Kamis, 01 Mei 2014

SUDUT PANDANG PORNOGRAFI DALAM MUSIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Seni menurut penulis adalah karya yang diciptakan dengan keahlian luar biasa dan kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam suatu kebebasan berekpresi. Akan tetapi, pada masa kemunculannya artis dangdut Inul Daratista, akhirnya kebesasan dalam berseni sekarang untuk para pelaku seni harus sangat berhati-hati agar tidak terkena undang-undang pornografi yang telah di bentuk pada tahun 2008. Karena pada masa itu Inul Daratista menyajikan pertunjukan yang menurut pandangan masyarakat akan mengundang aksi suatu pertunjukan yang mengarah ke porno aksi. Dengan banyak perdebatan dan pembincangan akhirnya para dewan perwakilan rakyat republik Indonesia membentuk undang-undang pornografi, agar masyarakat Indonesia tidak melakukan pornografi dan pornoaksi.
            Pada masa itu topik seni dan pornografi semakin hari semakin hangat saja dibicarakan bahkan tidak sedikit mengundang pro dan kontra bagi orang yang membahas tentang hal tersebut, apalagi pembahasan tentang pertunjukan-pertnjukan para biduan-biduan yang sering di tampilkan pada panggung hiburan. Bagi masyarakat Indonesia yang memiliki lebih dari 300 ragam suku dan etnis, 742 bahasa (dialek), budaya dan agama, situasi ini menjadikan sebuah pembicaraan yang hangat dan tak kunjung usai, apalagi dengan adanya aturan baru pemerintah yang secara khusus mengatur tentang pornografi dan pornoaksi, yang semakin menciptakan keseriusan bagi setiap kalangan terkhusus para pelaku seni untuk semakin berhati-hati dalam berkarya seni dan mempertunjukan suatu pertunjukan.
Berdasarkan kenyataan yang sebenarnya pornografi sendiri sebenarnya mempunyai sudut pandang yang sangat dengan berbeda seni, namun cenderung banyak kalangan termasuk para pemangku kebijakan di negara ini, tidak paham dengan perbedaan dua kata tersebut. Sehingga ada kesan yang menyetarakan seni dengan pornografi itu sendiri. Hal ini yang sebenarnya ditolak oleh para pelaku seni, kekeliuran dalam memahami serta mengeneralisasi bahkan menjustifikasikan seni dengan pornografi atau sebaliknya, merupakan sikap yang sangat tidak teoritis dan mendasar. Sehingga apa yang menjadi kekeliuran ini telah menciptakan perluasan masalah yang pada akhirnya menjadi penghambat seniman dalam berkarya.
Pornografi secara etimologi berarti tempat untuk mengiklankan kegiatan prostitusi, atau secara harafiah pornografi diartikan sebagai tulisan tentang pelacur atau pelacuran. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan porno adalah suatu kegiatan cabul; jorok, sedangkan pornografi diartikan sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan/tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Dua defenisi tersebut memberi gambaran umum bahwa pornografi adalah sebuah pengeksplisitan tentang persetubuhan, ketelanjangan serta unsur-unsur yang memuat adanya kecabulan secara sengaja dan dianggap memiliki nilai-nilai yang tidak etis.
Pemahaman akan unsur-unsur pornografi dalam aspek seni harus di cermati dengan benar. Terlebih bila mengaitkannya dengan seni musik, musik sendiri dapat di artikan suatu nada atau suara yg disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian). Secara teoritis dan mendasar musik merupakan seni yang bersumber dari bunyi-bunyian (audio).  Namun hal tersebut tidak serta merta dapat bebas dari kaitannya dengan pornografi. Sekilas teringat pada dua tahun sebelum 2014, banyak dari beberapa lagu yang beredar di Indonesia dan dicekal oleh pemerintah Indonesia karena mempunyai unsur-unsur yang berbau cabul seperti lagu Julia Peres yang berjudul “senang 69”. Pencekalan-pencekalan tersebut semakin membuat pelaku seni berpikir keras dan kritis, sebatas mana wilayah-wilayah yang dikategorikan dengan cabul oleh pemerintah Indonesia yang telah di bentuk oleh Undang-undang. Karena banyak para pelaku seni yang belum mengerti seni yang bagaimana bisa disebut pornografi.

