BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kadipaten Pakualaman berlokasi di Jl. Sultan Agung,
Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
55122 kurang lebih 2 kilometer ke arah timur dari Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Secara simbolis Kadipaten Pakualaman jelas sebagai
kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja dalam hal ini Adipati. Sedangkan memaknai
Kadipaten Pakualaman sebagai sebuah sistem patrilineal
atau patrilineal descent yang
menghitung kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa
bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam
batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di
luas batas itu. Kekuasaan terpenuh dan kendali kemajuan suatu kerajaan di
tangan Adipati Pakulaman yang sampai saat ini Paku Alam yang ke IX memimpin
Kadipaten Pakualaman.
Apabila
para pengunjung mendatangi komplek Kadipaten Pakulaman yang pertama kali pasti
yang di jumpai bentuk fisik suatu bangunan keraton yang berbasis kerjaan kejawen. Kadipaten Pakualaman terlihat
megah dan mewah karena kerjaan ini di pakai sebagai rumah tinggal sekaligus
suatu istana kerajaan dalam menjalankan suatu pemerintahan keraton.
Dari
keterangan di atas, penulis akan menguraikan bagaimana konsep kekuasaan Jawa
yang terdapat makna mendalam baik tersirat maupun tersurat bahwa suatu kerajaan
mutlak dan absolut kekuasaan penuh ditangan raja. Karena dalam falsafah Jawa
memiliki konsep keagungbinataraan.
Masyarakat
moderen mengenal konsep atau sistem politik demokrasi. (Alfin:1986) Inti dari
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari
keterangan singakt inilah tertangkap bahwa subjek demokrasi adalah rakyat, yang
menentukan arah dan tujuan suatu negara. Mereka juga memilih siapa yang diserah
tugaskan untuk mengantarkan mereka mencapai tujuannya. Karna jumlah rakyat
begitu besar, maka mereka membentuk perwakilan lewat pemilihan umum yang
berlangsung secara bebas dan rahasia.
Agar
pemerintahan yang dibentuk sungguh-sungguh menyelenggarakan kepentingan mereka,
maka demokrasi menuntut adanya keterbukaan terhadap kontrol sosial. Berbagai
sarana demokrasi dapat menjadi alat bagi berlangsungnya kontrol sosial itu,
seperti DPR, Parpol, Ormas, Pers. Kadang-kadang warga negara menyampaikan
kontrol sosial juga dengan mengirimkan surat kepada aparat atau pejabat yang
bersangkutan, misalnya ditujukan kepada pemerintahan RI yang membuka Kotak Pos
5000 di Jakarta. Untuk dapat menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak,
pemerintah membagi wilayah Indonesia dalam sekian banyak propinsi, kabupaten,
kotamadia, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Untuk menjaga keamanan dan
pertahanan pemerintah mempunyai tentara dan polisi. Semua itu merupakan aparat
birokrasi.
Bagaimana
halnya dengan kerajaan Jawa, khususnya Mataram? Mataram sebagai kerajaan Jawa
mempunyai konsep atau sistem politik juga. Sebagai salah satu sistem atau
konsep kekuasaan Jawa, mempopulerkan konsep atau doktrin Keagungbinataraan (G.
Moedjanto: 1990). Apa inti dari konsep
Keaggungbinatraan? Intinya adalah pengakuan bahwa kekuasaan raja itu “agung binathara, bahu dhedha nyakrawati,
berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta” (besar laksana kekuasaan dewa,
pemerintahan hukum dan pengusaan adil terhadap sesama).
Jadi menurut konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa secara
absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga
untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa
dikenal juga sebagai tugas raja: “njaga
tata tentreming praja” (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan
demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara).
Dengan demikian konsep kekuasaan Jawa menentukan bahwa
kekuasaan yang absolut itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat yang
diperintah oleh raja. Sebaliknya, supaya raja dapat melaksanakan tugasnya,
rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Dengan
demikian antara raja dan rakyat berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring
kawulo-gusti (bertemunya rakyat dengan raja).
Doktrin keagungbinataraan mengajarkan bahwa raja harus
selalu membangun kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang
tertinggi dan paling kuasa. Secara singkat kekuasaan raja besar menurut konsep
kekuasaan Jawa ditandai oleh, (G. Moedjanto: 1985):
1)
Wilayah kerajaan yang sangat luas;
2)
Kerajaan taklukan dan berbagai barang
persebahan yang disampaikan oleh raja taklukan.
3)
Kesetiaan para bupati dan punggawa
lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang
diselenggrakan pada hari-hari tertentu;
4)
Kebesaran dan kemeriahan upacara
kerajaan dan banyaknya pusaka dan perlengkapan yang tampak dalam upacara;
5)
Besarnya tentara dengan segala jenis dan
perlengkapannya;
6)
Kekeyaan yang dimiliki oleh raja, gelar-gelar
yang disandang dan kemasyhurannya;
7) Seluruh
kekuasaan menjadi satu di tangannya, tanpa ada yang menandingi.
Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman atau Praja
Pakualaman didirikan pada tanggal 17
Maret 1813,
ketika Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan
Hamengku Buwono I dengan Selir
Srenggorowati dinobatkan oleh Gubernur-Jenderal
Sir Thomas Raffles
(Gubernur Jendral Britania Raya
yang memerintah saat itu) sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku
Alam I. Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran
di Surakarta.
Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggeris
pimpinan Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, putra
Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran Notokusumo
berjasa kepada Inggeris, karena ia berusaha melunakkan hati Hamengku Buwono II,
yang sebenarnya saudaranya seayah.
