Selasa, 24 Maret 2015

Tony Broer



AKU DAN TUBUH; AKU DAN RUANG PRIBADI[1]

Oleh: Tony Broer[2]
Aku dan Ruang Bersama.
Namaku Tony Supartono, S.Sn, M.Sn. Tapi aku punya panggilan nama panggung: Tony Broer. Aku dilahirkan di Jakarta, 11 Juni 1966. Pendidikan Seni formal yang kujalani adalah: A.Md. Keaktoran di ASTI Bandung, S1 Penyutradaraan di STSI Bandung, S2 Penciptaan Teater di Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan judul karya: Badaya Tubuh Badaya, dan sekarang masih dalam proses penyelesaian program S3 Penciptaan Teater di Pascasarjana ISI Yogyakarta dengan judul disertasi: Tubuh Kata Tubuh.
Proses teaterku berawal di lingkungan Sekolah Tinggi Seni lndonesia (STSI) Bandung, khususnya pada Kelompok Teater Payung Hitam (KPH) Bandung. Kurang lebih sudah 30 naskah dalam dan luar negeri kumainkan. Di kelompok ini proses belajar teater tidak hanya di bidang keaktoran dan penyutradaraan, melainkan juga pada proses pembuatan artistik dan produksi teater secara luas: semua aktifitas dalam lahirnya sebuah produksi teater dimasuki dengan serius.
Salah satu permainan keaktoranku yang banyak dipuji orang dan diakui oleh media masa Bandung dan di luar Bandung adalah keaktoran dalam pertunjukan Kaspar, karya Peter Handke. Dalam pertunjukan pada tahun 1994 itu, aku bermain sebagai tokoh Kaspar. Dari sinilah kemudian namaku mulai diperhitungkan sebagai aktor, khususnya di Bandung. Periode proses ruang bersama ini kujalani mulai tahun 1987 sampai 1990-an. 
Aku dan Proses Kolaborasi Internasional
Dari proses berteater di lingkungan STSI Bandung dan KPH Bandung, aku kemudian melangkah untuk berproses bersama dengan kelompok teater luar negeri, baik dengan pementasan yang memakai teks (tertulis), maupun dengan pementasan yang mengunakan tubuh sebagai teks. Beberapa kelompok teater luar negeri di mana aku pernah terlibat berproses bersama adalah: Black Swan Theatre–Australia, RinKogun Theatre Company–Japan dan Gekidan Kaitasha–Japan.
Beberapa karya lahir dalam proses kolaborasi ini, yang periodenya berlangsung sejak tahun 1997 sampai sekarang. Selain tetap aktif di dalam negeri, aku juga terus aktif di dalam kolaborasi dengan kelompok teater dari luar itu, terutama dengan kelompok dari negara Jepang (Theatre Rinko-Gun Company dan Gekidan Kaitasha). Beberapa negara tempat proses kolaborasi itu berlangsung adalah Perth-Australia, Jepang, Kampnagel-Jerman, Brollin-Jerman dan Cardiff-UK Inggris.
Aku dan Pertemuan dengan Ruang  Butoh
Pergulatannya dengan seni teater terus memacu semangatku untuk mengenal bentuk-bentuk seni pertunjukan lainnya. Tidak saja yang ada di lndonesia, aku juga terus mencari referensi-referensi tentang seni pertunjukan dunia dan akhirnya menemukan satu bentuk seni pertunjukan Butoh yang berasal dari Jepang. Proses berkesenianku pun kemudian dimulai kembali dengan mengenal dua nama master Butoh yaitu: Kazuo Ohno dan Tatsumi Hiiikata melalui buku.
Proses mengikuti workshop Butoh kujalani pertama kali di STSI Bandung, kerjasama Japan Foundation Jakarta pada tahun 1999, oleh Yukio Waguri dari kelompok Butoh Kohzensha. Kemudian, pada tahun 2001 aku diundang oleh Japan Foundation Jakarta untuk mengikuti workshop Butoh di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), masih dengan pemateri Yukio Waguri. Perkenalanku dengan Yukio terus berlanjut sampai akhirnya aku berkenalan dengan tokoh besar Butoh, yakni Kazuo Ohno. 