B. Persoalan/permasalahan
            Melihat serta mengamati penomena yang di bahas pada latar belakang sangat penting di rumuskan permasalah mengenai pornografi yang seperti apa di dalam seni. Adapun pertanyaannya bila secara defenisi pornografi selalu dikaitkan dengan bentuk visual. Berarti pertanyaannya.
ü  Apakah secara fungsi, struktural dan kegunaannya musik bisa dikaitkan dengan pornografi?
ü  Apakah dengan audio bisa menyampaikan nilai-nilai kecabulan?
ü  Apa yang dimaksud dengan cabul?
ü  Apakah dengan musik bisa mempengaruhi respon seseorang untuk birahi?
ü  Bagaimana dengan aturan-aturan pemerintah Indonesia yang mengatur tentang pornografi maupun aksi dalam tatanan seni musik?

BAB II
MANEJEMEN SENI PERTUNJUKAN

A. Manajemen Seni Pertunjukan.
            Bagi beberapa institusi seni, manajemen seni pertunjukan merupakan satu hal yang perlu dalam memperoduksi sebuah pertunjukan kesenian. Karena mau tak mau, meskipun sebagai bidang ilmu, muara dari musik itu sendiri adalah bagaimana memproduksi bunyi itu, baik dalam bentuk rekaman maupun dalam bentuk pertunjukan musik. Meskipun tidak terkait langsung dengan nilai-nilai komersil, yaitu dalam tataran seni untuk seni, namun suksesnya sebuah perhelatan atau pertunjukan musik membawa dampak kepuasan minimal bagi performer apabila sebuah produksi pertunjukan dilakukan dengan manajemen yang baik. Namun perkembangan selanjutnya, ketika musik terkait langsung dengan masalah nilai-nilai komersil, maka ia menjadi lebih atau ‘sangat’ perlu dikelola, dimenej, karena terkait dengan masalah dampak berikut atau selanjutnya, sehingga dapat memenuhi keinginan kesenian itu sendiri sekaligus bagi audien sebagai pasar dan bagi performernya yang dapat menghasilkan materi. Ini tentunya membutuhkan pemahaman yang baik tentang aspek teoritis maupun praktis.
            Bagaimana hal tersebut kita dapat dalam pengelolan seni pertunjukan? Barangkali dalam pengelolaan mata kuliah yang terkait dengan manajemen produksi atau manajemen seni pertunjukan, kita lebih sering mengemukakan contoh-contoh manajemen seni itu kepada seni pertunjukan yang sifatnya formal, besar, jelas tempat pertunjukannya, atau barangkali pertunjukan yang dapat dikatakan berskala besar. Padahal pengelolaan seni pertunjukan dalam skala kecil juga dalam ranah praktik keilmuan juga dapat kita temukan dalam keseharian, yang ada di lingkungan kita yang dapat direfleksikan juga pada skala besar, salah satu contohnya adalah pengamen. Pengamen adalah sebuah pementasan karya musik yang skalanya relatif kecil untuk merencanakan dan melaksanakan suatu pertunjukan musik dengan tempat pertunjukan dimana saja ada kesempatan yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan musiknya. Untuk melaksanakan pertunjukan musik, pengamen juga membutuhkan pemahaman aspek teoritis, pengenalan lapangan, pasar atau audiens, sehingga dapat dijadikan sebagai modal dalam kelancaran pelaksanaan pertunjukannya. Dalam hal ini pengamen tidak hanya dwi fungsi, yaitu terampil sebagai pekerja dan terampil sebagai pemain, tetapi lebih dari itu, pengamen akan merangkap sekaligus beberapa peranan. Artinya pengamen harus mampu sebagai (1) pemain atau pelaku (actor); (2) pembawa acara atau MC; (3) sebagai manajer; (4) sebagai tenaga pemasaran; (5) pelatih; dan (6) keuangan. Jika peranan-peranan itu dimainkan oleh pengamen solo sendirian, maka dapat dikatakan pengamen sebagai satuan terkecil manajemen seni pertunjukan.