Pendirian Pakualaman sebenarnya merupakan situasi
disintegrasi[1]
lebih lanjut bagi kerajaan Mataram. Dalam tahun 1755 lewat penjanjian Gianti,
Mataram telah terbagi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Lebih disintegratif lagi karena wilayah kedua kerajaan itu terpancar secara
tidak beraturan. Ada wilayah Surakarta yang terletak di Timur Yogyakarta, ada
wilayah Yogyakarta yang terletak di Barat Surakarta. Dengan demikian sulitlah
bagi kedua kerajaan membangun kekuatan yang utuh.
Eksistensi
sebuah kerajaan terlihat secara kasat mata dari keraton yang dimilikinya. Benteng
kokoh sekeliling istana menyekat dan membedakan mana area bangsawan dan mana
area rakyat biasa. Biasanya, arsitektur dan kemegahan bangunannya menunjukkan
keangkeran dan keangkuhan feodalistis sang raja dan kerabatnya.
Menurut
pak Rimawan Istana Pakualaman pernah mengalami kerusakan hebat yang terjadi
pada saat gempa bumi dahsyat di Jogjakarta pada tahun 1864. Yang secara
simbolis juga, pasti ada yang berubah baik dari segi arsitektur maupun dari
bangunannya. Meskipun demikian, Kadipaten Pakualaman tetaplah sebuah keraton yang
megah di mata rakyatnya. Bangunan Kadipaten Pakualaman menempati areal seluas
5.4238 hayang meliputi bangunan pokok, tambahan di belakang, samping, kestalan,
halaman depan dan alun-alun.
Menurut
I Wayan Senen, mengatakan dengan makna dan simbol bisa dikaitkan dengan tujuh
unsur suatu kebudayaan yang disimpulkan Koentjaraninggrat sebagai cultur universals, yang nantinya akan
mencari makna dan simbol apa saja yang terdapat di Kadipaten Puakualaman.
Ketujuh unsur kebudayaan tersebut meliputi:
1) Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata,
alat produksi, transportasi, dsb).
2) Mata
pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi, dsb).
3) Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan, dsb).
4) Bahasa
(lisan maupun tertulis).
5) Kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak, dsb).
6) Sistem
pengetahuan.
7) Religi.
B. Rumusan
Dari permasalahan di atas, terdapat
pertanyaan apa saja yang menyimbolkan dan memaknai Kadipaten Pakualaman,
seperti yang disimpulkan Koentjaraningrat cultural
universals. Akan tetapi, menurut R. Linton (Koentjaraninggrat, 1974:82) cultural universals dapat dipecah lagi
dalam unsur-unsur yang lebih kecil seperti cultural
activities atau aktivitet-aktivitet kebudayaan.
Demikian misalnya dapat disebut
sebagai contoh dalam rangka universal mata pencaharian hidup, ada
aktivitet-aktivitet kebudayaan seperti: perburuan, pertanian, berladang,
pertanian menetap, perternakan, perdagangan dan lain sebagainya. Dalam rangka
universal kesenian, ada aktivite-aktivitet seperti: seni rupa, seni suara, seni
gerak, seni drama, seni sastra, dan lain sebagainya. Selain itu, universal bangunan
yang di dalamnya terdapat arsitektur yang menyimbolkan makna.
C. Tujuan
Penelitian
1. Mencari
apa saja yang telah disimbolkan dan dimaknai di Kadipaten Pakualaman.
2. Untuk
mengetahui simbol dan makna Kadipaten Pakualaman dalam bidang bangunan-bangunan fisik yang ada di Kadipaten
Pakualaman.
3. Untuk
mengenalkan kepublik atau masyarakat bahwa kerajaan di Jogja bukan hanya
keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tapi Kadipaten Pakualaman juga
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Batasan Penulisan
Batasan penulisan merujuk pada apa
yang dilihat pertama kali oleh peneliti di Kadipaten Pakualaman baik dari
bentuk fisik bangunan maupun lambang dan simbol-simbolnya yang pasti memiliki
makna yang tersirat dan tersurat. Dalam pembahasan makna dan simbol Kadipaten
Pakulaman penulis menggunakan metode deskriptif, studi literatur, dan analitik
observation. Penulis menjelaskan makna dan simbol di Kadipaten Pakualaman lebih
terpusat pada bangunan fisik atau visual (arsitektur).
E. Pengumpulan Data
Pendekatan-pendekatan dalam
mendapatkan suatu informasi dilakukan peneliti dengan cara wawancara. Wawancara
merupakan teknik untuk mengumpulkan data secara interaktif (tanya jawab).
Wawancara berguna untuk mengumpulkan data dengan cara menanyakan langsung
kepada nara sumber atau dengan orang yang mengetahui permasalahan. Metode ini
bertujuan untuk memperoleh data yang lebih valid dengan cara berinteraksi
langsung dengan nara sumber yang berhubungan langsung dengan objek penelitian
maupun dalam hal-hal lain yang masih berkaitan dengan objeknya, sehingga dapat
membantu penulisan agar dapat memperoleh keterangan yang akurat dan lebih
objektif. Wawancara tersebut dilakukan kepada beberapa abdi dalem, dan pengurus harian Kadipaten Pakualaman.
Observasi merupakan pengamatan dan
mencatat data secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data yang sesuai
dengan objek penelitian. Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data
yang menuntut peran aktif peneliti pada setiap peristiwa dan kegiatan yang
berhubungan dengan objek penelitian yang dialami masyarakat pendukungnya dengan
tujuan agar memahami aspek-aspek yang melingkupinya. Mengingat minimnya waktu yang tersedia, dalam
penelitian ini sebelumnya telah dilakukan observasi yaitu berupa pengamatan
langsung di lapangan guna memperoleh data-data yang diperlukan untuk
mempersingkat waktu yang ada. Observasi langsung salah satunya ke perpustakaan
yang terdapat di Kadipaten Pakualaman, serta perpustakaan daerah Kota Jogja.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Simbol dan makna.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011:306) makna adalah
hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna merupakan bentuk responsi
dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi
maupun hasil belajar yang dimiliki.