PadaTahun 2002 sampai 2003, aku mendapatkan beasiswa dari Bunka-Cho untuk belajar Seni Tradisi dan Seni Modern di Jepang. Selama proses belajar di Jepang ini, aku berkenalan dengan beberapa tokoh Butoh dan sempat mengikuti workshop di beberapa studio Butoh yang ada di Jepang seperti: Butoh Kohzensha pimpinan Yukio Waguri (dikenal sebagai aliran Butoh Tatsumi Hijikata), Butoh Dance Sankai Juku pimpinan Amagatsu Ushio dan Semimaru, Butoh Dairakudakan pimpinan Maro Akaji, dan Asbestos Tatsumi Hijikata pimpinan Akiko Motofuji (isteri Tatsumi Hijikata).
Proses belajar Butoh lebih banyak akhirnya kuperoleh pula dari Kazuo Ohno Dance Studio pimpinan Kazuo Ohno, dengan proses latihan langsung dibimbing oleh Kazuo Ohno (96 tahun) sendiri, dan putranya yaitu Yoshito Ohno. Selain belajar Butoh, aku juga berkesempatan mengikuti proses latihan Metoda Suzuki dari kelompok SCOT (Suzuki Company of Toga) pimpinan Tadashi Suzuki, di samping juga belajar Kesenian Tradisi Jepang, yaitu Noh dari aliran Kongo pimpinan Sumio Yamada.
Aku dan ‘Monolog Tubuh’
Namun sejak periode tahun 1990-an aku sebenarnya juga telah memasuki masa-masa pada ruang pribadi, di mana aku memasuki latihan-latihan yang dilakukan hanya sendiri dengan jadwal yang ketat dan mencoba belajar pada ketekunan diri sendiri.  Proses inilah yang akhirnya mengarahkan pilihanku pada teater di mana tubuh menjadi media utama yang dieksplor untuk latihan-latihan ruang pribadi. Latihan-latihan tubuh yang terus kulakukan, bagiku merupakan sebuah kewajiban dari proses ruang pribadi yang kujalani itu.
Tahun 2005 sampai sekarang aku mencoba menyutradarai dan sekaligus sebagai pemain dalam Ruang Tubuh (wadah yang terbentuk secara tidak formal dari teman-teman teater dan disiplin ilmu seni yang lain yang berlatih bersama), yang mengambil tubuh sebagai eksplorasi utama keaktoran. Kematangan dari tubuh pribadi menjadi prioritas hasil dari latihan bersama ini. Untuk memperlihatkan hasil-hasil dari eksplorasi yang dilakukan terus menerus itu, maka lahirlah nomor-nomor tubuh, yang kalau dipentaskan bisa disebut ‘Monolog Tubuh’ (dengan pengertian pementasan dengan teks tubuh yang diucapkan oleh seorang aktor).
Karya–karya dari ‘Monolog Tubuh’ ini yang telah dipentaskan antara lain: Activity I dan  Activity II, karya Tony Broer, yang dipentaskan di Jepang (kolaborasi dengan aktor-aktor dari Theatre Rinko–gun Company), Pita Terakhir, karya Samuel Beckett dan Tubuh Lahir Tubuh Perang, karya Tony Broer.  Dari ‘Monolog Tubuh” ini pula, mulai tahun 2007, aku mencoba akting pada Film TV Lepas, Film Layar Lebar juga TV Komersil (iklan). Selain pentas ‘Monolog Tubuh’ juga membuatku mempunyai kesempatan untuk memberikan workshop ‘Tubuh Aktor’, yang sudah diadakan di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Serang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Padangpanjang, Makasar (Palopo), Semarang dan  Madura (Sumenep).
Aku dengan Tubuh  Kata Tubuh
Proses pertemuan dengan O3, sebuah wadah kreatif anak muda Yogya, melahirkan program dengan nama “Tubuh Kata Tubuh,” yang isinya adalah kolaborasi antara fotografer dengan aktor. Aktor di sini mengeluarkan tubuhnya sebagai esensi, dan fotografer mencoba menangkap esensi tubuh itu sendiri, yang diharapkan akan melahirkan impresi baru dari hasil karya fotonya.