            Dalam menjadikan dirinya terampil sebagai pekerja dan pemain, pengamen juga mengembangkan dirinya tergantung pada level mana yang hendak ia capai. Artinya pengamen juga mengembangkan berbagai strategi yang kadang cukup kreatif dan inovatif. Misalnya dalam pemilihan lagu-lagu yang hendak dibawakan, alat musik, dan berbagai hal yang terjadi di lapangan tempat ia ‘manggung’ yang sangat situasional. Dalam hal ini sangat dibutuhkan tingkat professional yang matang. Artinya unsur-unsur manajemennya sangat kental dan menarik untuk dicermati. Pemahaman ‘enam A’ (apa, mengapa, siapa, bilamana, dimana, dan bagaimana) meskipun tidak formal mereka dapatkan dari bangku sekolah, tetapi dalam praktiknya mereka terapkan dalam mengelola dirinya sebagai actor dan sekaligus manajer. Dalam prakteknya ada pengamen yang mampu mengimplementasikannya dalam pertunjukan keseniannya, yaitu sebagai penyelenggara dan sebagai pelaku.
            Pengamen dapat disebut sebagai satuan kecil seni pertunjukan, karena unsur-unsur manajerial ada disana meskipun dilakukan oleh hanya satu orang pelaku saja. Konsep manajemen seni sebenarnya adalah menganut konsep ilmu ekonomi, yaitu bagaimana mengatur dan menjalankan sebuah unit-unit kerja agar dapat berjalan dengan baik, efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Manajemen seni pertunjukan biasanya terkait dengan masalah efek balik, yaitu khususnya aspek pemasaran dan penggalangan dana, sehingga dari segi materi pertunjukan juga dapat dipertunjukkan dengan baik (feeder), yang akhirnya berimbas kepada masuknya dana, sehingga proses pertunjukan-pertunjukan selanjutnya dapat berlangsung tarus menerus. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola organisasi dan pertunjukan (musik).
            Hal-hal yang terkait dengan manajemen ini biasanya terkait dengan empat hal, yaitu yang biasa dalam manajemen dikenal dengan POAC, yaitu unsur-unsur Planing, Organizing, Actuiting, dan Controlling. Jika kita kaitkan dengan pengamen, maka mereka juga mempunyai keempat hal tersebut. Mereka mempunyai perencanaan meskipun terkadang perencanaan ini tidak kelihatan terlalu matang atau perencanaan jangka pendek, bahkan perencanaan sesaat saja. Namun ada beberpa pengemen juga yang mempunyai perencanaan matang ketika dia memutuskan diri menjadi pengamen. Jika dia memilih itu sebagai profesinya, maka sangat dituntut keprofesionalan, khususnya dalam merencanakan berbagai hal, baik masa pendek dan masa panjang.
            Pengamen juga mengorganisasikan dirinya dalam kegiatannya, khususnya manajemen diri sendiri jika itu dilakukan sendiri. Organisasi ini terkait dengan multi-peran yang ia miliki atau multi peran yang melekat pada dirinya sendiri. Dalam hal ini ia harus mampu mengorganisasikan dirinya dalam berbagai peran sekaligus. Dia harus mengetahui dirinya berperan sebagai apa dalam satu waktu. Ketika ia sebagai MC sebelum membawakan lagu misalnya, ia benar-benar tahu siapa audiensnya, dan pemilihan kata-kata apa yang tepat ia sampaikan sehingga memperoleh simpati atau setidaknya mengalihkan perhatian orang kepada pertunjukan yang bakal ia pertunjukkan dalam waktu berikutnya. Ketika ia melakukan pertunjukan ia juga mengerti bahwa saat itu ia sebagai performa atau artisnya. Dalam hal ini teknik-teknik vocal, bermain musik sekaligus, penguasaan panggung, ekspressi dan sebagainya benar-benar diterapkan. Demikian seterusnya ketika dalam waktu yang bersamaan dalam multi perannya tersebut. Dalam mengutip uang dari audiens biasanya, ia mengerti apa ia lakukan. Ini semuanya membutuhkan pengorganisasian peran agar berlangsung dengan baik, meskipun dalam skala yang paling kecil, yaitu diri sendiri.
            Hal sama juga ia lakukan untuk melihat bagaimana kemajuan (progress) dari pertunjukannya dari hari ke hari. Pengamen juga mempunyai goal setting. Dan goal setting ini tegantung kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok pengamen. Hal ini berpengaruh secara holistik bagi multi peran tadi, dan ini kelihatan dari prilaku pengamen itu sendiri. Goal setting mempengaruhi manjerialnya, dan saling terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu kontrol terhadap pencapaian dan keberhasilan menjadi bahan koreksi bagi pengembangan berbagai hal.