Ilmu semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian
tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas
kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas
tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Selain dari pada itu, budaya dalam hal ini, dapat dilihat
sebagai bangunan yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan
tertentu (code), untuk menghasilkan makna.
Sedangkan simbol berasal dari kata symballo yang
berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya ”melempar bersama-sama”,
melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang
kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan
seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah
gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah
sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah
dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya.
Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu
pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun
juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu
infrastruktur bahasa,
yang dikenal dengan bahasa simbol.
Simbol paling umum ialah tulisan, yang
merupakan simbol kata-kata
dan suara. Lambang
bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan
tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang dapat berupa warna atau pola. Lambang sering
digunakan dalam puisi
dan jenis sastra
lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan.
Lambang nasional adalah
simbol untuk negara tertentu.
Makna
yang terkesan dan terpancar dari Kadipaten Pakualaman adalah: sederhana,
terbuka, dan modern. Atap gaya kampung srotong pada pintu
masuk menunjukkan kesederhanaan. Simbol-simbol yang dipakai menunjukkan bahwa
kehidupan istana itu sarat dengan makna. Arsitektur modern yang diterapkan
tanpa menghilangkan kesan tradisional menunjukkan sifat keterbukaan suatu
kerajaan.
Kadipaten
Pakualaman posisi bangunannya mengahap ke arah selatan. Menurut Mas Bekel
Wirotomo (abdi dalam PA) bangunan
Kadipaten Pakualaman pada dasarnya letaknya di utara Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat, tidak baik apabila bangunan Kadipaten Pakualaman menghadap sama
seperti keraton Jogja hadapnya ke utara karena dalam bahasa Jawa Ngungkuri (membelakangi) tidak baik dan
untuk saling menghargai. Selain dari pada itu, posisinya Kadipaten Pakualaman
yang menghadap ke selatan melambangkan penghormatan terhadap keraton
Yogyakarta. Saat ini, istana yang didirikan pada awal abad ke-19 ini menjadi
kediaman Sri Paduka Paku Alam IX, wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang merupakan dwi tunggal
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Gambar 1. Lambang (Poho)
Kadipaten Pakualaman.
(Foto: Arsip
Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).
Lambang
atau simbol adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman
terhadap objek dan untuk mempertegas pengertian simbol atau lambang ini perlu
dibedakan antara pengertian-perngertian seperti isyarat, tanda dan simbol atau
lambang (Budiono Herusatoto:2008:18). Lambang atau simbol dapat berupa benda
atau bentuk-bentuk seperti contoh: partai, palang merah, garuda pancasila,
salib, bulan bintang, simbol matematika, dan logika, simbol dari badan atau
organisasi seperti PBB, departemen, sekolah/universitas dan sebagainya, dan
dapat pula berupa hal atau keadaan seperti misalnya seloka, pepatah, candra sengkala, kisah/dongeng.
Suatu
kerajaan, organisasi, atau pemerintahan pastilah memiliki lambang agar supaya di
kenal identitasnya. Selain itu pula, lambang memiliki arti tiap-tiap bentuknya
dan mengandung makna serta filosofi yang tinggi. Lambang Kadipaten Pakualaman
menyimbolkan kerajaan yang terdapat di tanah Jawa karena jelas dalam lambang
tersebut terdapat tulisan aksara Jawa.
Warna
yang dominan dalam lambang Kadipaten Pakualaman yaitu warna hijau dan kuning.
Menurut M.W. Sestrudirjo (Ir. Rimawan) warna hijau terinspirasi dari pareanom (buah pare yang muda) karena
warna favorit kebanggaan dan sayur pare menjadi makanan khas Paku Alam yang
terdapat di Kadipaten Pakulaman (Warnasari:2012). Warna hijau memiliki makna
yang terkandung di dalamnya dan selalu dikaitkan dengan warna alam yang
menyegarkan. Karena warna hijau dapat membangkitkan energi dan juga mampu
memberi efek menenangkan, menyejukkan, dan menyeimbangkan emosi. Selain dari
pada itu, makna yang tersirat di warna hijau ini memiliki sesuatu yang elegan,
menyembuhkan, menimbulkan perasaan empati terhadap orang lain, dan juga nuansa
hijau dapat meredam stres, memberi rasa aman dan perlindungan.
Warna
lain yang terdapat di lambang Kadipaten Pakualaman yaitu warna kuning. Warna
kuning memiliki makna optimis, semangat dan ceria. Selain dari
pada itu, dari sisi psikologi keberadaan warna kuning dalam
lambang kadipaten Pakualaman dapat merangsang aktivitas pikiran dan mental
karena warna kuning sangat baik digunakan untuk membantu penalaran secara logis
dan analitis sehingga lebih bijaksana dan cerdas dari sisi akademis, lebih
kreatif dan pandai meciptakan ide yang original (http://erbinabaroes.wordpress.com).
Warna-warna pembantu dilukiskan dengan hitam, meniru seperti apa yang
sebenarnya terdapat dalam alam.
Gambar 2. Potongan Lambang (Poho) Kadipaten Pakualaman.
(Foto: Arsip Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).
Pecahan lambang Kadipaten Pakualaman yang terdapat di
atas, memiliki arti sawat
(pengembangan). Dari lambang di atas terdapat lima sawat yang memiliki makna bahwa K.G.P.A.A. Paku Alam ke IX mengikuti
pola pemerintahanannya Paku Alam ke V (Ir. Rimawan). Manurut Mas Bekel
Wirodromo (abdi dalem PA) mengatakan
sayap (sawat) yang terdapat di lambang Kadipaten Pakualaman
kenapa ada lima, karena mengambil makna dari rukun islam yang di dalam
mengadung arti bahwa Kadipaten Pakualaman dalam sistem religinya menganut
ajaran agama Islam. Rukun islam sendiri terdiri dari 5 (lima) yaitu: (1) Megucapakan
dua kalimat shadat; (2) Melakuakan Sholat; (3) Berzakat; (4) Berpuasa; (5)
Melakukan ibadah haji bila mampu.
Gambar 3. Potongan Lambang (Poho) Kadipaten Pakualaman.
(Foto: Arsip Kadipaten Pakualaman, 1 November 2013).
Pecahan
lambang Kadipaten Pakualaman di atas, memiliki arti mahkota seorang raja, lebih
tepatnya di sini mahkota Adipati Paku Alam yang di dalamnya terdapat simbol bunga
teratai, makna bunga teratai terbagi menjadi teratai putih,
biru, merah, dan ungu (http://lotusflowerwnm.blogspot.com/2009/08/makna-bunga-teratai.html).
Yakni: 1) Teratai
putih melambangkan Bodhi (Sansekerta
untuk pencerahan). Murni melambangkan tubuh, pikiran dan jiwa, bersama dengan
kesempurnaan spiritual dan perdamaian sifat seseorang. Sebuah bunga teratai
umumnya dilengkapi dengan delapan kelopak, yang sesuai dengan Delapan Jalan
Hukum Baik. Teratai putih dianggap sebagai teratai dari Buddha (tapi
tidak Buddha sendiri) karena disebutkan di atas simbol-simbol yang terkait
dengannya. 2) Teratai biru melambangkan semangat kontrol atas salah satu indera
material. Jadi simbol pengetahuan, kebijaksanaan dan kecerdasan.
Teratai biru adalah teratai yang terkait dengan Manjusri,
dan juga merupakan salah satu atribut dari Prajnaparamita, perwujudan dari
kesempurnaan kebijaksanaan. 3) Teratai Merah melambangkan keadaan asli hati.
simbol cinta, kasih sayang, keaktifannya, nafsu dan emosi lain yang terkait
dengan hati. Teratai merah biasanya digambarkan dengan kelopak terbuka, yang
mungkin untuk melambangkan keindahan dan keterbukaan hati yang memberi.
Teratai merah muda adalah teratai tertinggi, sering dikaitkan dengan dewa tertinggi, Sang Buddha sendiri. Meskipun sering bingung dengan teratai putih, itu adalah teratai merah muda yang melambangkan Buddha dimana teratai putih digunakan untuk tokoh-tokoh suci yang lebih rendah. 4) Teratai ungu dikenal sebagai mistik teratai, dan hanya diwakili dalam beberapa sekte Buddha esoterik. Teratai ini seringkali digambarkan beberapa cara; itu mungkin mekar atau hanya sebuah kuncup. Dari keterangan diatas jadi makna sesungguhnya yang terdapat di bunga teratai untuk simbol mahkota Adipati Pakualaman yakni (adipati harus bisa memakmurkan rakyatnya dan bisa bijaksana dalam segala hal).
Teratai merah muda adalah teratai tertinggi, sering dikaitkan dengan dewa tertinggi, Sang Buddha sendiri. Meskipun sering bingung dengan teratai putih, itu adalah teratai merah muda yang melambangkan Buddha dimana teratai putih digunakan untuk tokoh-tokoh suci yang lebih rendah. 4) Teratai ungu dikenal sebagai mistik teratai, dan hanya diwakili dalam beberapa sekte Buddha esoterik. Teratai ini seringkali digambarkan beberapa cara; itu mungkin mekar atau hanya sebuah kuncup. Dari keterangan diatas jadi makna sesungguhnya yang terdapat di bunga teratai untuk simbol mahkota Adipati Pakualaman yakni (adipati harus bisa memakmurkan rakyatnya dan bisa bijaksana dalam segala hal).
Selian itu, terdapat pula tiga simbol yang terdapat di
mahkota yang di sebut tri tunggal yang
memiliki arti manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Makna yang tersirat dari konsep tri
tunggal ini manusia harus bisa menjaga hubungan baik antara sesama manusia,
sesama alam, dan mempasrahkan sepenuhnya kehidupkan yang mengatur mati hidupnya
manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam hal ini Allah SWT. Pada pecahan lambang di atas pula terdapat tulisan
aksara Jawa yang menyimbolkan dalam tulisan latin IX (sembilan), IX yang
dimaksud karena di masa atau era sekarang ini Kadipaten Pakualaman dipimpim
oleh K.G.P.A.A. Paku Alam ke IX, (Ir. Rimawan).
b. Alun-alun
Sewandanan
Alun-alun dalam
bahasa harfiahnya ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon,
merupakan suatu lapangan terbuka yang
luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan sebagai kegiatan
masyarakat yang beragam. Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya
alun-alun itu merupakan halaman depan
rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja,
bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di
depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat
kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer,
perdagangan, kerajinan dan pendidikan.
Lebih jauh Thomas Nix
(1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun
merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara
bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik
awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa
dan berupa alun-alun, hal demikian
bukan merupakan alun-alun yang
sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten. Pada awalnya alun-alun
merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan,
tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat,
juga acara hiburan rakyat (Rimawan).
Alun-alun Sewandanan terletak di bagian paling
depan (selatan). Dibandingkan dengan alun-alun
Utara atau Selatan Kraton Yogyakarta serta luas alun-alun Sewandanan
termasuk kecil dibandingkan alun-alun yang berada di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Namun menurut catatan sebenarnya dahulu alun-alun
Sewadanan cukup luas. Areanya
meliputi sampai lokasi Lembaga Permasyarakatan Wirogunan. Konon area alun-alun
tersebut dipotong oleh sebuah jalan (sekarang jalan Sultan Agung) yang dibangun
oleh Belanda untuk memudahkan akses menuju lapangan terbang Maguwo di sebelah
timur kota Yogyakarta.
Pada
mulanya alun-alun Sewadanan banyak ditumbuhi pohon
beringin dan tanjung. Namun sekarang tinggal beberapa saja di bagian timur
alun-alun. Dahulu di sisi barat alun-alun
terdapat tempat gamelan Jawa Munggang yang
disebut Palegongan. Adapun di sebelah
barat daya alun-alun terdapat ruang
bawah tanah untuk perlindungan di masa perang. Namun sekarang kedua bangunan
tersebut sudah tidak ada dan digantikan dengan kehadiran bangunan dengan fungsi
komersial, seperti gedung biliyar Hanggar, dan kafe.
Kini
sehari-hari Sewadanan dipakai untuk
lapangan parkir dan pedagang kaki lima. Namun pada hari-hari tertentu alun-alun Sewandana dipakai untuk
perayaan hari besar Kadipaten Pakualaman. Selain itu pula, menurut Pak Rimawan Fungsi administratif alun-alun yaitu masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi
panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa
peragaan bala prajurit dari penguasa setempat. Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan
masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan,
pertunjukan hiburan ataupun olah raga. Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan
kegiatan tersebut alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang
memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.
Makna
yang tersirat dalam alun-alun Sewandanan
adalah pengakuan keberadaan pemerintahan Kadipaten Pakualaman, digambarkan
melalui kegiatan aktivitas masyarakat yang terpusat di alun-alun Sewandanan. Seperti, pemerintahan daerah pada umumnya
dimana setiap daerah memiliki pusat aktivitas masyarakat secara umum di alun-alun (Pulau Jawa). Selain dari pada
itu, alun-alun memiliki berbagai
fungsi dalam mendukung kegiatan Kadipaten Pakualaman baik dalam kegiatan
struktural (pemerinatahan) maupun kegiatan masyarakat yang diaplikasikan dengan
suatu aktivitas ekonomi maupun tradisi (Rosana Prade). Dan alun-alun digunakan sebagai tempat upacara kerajaan. Bisa dikatakan ada
kesan bahwa alun-alun mempunyai makna spiritual.
c. Gapura
(Pintu gerbang) Kadipaten Pakualaman
Gambar 4.
Pintu Gerbang. (Foto: Jogjatrip.com, 10 November 2013).
Pintu gerbang adalah pintu yang terletak di posisi
paling depan dari sebuah bangunan. Pintu ini berfungsi sebagai penghubung
antara bangunan dengan jalan. Pintu ini digunakan untuk jalan keluar masuk
kendaraan dan manusia. Untuk pintu gerbang ini, keamanan sangat diperlukan.
Untuk itu desain pintu gerbang ini harus bisa memberikan keamanan bangunan
untuk pemilik dari orang lain yang akan masuk tanpa ijin dari pemiliknya.
Gapura yang
berada di Kadipaten Pakualaman merupakan pintu utama walaupun memilik
pintu-pintu yang lain karena fungsi pintu-pintu yang untuk mempermudah keluar
masuknya abdi dalem Pakualaman. Regol
Danawara memuat tulisan Ing Dana Wara yang berarti “modal”.
Terdapat pula ukiran kata-kata sengkalan: Wiwara Kusuma
Winayang Reka yang berarti “pintu yang terungkap dalam wujud cipta”.
Makna yang tersirat dari semua ini adalah, kawasan Kadipaten Pakualaman
merupakan zona kehidupan yang memiliki kedalaman pemikiran filosofis. Tindakan
memasuki kawasan itu merupakan modal awal menuju ranah pemikiran yang mendalam.
Pintu Gerbang (Regol Danawara)
merupakan akses masuk utama ke Kadipaten Pakualaman dari arah selatan (dari
alun-alun Sewandanan) atap bangunan Regol Danawara berbentung kampung
srotong dengan listplang rete-rete yang indah. Di bawah rete-rete terdapat tutup keong yang dihiasi dengan ornamen pada
bidang segitiga sama kaki dengan motif tumbuh-tumbuhan. Di tengahnya terdapat
lingkaran dengan tulisan 7-8-1884 yang merupakan masa pemerintahan Sri Paku
Alam V. Di tutup keong ini terdapat tulisan dalam hurup Jawa yang berbunyi Wiwara Kusuma Winayang Reka yang
berarti: terbuka pintu, terwujudnya karya cipta. Adapun maksud dari kata-kata
tersebut adalah bahwa Kadipaten Pakualaman merupakan zona kehidupan yang
memiliki kedalaman pemikiran filosofis. Memasuki Pura Pakualaman diartikan
sebagai modal awal untuk menuju ranah pemikiran yang mendalam.
Selain itu, di sisi timur regol juga terdapat cermin besar dan di
sampingnya terdapat tulisan dalam huruf Jawa berbunyi Engeta Angga Pribadi yang maknanya adalah bahwa sebelum memasuki
dunia pemikiran, manusia harus mawas diri. Demikian pula di sisi barat regol terdapat cermin besar dan tulisan
dalam hurup Jawa yang berbunyi Guna Titi
Purun yang maknanya adalah kemampuan, kecermatan, dan kehendak. Makna dari
kata-kata tersebut adalah bahwa Kadipaten Pakualaman merupakan kawasan dengan
etos kerja tinggi serta merupakan kawasan dengan pemikiran yang rasional. Benda
lain yang masih dapat ditemukan hingga saat ini adalah lonceng atau genta
sebagai penanda waktu yang terletak di sisi barat regol. Keberadaan lonceng penanda waktu menunjukkan bahwa Pura
Pakualaman merupakan kawasan yang memiliki sifat menghargai waktu untuk bekerja
dan beribadah kepada Tuhan (Baskara, et al. 2007:20-21).
Di kiri dan kanan Regol Danawara terdapat bangunan panjang
(mengelilingi Kadipaten Pakualaman) beratap limasan dengan emper sebelah (bagian utara/ dalam) bangunan di sebelah barat regol disebut sebagian sayap barat dan
bangunan di sebelah timur regol
disebut dengan sayap timur. Kata Danawara
terdapat di sisi pada barat regol
yang aslinya berbunyi “Ing Danawara”.
Bangunan yang merupakan sayap barat dulunya
berfungsi sebagai tempat kendaraan. Di salah satu bagian dari sayap barat
terdapat pintu besar yang merupakan jalan keluar kendaraan. Meskipun pintu
tersebut masih ada hingga sekarang tetapi sudah tidak lagi digunakan sebagai
akses. Beberapa ruang di sayap barat pada awalnya merupakan ruang kantor Kas
Negeri dan Keprajan Kadipaten Pakualaman dan pernah digunakan sebagai Kantor
Inspektorat Wilayah DIY serta balai sidang. Sekarang ruang-ruang tersebut
digunakan untuk kantor. Di bagian utara dari bangunan sayap barat dari awal
hingga sekarang dipakai sebagai ruang, Perpustakaan atau Kapujanggan.
Adapaun bangunan sayap timur dahulu dipakai sebagai ruang
untuk menahan pesakitan dan pernah dipakai sebagai kantor polisi, poliklinik
penyakit kulit, dan sekolah. Sekarang dipakai sebagai kantor. Adapun sebagian
dari ruang di sayap timur saat ini digunakan sebagai museum Kadipaten
Pakualaman dan ruang pameran (Albiladiyah, 1985:37).
d. Taman di
Kadipaten Pakualaman
Gambar 5. Taman di Kadipaten Pakualaman. (Foto: Indra Rukmana, 12
November 2013).
Taman merupakan sebuah areal yang berisikan komponen
material keras dan lunak yang saling mendukung satu sama lainnya yang sengaja
direncanakan dan dibuat oleh manusia dalam kegunaanya sebagai tempat penyegar
dalam dan luar ruangan. Taman dapat dibagi dalam taman
alami
dan taman
buatan, sedangkan yang terdapat di Kadipaten
Pakualaman yakni taman buatan yang di sengaja.
Setelah melewati pintu gerbang (Regol Danawara) maka yang pertama kali
ditemukan di area Kadipaten Pakulaman adalah taman yang cukup luas dan memberi
kesan lega. Dari kejauhan taman, terlihat suatu banguan yang disebut Pendapa Sewatama, dari taman itulah maka
Pendapa Sewatama terlihat bangunan yang menampakkan kesan agung suatu
kerajaan. Persis di sebelah utara pintu
gerbang (Regol Danawara) terdapat
sebuah taman dengan bentuk segitiga dengan kolam berbentuk lingkaran di
tengahnya. Pada taman tersebut terdapat beberapa patung, antara lain patung Ganesha. Makna dari patung Ganesha dikenal sebagai dewa pengusir
segala rintangan dan dewa keberhasilan. Di samping itu, Ganesha juga dikenal sebagai dewa pelindung kesenian dan ilmu
pengetahuan, dewa kecerdasan dan kebijaksanaan. Di Kadipaten Pakualaman arca Ganesha terdapat di sisi timur pintu
gerbang bagian dalam.
Desain dari taman berbentuk segitiga
dimaksudkan untuk membelokkan lalu lintas agar dari Regol Danawara tidak lurus langsung ke arah bangunan utama. Dalam
arsitektur Jawa dikenal sumbu simentris, namun jalur akses langsung ke bangunan
utama harus dihindari karena memiliki makna tersirat tidak baik apabila
mendirikan bangunan tepat pada ujung pangkal pertigaan (menghindari tusuk sate). Dengan adanya taman berbentuk
segitiga tersebut lalu lintas yang masuk ke dalam Kadipaten Pakualaman akan
berbelok ke kiri lebih dahulu sebelum dapat mengakses bangunan-bangunan utama
di Kadipaten Pakualaman.
e.
Pendapa/bangsal Sewatama
Gambar 6. Pendapa/bangsal Sewatama.
(Foto: M. Tahdian Noor, 16 November 2013).
Pendopo
merupakan bagian dari sebuah rumah tradisional Jawa yang mempunyai arti
penting, selain karena letaknya yang terdapat pada bagian paling depan dari
sebuah rumah tinggal, fungsi sebuah pendopo adalah tempat untuk bersosialisasi
dengan keluarga, kerabat maupun tetangga, demikian juga sebuah pendopo tidak hanya
sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna yang lebih dalam yakni
mengaktualisasi satu bentuk kerukunan antara si penghuni dengan masyarakat
sekitarnya/kerabatnya. Dalam era globalisasi ada satu pergeseran dalam makna,
fungsi maupun bentuk dari sebuah pendopo, walaupun eksistensi/kehadiran dari
pendopo tersebut masih tetap diakui dan dibutuhkan.
Bangsal Sewatama merupakan atau bangunan terbuka yang dalam rumah
tradisional Jawa termasuk dalam bangunan publik yang biasanya dipakai untuk
pegelaran kesenian tradisional. Bangsal Sewatama
merupakan bangunan besar dengan atap limasan berjajar tiga membujur arah utara
selatan. Dalam khasanahnya arsitektur tradisional Jawa, bangunan dengan bentuk
atap seperti itu di sebut dengan istilah tri-denta.
Pada bangunan ini terdapat tiga emperan di sisi barat, selatan dan timur yang
menurut khasanah arsitektur tradisional Jawa dikenal dengan istilah gajah njerum (gajah tengkurap).
Dikarenakan bangunan bangsal Sewatama ini cukup besar di satu sisi
dan keterbatasan dimensi kayu struktur utama di sisi lain, maka diperlukan
kolom penyangga yang cukup banyak. Jumlah kolom pada bangunan utama ada 5 (di
sisi barat dan timur), namun sebenarnya ada satu lagi yaitu yang berada di
sisi paling utara. Akan tetapi,
keberadaan kolom paling utara digantikan oleh dinding dari Gedhong Srikaya dan
Ghedong Cina. Kondisi demikian (ada lebih dari 5 kolom), dalam khasanah
arsitektur tradisional Jawa bangunan Bangsal Sewatama ini dikenal dengan klabang
nyander. Sehingga secara keseluruhan banguan bangsal Sewatama ini dapat disebut sebagai bangunan Tri-denta gajah njerum klabang nyander, (Hamzuri:1980).
Meskipun secara umum bangunan Bangsal Sewatama
ini terlihat megah, namun elemen-elemen bangunannya dirancang sangat sederhana.
Pada kolom misalnya, tidak terdapat hiasan berbentuk praban (yang terdapat pada bangunan-bangunan di Kraton Kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat). Konon hal ini disengaja sebagai pengakuan dan
penghormatan keberadaan Kraton Yogyakarta.
Bangsal Sewatama merupakan bangunan yang relatif baru. Bangunan yang ada
sekarang ini merupakan bangunan baru, menggantikan bangunan lama yang roboh akibat
gempa bumi hebat yang terjadi pada tanggal 10 juni 1867. Kayu jati yang
dipergunakan untuk menggantikan kayu yang rusak akibat gempa itu merupakan
bantuan dari Mangkunegoro IV. Bangunan lama yang roboh dimensinya lebih kecil
dan berbentuk joglo. Untuk mengenang dan mengabadikan bangunan lama yang roboh
maka empat saka guru beserta dengan uleng berukir-nya dan saat ini didirikan
di bagian utara dari bangsal Sewatama.
Bangsal
Sewatama saat ini dimanfaatkan untuk
menerima tamu-tamu resmi dalam jumlah besar. Pada kesempatan tertentu bangsal
Sewatama digunakan untuk acara-acara yang sifatnya umum seperti seminar dan
rapat. Selain dari pada itu, bangsal ini sering di pakai pertunjukan tari-tari
khas Kadipaten Pakualaman serta acara prosesi upacara-upacara adat Pakualaman.
f. Gedhong
Purwaretna
Gambar 6. Ghedhong Purwaretno. (Foto : M. Rafiq, 16 November 2013).
Bangunan
yang terletak di sebelah kiri Bangsal Sewatama itu berdiri
megah dengan behiaskan ukiran krawangan (ukiran tembus
pandang). Keberadaan bangunan berarsitektur timur ini merupakan cerminan jiwa
pimpinan wangsa Pakualaman dalam menanggapi datangnya pengaruh modern pada awal
abad 20.
Meskipun
seluruh komplek bangunan di Kadipaten Pakualaman pada umumnya simetris, namun
di sisi timur Bangsal Sewatama terdapat bangunan Gedhong Purwaretna yang membuat kesan menjadi tidak simetris.
Bangunan yang sangat indah tersebut dibangun pada masa Paku Alam VII dibantu
oleh Paku Buwono X sebagai mertuanya. Di Gedhong
Purwaretno inilah Paku Buwono X tinggal apabila sedang berkunjung ke
Kadipaten Pakualaman. Bangunan Gedhong
Purwaretna ini dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu tembus pandang (krawangan)
dengan motif ornamen lengkung-lengkung dan sangat dipengaruhi oleh arsitektur
Islam dari daerah Timur Tengah.
Makna
yang tersurat dari bangunan ini yaitu di peruntukan untuk Paku Buwono X karena
Paku Alam VII sebagai menantu yang patuh terhadap mertuanya. Selain dari pada
itu, apabila Paku Buwono X berkunjung ke Kadipaten Pakualaman bisa mencapai
setengah tahun (6 bulan) dan apabila berkunjung membawa penari, alat musik
gamelan, dan peralatan pribadi Paku Buwono X (Rimawan). Saat ini Gedhong Purwaretna sering di pergunakan
sebagai tempat pertemuan dan kegiatan oleh Kadipaten Pakualaman.
g. Masjid
Besar Pakualaman
Gambar 7.
Masjid Besar Pakualaman. (Foto: Indra Rukmana, 12 November 2013).
Masjid
atau mesjid adalah rumah tempat
ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil
juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga
merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari
besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan
di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam
aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran (http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid).
Di
sekitar kompleks Kadipaten Pakualaman, tepatnya di sudut barat laut alun-alun Sewandanan,
terdapat sebuah Masjid. Pada prasasti di sebelah utara tertoreh sengkalan:
Pandhita Obah Sabda Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1767 (1839
Masehi). Namun, pada prasasti di sebelah selatan tertoreh sengkalan: Gunaning
Pujangga Sapta Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1783 (1855 Masehi).
Sampai sekarang masih diperdebatkan, tahun mana yang merupakan tahun pendirian
Masjid tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kadipaten
Pakualaman sebagai istana saat ini berfungsi sebagai pusat kajian kebudayaan
dan menjadi orientasi nilai-nilai, maka hal-hal yang positif seperti terus
menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendahulunya di
satu sisi, dan di sisi lain sekaligus menjadi bukti keterbukaan keluarga
Kadipaten Pakulaman terhadap hal-hal dan juga nilai-nilai yang sifatnya baru.
Karena membutuhkan pengawalan yang lebih kuat di masa mendatang agar Kadipaten Pakualaman
tidak hilang dan tinggal menjadi cerita, namun sebaliknya Kadipaten Pakualaman
masih terus eksis dan dapat terus “bercerita” tentang kehidupan yang
melewatinya.
Istana Pakualaman atau lebih dikenal dengan Puro
Pakualamanan berada di Jalan Sultan Agung, 2 km arah timur dari Kantor Pos
Besar. Istana ini adalah milik Kadipaten Pakualaman. Istana ini pada awalnya adalah milik Pangeran
Notokusumo, putra Sultan Hamengku Buwono I dan Ratu Srenggorowati yang dilantik
oleh Gubernur Jenderal Belanda Sir Thomas Raffles pada tanggal 17 Maret 1813
dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam I. Sebelunya
pada bulan Juni Pangeran Notokusuma disebut Pangeran Merdiko sesuai dengan
permohonan Sultan Hamengku Buwono II. Wilayah Kadipaten Pakualaman terdiri dari
4.000 cacah di wilayah Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan terletak di
antara sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto. Wilayah istana
menunjukkan pusat kekuatan budaya Jawa, dan arsitektur dari Kadipaten
Pakualaman adalah dibuat oleh KGPAA Paku Alam I sendiri yang memang ahli di
bidang budaya dan sastra.
Secara
simbolis Kadipaten Pakualaman jelas sebagai kerajaan yang dipimpin oleh seorang
raja dalam hal ini Adipati. Sedangkan memaknai Kadipaten Pakualaman sebagai
sebuah sistem patrilineal atau patrilineal descent yang menghitung
kekerabatan melalui pria saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap
individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas
hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di luas
batas itu.
B.
Saran
Kadipaten
Pakulaman memiliki bangunan seperti pintu gerbang utama yang disebut Regol
Danawara, Pendapa/Bangsal Sewatama, Ghedong Purwaretna, Masjid Besar Kadipaten
Pakualaman. Taman dan Alun-Alun Sewandanan sebagai satu bagian utuh dari
Kadipaten Pakulaman.
Untuk
mempertahakan kontinuitas dan keberadaan Kadipaten Pakualaman, maka perlu
dilakukan koordinasi yang serius dari pihak baik pemerintah daerah, swasta,
seniman, pemerhati seni dan budaya serta masyarakat itu sendiri agar Kadipaten
Pakualaman dapat dikenal oleh masyarakat luas dan masyarakatnya tentang makna
dan simbol. Mengingat Kadipaten Pakualaman merupakan sebagai kerajaan dan sebagai
identitas masyarakat di daerah Istimewa Yogyakarta.
Beberapa
hal yang dapat dijadikan alternatif dalam upaya menjadikan tiap-tiap simbol
yang ada di Kadipaten Pakualaman memiliki makna agar masyarakat luas mengerti
tentang kerajaan tersebut. Hal yang dapat diperhatikan yaitu sebagai berikut:
(1) membuat dokumentasi audio visual dan tertulis secara terperinci dan
menyebarkan hasilnya ke lembaga-lembaga pendidikan, kesenian dan kebudayaan,
adat, masyarakat, dan instansi pemerintah; (2) memasukkan sebagai mata
pelajaran muatan lokal atau ekstra kurikuler di semua tingkat pendidikan.
KEPUSTAKAAN
A. Sumber
Tercetak
Berger,
Asa Arthur. “Pengantar Semiotika Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer”,
dalam M. Dwi Marianto, ed., Signs in
Contemporary Culture: An Itroduction to Semiotics (1984). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa.Yogyakarta: Ombak, 2008.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1974.
Kusmayati,
Hermien dan Kawan-Kawan. Warnasari Sistem
Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Jakarta: Trah Pakualaman Hudyana,
2012.
Moejanto,
G. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Retnoningsih, Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2012.
B.
Data Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid,
di akses tanggal 26 November 2013 jam 15.30 WIB.
http://erbinabaroes.wordpress.com/2013/06/24/arti-warna-dalam-ilmu-psikologi-lalu-apa-warna-kepribadianmu/,
di akses tanggal 2 November 20.00 WIB.
http://lotusflowerwnm.blogspot.com/2009/08/makna-bunga-teratai.html,
di akses tanggal 20 November 2013 Jam 9.00 WIB.
C.
Nara Sumber
Ir.
Rimawan (M.W. Sestrudirjo), Stap Sekretariatan Kadipaten Pakualaman, Minggiran,
Jogya, Tokoh Adat Kadipaten Pakualaman.
Wiwit
Wahyudi (MB Wirotomo), Wirausaha, Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman
Eko
Wahyudi (MB Wirodromo), Wirausaha, Gedong Kuning, Jogya, Abdi Dalem Kadipaten
Pakualaman
Artikel terkait menghadapa keselatanya Istana Oakualamn adalah symbol penghormatan kepada Kraton Jogyakarta, perlu di telaa apa dasar dari stement ini.
BalasHapusSetahu saya karena Paku Alam tahu diri. Bagaimanapun, Paku Alam adalah keturunan Sultan Yogya 'kan?
Hapus