Bentuk dari program ini, disuguhkan layaknya pentas teater tapi dengan satu kekhususan, yaitu penontonnya adalah mata kamera dari fotografer-fotografer yang terlibat sebagai peserta dalam program ini. Dalam proses ini, teknik foto pun dikembangkan dengan berbagai kemungkinan saat menangkap objek yang bergerak dalam pementasan. Hasil dari setiap proses pemotretan kemudian bisa diolah atau tidak, sementara semua teknik yang sudah ada atau yang masih dicoba terus dilakukan pada event ini. Program ini dilaksanakan dari akhir tahun 2008 sampai akhir tahun 2009, dengan 4 event pentas (in door dan out door). Karya yang lahir pada proses ini adalah, Tubuh Ruang Meja, Tubuh Sensual, Tubuh Bumi dan Tubuh Perang. Program dengan O3 ini juga melahirkan buku dengan judul Tubuh Buku, berisi tentang tubuh teater dalam mata kamera para fotografer.
Tahun 2010 proses ruang pribadiku terus dikembangkan, dengan mencoba menjadikan “Tubuh Kata Tubuh” sebagai sebuah metoda latihan yang bisa digunakan oleh semua orang. Tujuannya, untuk menyadarkan orang pada narasi tubuhnya. Selama tahun 2010 juga, dari hasil mencoba metode ini lahir 6 nomor Tubuh Jalan, yang rencana akan dijadikan buku kembali.
Tahun 2011, aku masuk di Pascasarjana ISI Yogyakarta untuk mengambil Program Doktoral Penciptaan Teater, yang sampai sekarang sedang kujalani dan memasuki tahapan untuk menyelesaikan ujian akhir. Dalam bingkai pengembangan metode itu, tahun 2012 aku terlibat sebagai aktor dalam kolaborasi 5 negara (Indonesia, Jepang, Cina, Korea, Inggris), memainkan naskah Yaneura (Loteng), karya/sutradara Yoji Sakate bersama Rinko-Gun Theatre Company, Jepang. Selama tahun 2013, aku melakukan proses riset-pelatihan dari metoda ‘Tubuh Kata Tubuh’ dengan mengadakan workshop di beberapa kota.
Tahun 2014 pada bulan Agustus s/d Desember, aku mendapat program Sandwich-Like DIKTI, untuk riset/penelitian tentang teater fisikal dan Butoh di kota Osaka (Osaka City University) dan kota Tokyo. Tanggal 18 Oktober 2014, aku berpentas bersama Gekidan Kaitaisha di Gedung Shakespeare–Meisei University, Tokyo, membawakan adaptasi naskah Machbett, karya Shakespeare. Selama bulan November-Desember 2014, aku mengikuti latihan di Studio Dance Kazuo Ohno, bersamaYoshito Ohno.
Tahun 2015 ini, yakni pada tanggal 15 Januari lalu, aku membawakan pentas tubuh Sebuah Mimpi Boneka dalam pameran tunggal Franziska Frennet di Sangkring Art–Yogyakarta. Tahun 2015 ini pula, pada bulan Februari, aku memberikan materi Workshop Tubuh di dua peristiwa. Workshop pertama di Teater Camus di Jakarta, yang hasil workshopnya dipentaskan di halaman kampus, dan kemudian di Taman Budaya Kalimantan Selatan dengan 13 komunitas teater, yang hasil workshopnya dipentaskan di jalan dan panggung.
Aku, Teater Dan Tubuh
Dari seluruh proses keaktoranku, aku mahami bahwa tubuh berperan sentral dalam eksistensi individu dan menjadi simbol yang bersifat publik untuk menggali kemampuan memahami, mengetahui dan mempersepsi suatu objek, ruang dan waktu. Tujuan keberadaan tubuh manusia adalah untuk menghadirkan waktu eksistensial manusia, termasuk juga keleluasan tubuh dan pikirannya.