B. Seni Pertunjukan.
            Seni, dalam hal ini seni pertunjukan selama perjalanan sejarah memperlihatkan keragaman fungsi yang disandangnya. Beragam fungsi ini oleh R.M. Soedarsono dikelompokkan ke dalam tiga wilayah, yaitu 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Pemilahan ke dalam tiga wilayah ini berdasarkan kepentingan pengamat atau penontonnya.[1] Ketiga wilayah yang dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.
            Para peneliti dan ahli menengarai bahwa fungsi seni pertunjukan setidak-tidaknya sudah mulai dilekatkan di dalam keberadaannya pada waktu masyarakat mengenal peradaban bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi berpindah-pindah tempat untuk menemukan dan mengumpulkan makanan yang disediakan oleh alam. Waktu luang di sela-sela dan di antara bercocok tanam merupakan saat yang tepat untuk berkesenian. Di samping itu, kebutuhan dan harapan akan keselamatan serta kesejahteraan di dalam kehidupan membutuhkan kehadiran seni pertunjukan sebagai sarananya.
            Simbol-simbol mistis yang mewujud sebagai aspek-aspek seni pertunjukan ditampilkan untuk memuliakan arwah leluhur dan kekuatan alam yang disakralkan. Mantera yang diserukan, gerak yang ditarikan, pakaian dan rias yang dikenakan, perlengkapan yang digunakan, tempat dan waktu penyelenggaraan, serta warna-warni sesaji yang menyertai merupakan ungkapan kehendak komunitas yang melaksanakannya. Melodi yang disuarakan sebagaimana juga gerak-gerak yang ditarikan dan aspek-aspek pendukung bentuk yang disajikan bukan semata-mata ungkapan keindahan, tetapi lebih ditegakkan sebagai pilarpilar
kesakralan ritual.
            Penampilan seni pertunjukan dalam kesempatan demikian menjadi sarana upacara atau dapat juga merupakan upacara itu sendiri. Bentuk-bentuk kelanjutannya yang masih dikenali sampai sekarang antara lain tari Hudoq yang menggunakan topeng di Kalimantan, Dendang Saluang di Sumatera Barat, tari penyembuhan penyakit di Riau, tari Rejang di Bali, dan tari Tayub serta Tiban di Jawa. Aspek-aspek yang membentuknya memperlihatkan jalinan akar yang memanjang tidak terputus oleh waktu. Dalam kategori sejarah[2] kerajaan, seni pertunjukan tampil dengan fungsi yang tidak sepenuhnya berubah. Ia tetap mengusung simbol-simbol mitis untuk kepentingan ritual tertentu. Sejalan dengan itu, penyelenggaraannya juga untuk mengusung kepentingan penguasanya dan kalangan tertentu. Pendapa atau bangsal istana dan rumah-rumah para bangsawan merupakan “panggung pergelaran” yang diutamakan. Seni pertunjukan dengan seniman pelakunya ditempatkan sebagai regalia atau benda-benda yang turut melegitimasikan dan menguatkan kedudukan raja dan bangsawan. Audiensi atau kunjungan raja ke wilayah tertentu selalu diiringkan oleh sekelompok petugas kerajaan yang berkewajiban menyajikan seni pertunjukan.
            Sebagai regalia, seni pertunjukan berdampingan dengan benda-benda pusaka kerajaan, seperti tombak, keris, pedang, payung kebesaran, dukun atau pawang, dan orang-orang dengan ciri-ciri tertentu yang dipilih khusus untuk menopang kepentingan tersebut. Pada masa ini seni pertunjukan dihadirkan sebagai sarana ritual sekaligus juga merupakan presentasi estetis bagi kalangan atau komunitas khusus. Pada masa kerajaan Majapahit disebutkan di dalam Babad Songennep bahwa seni pertunjukan menjadi bagian ketika raja beraudiensi dengan para anggota kerajaan. Pada waktu itu dipertontonkan Okol,[3] yaitu sejenis tari semacam gulat yang dibawakan oleh dua orang laki-laki tanpa menggunakan senjata. Okol kadang-kadang masih dijumpai di beberapa wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan. Tari ini ditampilkan oleh masyarakat sebagai sarana upacara meminta hujan apabila musim kemarau berlangsung lebih panjang dari seharusnya.
            Adapun seni pertunjukan sebagai presentasi estetis yang dimaksudkan oleh Soedarsono adalah jenis-jenis dan bentuk-bentuk yang dinikmati nilai keindahannya semata-mata dengan mengabaikan kepentingan yang lain. Hal ini dapat dilakukan ketika seseorang menyaksikan dan mendengarkan orkestra musik, menonton pementasan tari-tari kreasi baru, atau pergelaran wayang kulit kemasan padat maupun semalam suntuk yang tidak bersangkut paut dengan ritual dan tidak bermuatan bermacam-macam pesan. Akan tetapi di sebalik fungsinya sebagai presentasi estetis, seni pertunjukan sudah dikenal mampu menjadi wadah bermacam-macam pesan.
            Wayang kulit digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah yang tidak mengusik serta mengecilkan arti penting kehidupan religi masyarakat pada masanya. Melalui wayang kulit pula pemerintah menginformasikan program-programnya, mulai dari bebas buta huruf, keluarga berencana, pembangunan bangsa, dan lain-lainnya. Suara dalang wayang kulit dan beberapa bentuk seni pertunjukan yang lain, seperti tari, musik, dan drama juga digunakan sebagai media untuk mengkampanyekan partai politik tertentu dalam beberapa kali periode pemilihan umum yang pernah dialami. Seni pertunjukan dipandang sebagai media yang handal untuk berbagai kepentingan, termasuk di dalamnya untuk kepentingan tersebut.
            Uraian pengantar di atas memperlihatkan betapa seni pertunjukan menghantarkan fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat dari waktu ke waktu. Kebutuhan ini tidak hanya bagi individu atau kelompok tertentu saja, tetapi juga mencakup masyarakat secara luas.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pornografi (umum)
            Undang-Undang pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi disingkat RUU APP dan kemudian menjadi rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008. Pornografi dalam rancangan pertama di definisikan sebagai “substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika“, sementra pornoaksi adalah“ perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika di muka umum”. Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontoversi dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. di antara Pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional.
            Selain itu rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi, karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu pome (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti “tulisan atau gambar tentang pelacur”. Definisi pornoaksi pada draft ini adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi, ketentuan mengenai porno aksi dihapuskan.
            Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Negara Pemberdayaan perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR (PANSUS DPR RI) dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 september 2008, RUU pornografi itu tinggal terdiri dari 8 bab dan pasal 44 pasal. 34 Pada RUU Pornografi, definisi pornografi disebutkan dalam pasal 1: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat“. Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya dengan memasukkan “gerak tubuh” ke dalam definisi pornografi.
            Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papua), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini dan persepsi merekapun bermacam- macam. Pro dan kontra pun semakin memanas khususnya di masyarakat mengenai isi dari pasal pasal RUUAP menimbulkan kontroversi. Adapun kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari kelompok aktivis perempuan (feminism), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
            Apa yang menjadi sorotan dalam materi rancangan undang-undang tersebut dari sisi substansinya dianggap masih mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan
menyerupai masturbasi, dan lain-lain. 35 Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas melalui majalah, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata,  seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU porno ini, seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
            Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum yg dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Defisini ini menunjukkan longgarnya batasan ”materi seksualitas“ dan menganggap karya manusia seperti syair dan tarian (gerak tubuh) dimuka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkit hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda disetiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Dapatlah disimpulkan bahwa beberapa hal yang menjadi kontroversi dalam materi undang-undang tersbut adalah 36 penyeragaman budaya, menyudutkan perempuan dalam bentuk totalitarianisme negara.
            Selain penjabaran yang di kemukana di atas tentang sebelum di bentuknya undang-undang pornografi ada hal yang mencangkup belum adanya penjabaran tentang peraturan pelaksanaan yang menindak lanjuti dari UU No. 44 Tahun 2008, untuk itu peranan pemerintah sangat penting dan dibutuhkan. Pemerintah juga harus Proaktif dalam pembentukan Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan kearifan lokal, karena mengingat negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang terdapat banyak suku. Pemerintah harus lebih ketat lagi dalam pengawasan kepada media elektronika sesuai dengan makna dan tujuan dari pada dibentuknya UU NO 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hal lain masih adanya persepsi yang beragam mengenai isi dari undang-undang tersebut, ini perlu diperjelas penjabaran dan tafsirnya melalui peraturan-peraturan perundangan lebih operasioanl dan teknis seperti: 1) persepsi adanya over lap tentang UU No 44 tahun 2008 dengan KUHP
khususnya tentang batas usia dewasa; 2) Persepsi masyarakat yang multi tafsir terhadap pengertian beberapa pasal, khususnya pasal 4 UU No 44 tahun 2008.
B. Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (khusus).
            Sudut pandang tentang undang-undang no. 44 Tahun 2008 yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi, bahwa tingkat keresahan akan maraknya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia dan peraturan yang berkaitan dengan pornografi yang ada dianggap belum dapat mengakomodasi secara kebutuhan hukum dan perkembangan masyarakat sehingga dibutuhkan peraturan yang baru yang diharap mampu memberikan wadah dalam perlindungan akan adanya pelanggaran pornografi maupun pornoaksi.
            Namun sejalan dengan berlakunya undang-undang no. 44 tahun 2008 dalam masyarakat khusus para pelaku seni banyak menimbulkan sederetan permasalahan yang berkaitan dengan tidak jelasnya defenisi dari pasal per-pasal yang berimbas pada pelanggaran-pelanggaran yang belum tentu secara teoritis bersalah. Sehingga dalam prakteknya setiap defenisi mengalami pembiasan yang cukup luas dan kompleks. Sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, agama serta suku, yang jelas secara otomatis memiliki sudut pandang yang berbeda-beda pula dalam memahami aspek pornografi, sehingga pengeneralisasian aturan-aturan yang mengatur tentang aspek-aspek pornografi di Indonesia akan menjadi sebuah problematika yang begitu rumit. Pertimbangan sosial dan budaya menjadi sebuah poin penting untuk menjalani undang-undang ini yang memang secara teori belum cukup memadai. Adapun pasal yang menjelaskan aspek-aspek yang termasuk dalam kategori pornografi dan pornoaksi terdapat pada BAB I pasal 1 dalam ketentuan umum, yang berbunyi:
1.  Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,  gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4.  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
C. Seni Musik
            Rekayasa bunyi-bunyian yang melibatkan ekspresi serta mengandung nilai-nilai estetika dan apresiasi dari manusia[4]. Defenisi musik diatas tersebut menjelaskan dimana sebuah musik dibentuk dari proses aktifitas yang melibatkan emosi serta kebebasan dalam mengekspresikan kreasi dengan kemampuan ide-ide kreatif yang berasal dari orang-orang kreatif dan jenius serta memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah fenomena kehidupan, sehingga dituangkan dalam sebuah komposisi bunyi-bunyian yang keseluruhan secara tonalitas mampu memberi dampak  emosi dan perilaku pada seseorang.
            Musik adalah sebuah elemen yang memiliki karakter penting dari segala sistem kimia, genetika, dan bahasa manusia. Kompleksitas dari sebuah musik yang mampu memberikan rangsangan terhadap perilaku manusia menunjukan bahwa musik mampu merasuki setiap pikiran manusia tanpa ada batasan orang, baik itu penyaji maupun penikmat musik. Berkaitan perilaku seseorang maka tidak akan pernah lepas kaitanya dengan emosi. Emosi adalah salah satu aspek yang paling meresap dalam eksistensi manusia, dalam arti yang berhubungan dengan setiap aspek perilakunya-aksi, persepsi, memori, belajar, dan dalam membuat keputusan[5].
                Secara umum musik memiliki beberapa unsur-unsur didalamnya yaitu: 1) bunyi, sesuatu yang kedengaran atau ditangkap oleh telinga, suara yang ditimbulkan oleh alat-alat bicara (KBBI); 2) suara, bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia seperti pada ketika bercakap-cakap, menyanyi dan tertawa (KBBI); 3) nada, tingkatan rendah atau tinggi bunyi dalam musik (KBBI); 4) ritme adalah irama; 5) lirik, susunan kata sebuah nyanyian: teks atau kata-kata lagu-bahasa (KBBI).
            Berdasarkan esensinya musik dinikmati dengan pendengaran seseorang yang selanjutnya direspon dengan pikiran dan diproses di otak sehingga akan menghasilkan sebuah perilaku. Perilaku musikal dari seseorang ditentukan dari pengalaman musikal yang dialaminya, baik itu memainkan musik maupun pendengar musik pasif maupun aktif. Menurut Sloboda, musik tidak berperan menghasilkan emosi namun lebih menyediakan akses bagi seseorang untuk mengalami emosi yang sudah ter-agenda[6].
            Namun berdasarkan perkembangan pada kebutuhan musikal, untuk menikmati musik tidak cukup saja mendengarkan suara yang dihasilkan namun kebutuhan tersebut sudah berkembangan pada ekspresi pemain musik secara langsung atau musik dalam konteks dipertunjukan. Secara psikologis musik memberi dampak pada tatanan emosi dan prilaku seseorang, sehingga musik sering digunakan sebagai terapi dalam bentuk apapun.
D. Pembahasan aspek pornografi dalam seni musik.
Berdasarkan pertanyaan sebelumnya yaitu, apakah secara fungsi, struktural dan kegunaannya musik bisa dikaitkan dengan pornografi? Untuk membahas pertanyaan tersebut kita harus berpijak dari tinjauan pornografi dan esensi dari musik. Apabila pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa pornografi adalah sebuah perilaku atau tindakan secara sengaja untuk menunjukan tindakan seksual yang bertujuan menaikan birahi seksual maka apakah dengan musik dapat digunakan dalam aspek pornografi? Tadi ditekankan bahwa pornografi adalah prilaku menunjukan tindakan seksual secar eksplisit, berarti berkaitan dengan visual, sedangkan musik esensinya adalah audio.
Musik memang dikatakan bahwa mampu memberi pengaruh pada respon emosi dan sebuah perilaku manusia. Namun secara teoritis, musik bisa digunakan hanya sebagai media dalam pornografi namun musik tidak dapat berdiri sendiri. Saya akan mengambil contoh, dimana ketika pada adegan film porno tersebut menggunakan media sabun atau oil untuk melumasi seluruh tubuhnya supaya terlihat lebih menarik dan memberi dorongan rangsangan birahi. Secara fungsi dan kegunaanya, sabun atau oli itu mampu menambah dorongan rangsangan birahi. Apakah sabun atau oil tersebut bisa di kategorikan dalam aspek-aspek pornografi? Tentu tidak, sabun atau oil tersebut hanya media dalam menstimulus psikologi orang yang melihatnya saja. Begitu juga dengan musik, apabila musik digunakan dalam media pornografi, musik tidak bisa dikatakan memiliki aspek-aspek pornografi, musik hanya sebuah media yang sifatnya menstimulus. Namun bagaimana dengan musik yang digunakan pada terapi seks seperti pada musik kamasutra? Pada kasus ini, musik tetap sebagai media saja, dalam musik terapi seks, sekali lagi musik tidak dapat berdiri sendiri, terapi musik seks hanya berlaku pada situasi dan kondisi yang tertentu saja. Musik digunakan sebagai stimulus ketika seseorang sedang melakukan “hubungan”. Berdasarkan penelitian seseorang yang sedang “berhubung” memiliki frekuensi gelombang otak sebesar 20hz-40hz, sehingga untuk meningkatkan gelombang otak pada tingkat yang diingini, digunakan frekuensi berbasis gamma sebesar 20hz-40hz sebagai menstimulus gelombang otak tersebut[7].

Pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, banyak lagu-lagu yang dicekal berdasarkan lirik lagu yang dianggap berbau cabul atau porno. Kita akan mencoba membahas kasus ini secara mendasar. Saya akan menunjukan salah satu lirik lagu yang di cekal oleh KPI, yaitu lagu yang dinyanyikan Jupe yang berjudul Jupe senang 69.

“Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Terpejam-pejam mataku Aduh aduh aduh nikmatnya Duh aduh aduh asiknya Desah indahmu menusuk kalbu

Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatnya Oh yes sungguh bahagia
Suka suka jupe paling suka Kasih sayangmu luar biasa Gairah cinta 69
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak
berdaya Gairah cinta pun membara

 Halus halus halusnya selembut sutra Irama gaya kamasutra ala india
Kau elus-elus tubuhku Kau belai-belai rambutku Oh yes sungguh nikmatny
a Oh yes sungguh bahagia

Suka suka jupe paling suka Kasih sayangmu luar biasa Gairah cinta 69
Suka suka jupe paling suka Kau buat aku tak berdaya Gairah cinta pun membara, Halus halus halusnya selembut
sutra Irama gaya kamasutra ala india”

 Sekarang saya akan mendeskripsikan tentang aspek-aspek pornografi. Pornografi merupakan bentuk visual yang secara eksplisit menunjukan sifat cabul, dalam KBBI cabul adalah tidak senonoh; melanggar peraturan kesusilaan. Apabila kita memperhatikan lirik lagu diatas, saya sepaham bahwa lirik lagu tersebut termasuk mengandung unsur-unsur porno, karena didalamnya mengandung unsur-unsur persetubuhan walaupun secara halus. Namun berkaitan dengan undang-undang no 44. Tahun 2008 tentang pornografi pada bab I pasal 1, yang menyebutkan salah satu diantara poin yang disebutkan,di tuliskan bahwa tulisan termasuk pornografi. Apabila dikaitkan pada unsur-unsur musik, harus dipertegaskan bahwa lirik sangat berbeda dengan tulisan, jadi apabila ada yang mengaitkan lirik dengan tulisan adalah salah besar. Tulisan adalah membuat huruf dengan alat bantu tulis (KBBI), sedangkan lirik adalah sebuah susunan kata sebuah nyanyian: teks atau kata-kata lagu-Bahasa (KBBI, jadi lirik bukanlah sekedar tulisan namun sebuah lafalan yang dinyanyikan; komunikasi musikal, dan belum bisa dikatakan lirik apabila tulisan itu bukan untuk dinyanyikan.
Berbeda dengan musik untuk dipertunjukan, kaitannya pada poin ini bukan saja terletak pada audionya saja, namun sudah pada bentuk visual dari orang yang memainkannya. Sebagai studi kasusnya adalah, pencekalan penyanyi Inul Daratista untuk tampil di depan publik, karena goyangannya dianggap berbau pornoaksi, kemudian  pembatalan konser Lady Gaga di Indonesia karena, penyanyi ini juga dianggap penyanyi yang selalu berpakaian seksi sehingga dianggap mempertontonkan unsur-unsur pornoaksi. Pada kasus ini pusat fokusnya bukan pada lagu atau musiknya lagi tetapi pada figur penyanyinya, jadi dalam aspek musik (audio) tidak bisa dikatakan pornografi.
Untuk lebih mendalam akan pemahaman aspek-aspek pornografi pada seni musik, kita seharusnya lebih teliti memahami setiap defenisi yang ada. Saya akan mencoba memaparkan berdasarkan teori yang ada. Bentuk-bentuk produk porno secara garis besar dapat dibagi 5 bagian yaitu, 1) pornografi, 2) pornoaksi, 3) pornosuara, 4) pornoteks, 5) dan pornomedia (Burhan: 2003). Jadi apabila dikaitkan dengan peraturan undang-undang no 44. Tahun 2008 tentang pornografi dan pornoaksi, seharusnya pemerintah lebih paham lagi menuliskan setiap defenisi sesuai dengan posisinya, suara atau bunyi tidak dapat dikategorikan dengan pornografi namun pada pornosuara.
Salah satu aspek-aspek porno pada musik (audio) terletak ketika seseorang dengan sengaja mensuarakan desahan-desahan persetubuhan dengan tujuan utama menaikan nafsu birahi, namun berbeda apabila desahan-desan tersebut digunakan pada sebuah karya seni, karena tujuannya bukan untuk mendapatkan respon atau dorongan nafsu birahi, namun secara kontekstual untuk mengkomunikasikan perilaku manusia dengan komposisi yang mengandung nilai-nilai estetika.
Jadi aspek-aspek pornografi pada musik terdapat pada liriknya namun untuk bunyi maupun suara tidak dapat dkategorikan dengan aspek-aspek pornografi karena bedasarkan terminologinya, bunyi dan suara merupakan kategori pornosuara. Ketika untuk memahami pornografi atau bukan harus pula memperhatikan hubungan antara teks dengan konteksnya yang terbatas pada ruang dan waktu. Sehingga sudut pandangan yang digunakan mampu memposisikan objek yang dinilai sesuai dengan konteksnya atau bukan.

 BAB IV
 KESIMPULAN

        Suatu bagian tulisan dari pakar hukum mengenai pornografi mengemukakan bahwa masalah pornografi dan pornoaksi di Indnesia telah melampaui ambang toleransi dan merusak akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap pornografi belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurutnya kesulitan dalam mengatasi tindak pidana pornografi (pornoaksi) antara lain disebabkan oleh adanya pengertian dan penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah porngrafi, dan dahulu masyarakat lemah dalam merespos pornografi dan pornoaksi. Faktor penyebabnya adalah faktor politik di bidang keagamaan yang nampak dalam politik pendidikan agama di sekolah-sekolah dasar sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Perguruan Tinggi. