX (sembilan), IX yang dimaksud karena di masa atau era sekarang ini Kadipaten Pakualaman dipimpim oleh K.G.P.A.A. Paku Alam ke IX, (Ir. Rimawan).

b. Alun-alun Sewandanan
    Alun-alun dalam bahasa harfiahnya ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon, merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan sebagai kegiatan masyarakat yang beragam. Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan.
            Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten. Pada awalnya alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga acara hiburan rakyat (Rimawan).
            Alun-alun Sewandanan terletak di bagian paling depan (selatan). Dibandingkan dengan alun-alun Utara atau Selatan Kraton Yogyakarta serta luas alun-alun Sewandanan termasuk kecil dibandingkan alun-alun yang berada di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun menurut catatan sebenarnya dahulu alun-alun Sewadanan cukup luas. Areanya meliputi sampai lokasi Lembaga Permasyarakatan Wirogunan. Konon area alun-alun tersebut dipotong oleh sebuah jalan (sekarang jalan Sultan Agung) yang dibangun oleh Belanda untuk memudahkan akses menuju lapangan terbang Maguwo di sebelah timur kota Yogyakarta.
            Pada mulanya alun-alun Sewadanan banyak ditumbuhi pohon beringin dan tanjung. Namun sekarang tinggal beberapa saja di bagian timur alun-alun. Dahulu di sisi barat alun-alun terdapat tempat gamelan Jawa Munggang yang disebut Palegongan. Adapun di sebelah barat daya alun-alun terdapat ruang bawah tanah untuk perlindungan di masa perang. Namun sekarang kedua bangunan tersebut sudah tidak ada dan digantikan dengan kehadiran bangunan dengan fungsi komersial, seperti gedung biliyar Hanggar, dan kafe.
            Kini sehari-hari Sewadanan dipakai untuk lapangan parkir dan pedagang kaki lima. Namun pada hari-hari tertentu alun-alun Sewandana dipakai untuk perayaan hari besar Kadipaten Pakualaman. Selain itu pula, menurut Pak Rimawan Fungsi administratif alun-alun yaitu masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat. Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan ataupun olah raga. Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.
            Makna yang tersirat dalam alun-alun Sewandanan adalah pengakuan keberadaan pemerintahan Kadipaten Pakualaman, digambarkan melalui kegiatan aktivitas masyarakat yang terpusat di alun-alun Sewandanan. Seperti, pemerintahan daerah pada umumnya dimana setiap daerah memiliki pusat aktivitas masyarakat secara umum di alun-alun (Pulau Jawa). Selain dari pada itu, alun-alun memiliki berbagai fungsi dalam mendukung kegiatan Kadipaten Pakualaman baik dalam kegiatan struktural (pemerinatahan) maupun kegiatan masyarakat yang diaplikasikan dengan suatu aktivitas ekonomi maupun tradisi (Rosana Prade). Dan alun-alun digunakan sebagai tempat upacara kerajaan. Bisa dikatakan ada kesan bahwa alun-alun mempunyai makna spiritual.
c. Gapura (Pintu gerbang) Kadipaten Pakualaman

Gambar 4. Pintu Gerbang. (Foto: Jogjatrip.com, 10 November 2013).
        Pintu gerbang adalah pintu yang terletak di posisi paling depan dari sebuah bangunan. Pintu ini berfungsi sebagai penghubung antara bangunan dengan jalan. Pintu ini digunakan untuk jalan keluar masuk kendaraan dan manusia. Untuk pintu gerbang ini, keamanan sangat diperlukan. Untuk itu desain pintu gerbang ini harus bisa memberikan keamanan bangunan untuk pemilik dari orang lain yang akan masuk tanpa ijin dari pemiliknya.
       Gapura yang berada di Kadipaten Pakualaman merupakan pintu utama walaupun memilik pintu-pintu yang lain karena fungsi pintu-pintu yang untuk mempermudah keluar masuknya abdi dalem Pakualaman. Regol Danawara memuat tulisan Ing Dana Wara yang berarti “modal”. Terdapat pula ukiran kata-kata sengkalanWiwara Kusuma Winayang Reka yang berarti “pintu yang terungkap dalam wujud cipta”. Makna yang tersirat dari semua ini adalah, kawasan Kadipaten Pakualaman merupakan zona kehidupan yang memiliki kedalaman pemikiran filosofis. Tindakan memasuki kawasan itu merupakan modal awal menuju ranah pemikiran yang mendalam.   
            Pintu Gerbang (Regol Danawara) merupakan akses masuk utama ke Kadipaten Pakualaman dari arah selatan (dari alun-alun Sewandanan) atap bangunan Regol Danawara berbentung kampung srotong dengan listplang rete-rete yang indah. Di bawah rete-rete terdapat tutup keong yang dihiasi dengan ornamen pada bidang segitiga sama kaki dengan motif tumbuh-tumbuhan. Di tengahnya terdapat lingkaran dengan tulisan 7-8-1884 yang merupakan masa pemerintahan Sri Paku Alam V. Di tutup keong ini terdapat tulisan dalam hurup Jawa yang berbunyi Wiwara Kusuma Winayang Reka yang berarti: terbuka pintu, terwujudnya karya cipta. Adapun maksud dari kata-kata tersebut adalah bahwa Kadipaten Pakualaman merupakan zona kehidupan yang memiliki kedalaman pemikiran filosofis. Memasuki Pura Pakualaman diartikan sebagai modal awal untuk menuju ranah pemikiran yang mendalam.
            Selain itu, di sisi timur regol juga terdapat cermin besar dan di sampingnya terdapat tulisan dalam huruf Jawa berbunyi Engeta Angga Pribadi yang maknanya adalah bahwa sebelum memasuki dunia pemikiran, manusia harus mawas diri. Demikian pula di sisi barat regol terdapat cermin besar dan tulisan dalam hurup Jawa yang berbunyi Guna Titi Purun yang maknanya adalah kemampuan, kecermatan, dan kehendak. Makna dari kata-kata tersebut adalah bahwa Kadipaten Pakualaman merupakan kawasan dengan etos kerja tinggi serta merupakan kawasan dengan pemikiran yang rasional. Benda lain yang masih dapat ditemukan hingga saat ini adalah lonceng atau genta sebagai penanda waktu yang terletak di sisi barat regol. Keberadaan lonceng penanda waktu menunjukkan bahwa Pura Pakualaman merupakan kawasan yang memiliki sifat menghargai waktu untuk bekerja dan beribadah kepada Tuhan (Baskara, et al. 2007:20-21).
            Di kiri dan kanan Regol Danawara terdapat bangunan panjang (mengelilingi Kadipaten Pakualaman) beratap limasan dengan emper sebelah (bagian utara/ dalam) bangunan di sebelah barat regol disebut sebagian sayap barat dan bangunan di sebelah timur regol disebut dengan sayap timur. Kata Danawara terdapat di sisi pada barat regol yang aslinya berbunyi “Ing Danawara”.
            Bangunan yang merupakan sayap barat dulunya berfungsi sebagai tempat kendaraan. Di salah satu bagian dari sayap barat terdapat pintu besar yang merupakan jalan keluar kendaraan. Meskipun pintu tersebut masih ada hingga sekarang tetapi sudah tidak lagi digunakan sebagai akses. Beberapa ruang di sayap barat pada awalnya merupakan ruang kantor Kas Negeri dan Keprajan Kadipaten Pakualaman dan pernah digunakan sebagai Kantor Inspektorat Wilayah DIY serta balai sidang. Sekarang ruang-ruang tersebut digunakan untuk kantor. Di bagian utara dari bangunan sayap barat dari awal hingga sekarang dipakai sebagai ruang, Perpustakaan atau Kapujanggan.
            Adapaun bangunan sayap timur dahulu dipakai sebagai ruang untuk menahan pesakitan dan pernah dipakai sebagai kantor polisi, poliklinik penyakit kulit, dan sekolah. Sekarang dipakai sebagai kantor. Adapun sebagian dari ruang di sayap timur saat ini digunakan sebagai museum Kadipaten Pakualaman dan ruang pameran (Albiladiyah, 1985:37).
d. Taman di Kadipaten Pakualaman
Gambar 5. Taman di Kadipaten Pakualaman. (Foto: Indra Rukmana, 12 November 2013).
            Taman merupakan sebuah areal yang berisikan komponen material keras dan lunak yang saling mendukung satu sama lainnya yang sengaja direncanakan dan dibuat oleh manusia dalam kegunaanya sebagai tempat penyegar dalam dan luar ruangan. Taman dapat dibagi dalam taman alami dan taman buatan, sedangkan yang terdapat di Kadipaten Pakualaman yakni taman buatan yang di sengaja.
            Setelah melewati pintu gerbang (Regol Danawara) maka yang pertama kali ditemukan di area Kadipaten Pakulaman adalah taman yang cukup luas dan memberi kesan lega. Dari kejauhan taman, terlihat suatu banguan yang disebut Pendapa Sewatama, dari taman itulah maka Pendapa Sewatama terlihat  bangunan yang menampakkan kesan agung suatu kerajaan. Persis di sebelah utara pintu gerbang (Regol Danawara) terdapat sebuah taman dengan bentuk segitiga dengan kolam berbentuk lingkaran di tengahnya. Pada taman tersebut terdapat beberapa patung, antara lain patung Ganesha. Makna dari patung Ganesha dikenal sebagai dewa pengusir segala rintangan dan dewa keberhasilan. Di samping itu, Ganesha juga dikenal sebagai dewa pelindung kesenian dan ilmu pengetahuan, dewa kecerdasan dan kebijaksanaan. Di Kadipaten Pakualaman arca Ganesha terdapat di sisi timur pintu gerbang bagian dalam.
            Desain dari taman berbentuk segitiga dimaksudkan untuk membelokkan lalu lintas agar dari Regol Danawara tidak lurus langsung ke arah bangunan utama. Dalam arsitektur Jawa dikenal sumbu simentris, namun jalur akses langsung ke bangunan utama harus dihindari karena memiliki makna tersirat tidak baik apabila mendirikan bangunan tepat pada ujung pangkal pertigaan (menghindari tusuk sate). Dengan adanya taman berbentuk segitiga tersebut lalu lintas yang masuk ke dalam Kadipaten Pakualaman akan berbelok ke kiri lebih dahulu sebelum dapat mengakses bangunan-bangunan utama di Kadipaten Pakualaman.
e. Pendapa/bangsal Sewatama
Gambar 6. Pendapa/bangsal Sewatama. (Foto: M. Tahdian Noor, 16 November 2013).
            Pendopo merupakan bagian dari sebuah rumah tradisional Jawa yang mempunyai arti penting, selain karena letaknya yang terdapat pada bagian paling depan dari sebuah rumah tinggal, fungsi sebuah pendopo adalah tempat untuk bersosialisasi dengan keluarga, kerabat maupun tetangga, demikian juga sebuah pendopo tidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna yang lebih dalam yakni mengaktualisasi satu bentuk kerukunan antara si penghuni dengan masyarakat sekitarnya/kerabatnya. Dalam era globalisasi ada satu pergeseran dalam makna, fungsi maupun bentuk dari sebuah pendopo, walaupun eksistensi/kehadiran dari pendopo tersebut masih tetap diakui dan dibutuhkan.   
            Bangsal Sewatama merupakan atau bangunan terbuka yang dalam rumah tradisional Jawa termasuk dalam bangunan publik yang biasanya dipakai untuk pegelaran kesenian tradisional. Bangsal Sewatama merupakan bangunan besar dengan atap limasan berjajar tiga membujur arah utara selatan. Dalam khasanahnya arsitektur tradisional Jawa, bangunan dengan bentuk atap seperti itu di sebut dengan istilah tri-denta. Pada bangunan ini terdapat tiga emperan di sisi barat, selatan dan timur yang menurut khasanah arsitektur tradisional Jawa dikenal dengan istilah gajah njerum (gajah tengkurap).
            Dikarenakan bangunan bangsal Sewatama ini cukup besar di satu sisi dan keterbatasan dimensi kayu struktur utama di sisi lain, maka diperlukan kolom penyangga yang cukup banyak. Jumlah kolom pada bangunan utama ada 5 (di sisi barat dan timur), namun sebenarnya ada satu lagi yaitu yang berada di sisi  paling utara. Akan tetapi, keberadaan kolom paling utara digantikan oleh dinding dari Gedhong Srikaya dan Ghedong Cina. Kondisi demikian (ada lebih dari 5 kolom), dalam khasanah arsitektur tradisional Jawa bangunan Bangsal Sewatama ini dikenal dengan klabang nyander. Sehingga secara keseluruhan banguan bangsal Sewatama ini dapat disebut sebagai bangunan Tri-denta gajah njerum klabang nyander, (Hamzuri:1980).
            Meskipun secara umum bangunan Bangsal Sewatama ini terlihat megah, namun elemen-elemen bangunannya dirancang sangat sederhana. Pada kolom misalnya, tidak terdapat hiasan berbentuk praban (yang terdapat pada bangunan-bangunan di Kraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat). Konon hal ini disengaja sebagai pengakuan dan penghormatan keberadaan Kraton Yogyakarta.
            Bangsal Sewatama merupakan bangunan yang relatif baru. Bangunan yang ada sekarang ini merupakan bangunan baru, menggantikan bangunan lama yang roboh akibat gempa bumi hebat yang terjadi pada tanggal 10 juni 1867. Kayu jati yang dipergunakan untuk menggantikan kayu yang rusak akibat gempa itu merupakan bantuan dari Mangkunegoro IV. Bangunan lama yang roboh dimensinya lebih kecil dan berbentuk joglo. Untuk mengenang dan mengabadikan bangunan lama yang roboh maka empat saka guru beserta dengan uleng berukir-nya dan saat ini didirikan di bagian utara dari bangsal Sewatama.
            Bangsal Sewatama saat ini dimanfaatkan untuk menerima tamu-tamu resmi dalam jumlah besar. Pada kesempatan tertentu bangsal Sewatama digunakan untuk acara-acara yang sifatnya umum seperti seminar dan rapat. Selain dari pada itu, bangsal ini sering di pakai pertunjukan tari-tari khas Kadipaten Pakualaman serta acara prosesi upacara-upacara adat Pakualaman.

f. Gedhong Purwaretna
Gambar 6. Ghedhong Purwaretno. (Foto : M. Rafiq, 16 November 2013).

            Bangunan yang terletak di sebelah kiri Bangsal Sewatama itu berdiri megah dengan behiaskan ukiran krawangan (ukiran tembus pandang). Keberadaan bangunan berarsitektur timur ini merupakan cerminan jiwa pimpinan wangsa Pakualaman dalam menanggapi datangnya pengaruh modern pada awal abad 20.
            Meskipun seluruh komplek bangunan di Kadipaten Pakualaman pada umumnya simetris, namun di sisi timur Bangsal Sewatama terdapat bangunan Gedhong Purwaretna yang membuat kesan menjadi tidak simetris. Bangunan yang sangat indah tersebut dibangun pada masa Paku Alam VII dibantu oleh Paku Buwono X sebagai mertuanya. Di Gedhong Purwaretno inilah Paku Buwono X tinggal apabila sedang berkunjung ke Kadipaten Pakualaman. Bangunan Gedhong Purwaretna ini dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu tembus pandang (krawangan) dengan motif ornamen lengkung-lengkung dan sangat dipengaruhi oleh arsitektur Islam dari daerah Timur Tengah.
            Makna yang tersurat dari bangunan ini yaitu di peruntukan untuk Paku Buwono X karena Paku Alam VII sebagai menantu yang patuh terhadap mertuanya. Selain dari pada itu, apabila Paku Buwono X berkunjung ke Kadipaten Pakualaman bisa mencapai setengah tahun (6 bulan) dan apabila berkunjung membawa penari, alat musik gamelan, dan peralatan pribadi Paku Buwono X (Rimawan). Saat ini Gedhong Purwaretna sering di pergunakan sebagai tempat pertemuan dan kegiatan oleh Kadipaten Pakualaman.
g. Masjid Besar Pakualaman
Gambar 7. Masjid Besar Pakualaman. (Foto: Indra Rukmana, 12 November 2013).
          Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran (http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid).
            Di sekitar kompleks Kadipaten Pakualaman, tepatnya di sudut barat laut alun-alun Sewandanan, terdapat sebuah Masjid. Pada prasasti di sebelah utara tertoreh  sengkalan: Pandhita Obah Sabda Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1767 (1839 Masehi). Namun, pada prasasti di sebelah selatan tertoreh sengkalanGunaning Pujangga Sapta Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1783 (1855 Masehi). Sampai sekarang masih diperdebatkan, tahun mana yang merupakan tahun pendirian Masjid tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Kadipaten Pakualaman sebagai istana saat ini berfungsi sebagai pusat kajian kebudayaan dan menjadi orientasi nilai-nilai, maka hal-hal yang positif seperti terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendahulunya di satu sisi, dan di sisi lain sekaligus menjadi bukti keterbukaan keluarga Kadipaten Pakulaman terhadap hal-hal dan juga nilai-nilai yang sifatnya baru. Karena membutuhkan pengawalan yang lebih kuat di masa mendatang agar Kadipaten Pakualaman tidak hilang dan tinggal menjadi cerita, namun sebaliknya Kadipaten Pakualaman masih terus eksis dan dapat terus “bercerita” tentang kehidupan yang melewatinya.
            Istana Pakualaman atau lebih dikenal dengan Puro Pakualamanan berada di Jalan Sultan Agung, 2 km arah timur dari Kantor Pos Besar. Istana ini adalah milik Kadipaten Pakualaman. Istana ini pada awalnya adalah milik Pangeran Notokusumo, putra Sultan Hamengku Buwono I dan Ratu Srenggorowati yang dilantik oleh Gubernur Jenderal Belanda Sir Thomas Raffles pada tanggal 17 Maret 1813 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam I. Sebelunya pada bulan Juni Pangeran Notokusuma disebut Pangeran Merdiko sesuai dengan permohonan Sultan Hamengku Buwono II. Wilayah Kadipaten Pakualaman terdiri dari 4.000 cacah di wilayah Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan terletak di antara sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto. Wilayah istana menunjukkan pusat kekuatan budaya Jawa, dan arsitektur dari Kadipaten Pakualaman adalah dibuat oleh KGPAA Paku Alam I sendiri yang memang ahli di bidang budaya dan sastra.
            Secara simbolis Kadipaten Pakualaman jelas sebagai kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja dalam hal ini Adipati. Sedangkan memaknai Kadipaten Pakualaman sebagai sebuah sistem patrilineal atau patrilineal descent yang menghitung kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luas batas itu.
B. Saran
            Kadipaten Pakulaman memiliki bangunan seperti pintu gerbang utama yang disebut Regol Danawara, Pendapa/Bangsal Sewatama, Ghedong Purwaretna, Masjid Besar Kadipaten Pakualaman. Taman dan Alun-Alun Sewandanan sebagai satu bagian utuh dari Kadipaten Pakulaman.
            Untuk mempertahakan kontinuitas dan keberadaan Kadipaten Pakualaman, maka perlu dilakukan koordinasi yang serius dari pihak baik pemerintah daerah, swasta, seniman, pemerhati seni dan budaya serta masyarakat itu sendiri agar Kadipaten Pakualaman dapat dikenal oleh masyarakat luas dan masyarakatnya tentang makna dan simbol. Mengingat Kadipaten Pakualaman merupakan sebagai kerajaan dan sebagai identitas masyarakat di daerah Istimewa Yogyakarta.
            Beberapa hal yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya menjadikan tiap-tiap simbol yang ada di Kadipaten Pakualaman memiliki makna agar masyarakat luas mengerti tentang kerajaan tersebut. Hal yang dapat diperhatikan yaitu sebagai berikut: (1) membuat dokumentasi audio visual dan tertulis secara terperinci dan menyebarkan hasilnya ke lembaga-lembaga pendidikan, kesenian dan kebudayaan, adat, masyarakat, dan instansi pemerintah; (2) memasukkan sebagai mata pelajaran muatan lokal atau ekstra kurikuler di semua tingkat pendidikan.       
        
KEPUSTAKAAN

A. Sumber Tercetak

Berger, Asa Arthur. “Pengantar Semiotika Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer”, dalam M. Dwi Marianto, ed., Signs in Contemporary Culture: An Itroduction to Semiotics (1984). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa.Yogyakarta: Ombak, 2008.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1974.

Kusmayati, Hermien dan Kawan-Kawan. Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Jakarta: Trah Pakualaman Hudyana, 2012.

Moejanto, G. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Retnoningsih, Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2012.

B. Data Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid, di akses tanggal 26 November 2013 jam 15.30 WIB.

http://erbinabaroes.wordpress.com/2013/06/24/arti-warna-dalam-ilmu-psikologi-lalu-apa-warna-kepribadianmu/, di akses tanggal 2 November 20.00 WIB.

http://lotusflowerwnm.blogspot.com/2009/08/makna-bunga-teratai.html, di akses tanggal 20 November 2013 Jam 9.00 WIB.


C. Nara Sumber

Ir. Rimawan (M.W. Sestrudirjo), Stap Sekretariatan Kadipaten Pakualaman, Minggiran, Jogya, Tokoh Adat Kadipaten Pakualaman.

Wiwit Wahyudi (MB Wirotomo), Wirausaha, Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman

Eko Wahyudi (MB Wirodromo), Wirausaha, Gedong Kuning, Jogya, Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman




                [1]Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan; (nomina).

2 komentar:

  1. Artikel terkait menghadapa keselatanya Istana Oakualamn adalah symbol penghormatan kepada Kraton Jogyakarta, perlu di telaa apa dasar dari stement ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setahu saya karena Paku Alam tahu diri. Bagaimanapun, Paku Alam adalah keturunan Sultan Yogya 'kan?

      Hapus