Akan tetapi, di tengah dunia yang kian dibingkai oleh idealitas citra dan sensasi konsumsi, akal sehat publik dibekukan oleh logika komoditas. Hal itu telah menciptakan penataan ulang citra dan sistem tanda bersama, yang menyajikan fantasi dan dorongan-dorongan individual yang seolah-olah bebas diekspresikan. Menurutku, manusia yang bergerak pada sistem tanda itu bergerak bersama bukan sebagai kesatuan koheren, tetapi sebagai gerombolan yang akhirnya melahirkan manusia gerombolan: Manusia yang tanpa refleksi.
Tubuh bayang-bayang dari kebertubuhan manusia urban, pada akhirnya kian kehilangan bentuknya karena kehilangan bayangannya sendiri. Tubuh-tubuh manusia urban adalah tubuh yang berusaha menghilangkan sejarahnya masing-masing: Tubuh-tubuh masyarakat kota yang plural dan terkurung dalam instalasi wilayah yang terbatas, sehingga harus berkompromi dengan banyak hal. Selain itu, tubuh-tubuh yang memiliki identitas bawaan itu, kerap dikaburkan secara paksa demi memenuhi standar seperti pola yang disetujui bersama. Hal ini adalah salah satu bentuk pernyataan berkedok yang memang menjadi ciri manusia urban dalam mengembangkan sejumlah motif psikologis baru untuk mempertahankan eksistensi diri dalam kehidupan sehari-hari.
Menyikapi fenomena ini, aku merasa diperlukan semacam interogasi yang akan mengungkap meta-narasi dari kehidupan dan pola-pola yang telah diciptakan untuk menunjukan situasi dan keberadaan kongkret manusia urban. Interogasi menjadi suatu “intensionalitas” yang aku pilih sebagai salah satu cara membuka diri pada kemungkinan penjelajahan teater terhadap ruang konsentrasinya. Interogasi artistik dari tubuh adalah strategi agar tetap menjadikan diri sebagai individu, di tengah penyangkalan peran individu dalam kondisi manusia urban yang menggunakan logika “gerombolan”. Sebuah interogasi yang tetap memproduksi ekspresi-ekspresi artistik yang mengubah ruang ilusi dan ruang transaksional menjadi ruang nilai dan makna: Ruang yang menguji kembali normalitas dengan menyatakan abnormalitasnya, dan mempertanyakan kelaziman dengan menghadirkan ketidaklazimannya.
Program Interogasi Tubuh Urban untuk menemukan Meta-narasi Ruang Publik adalah sebuah program pementasan teater berupa pertunjukan di ruang publik yang menjadi tempat berkumpul manusia-manusia urban, seperti halte, taman kota, stasiun bis, pusat perbelanjaan, jalan raya, dan lain-lain. Pertunjukan yang mengambil ruang publik sebagai panggung pertunjukan, sekaligus untuk melihat secara langsung respon dari masyarakat yang menyaksikan ketika tubuh-tubuh urban kembali dihadirkan kepada mereka.
Interogasi tubuh di ruang publik, akhirnya akan menciptakan komunikasi yang jujur antara aktor dan apresiatornya. Manusia urban sebagai objek dari pertunjukan ini tentu akan memberikan respon alami dari apa yang disajikan dalam pertunjukan ini. Hal inilah yang akhirnya menurutku akan dapat mengungkap pernyataan tentang konflik tersembunyi manusia urban yang mungkin tidak disadari. Logika dan pola yang mereka terima sekaligus terapkan selama ini, akan kembali diusik untuk dipertanyakan oleh mereka sendiri. Cara ini aku tempuh sebagai upaya untuk “menggangu” konstruksi nalar mereka dan diriku sendiri, sesuatu yang sudah tertanam dan disepakati bersama, untuk“menyingkap” identitas dan realitas yang disembunyikan. Proses ini aku maksudkan untuk menciptakan atau menimbulkan daya tarik epistemik dan estetik sekaligus.
Yogyakarta, 3 / 3 /20 15 / Selasa


[1] Bahan untuk Serial Diskusi REPERTOAR #2, Prodi PSPSR-UGM, Jumat 6 Maret 2015
[2] Aktor Tubuh, Mahasiswa Program Doktoral Penciptaan Teater Pascasarjana ISI Yogyakarta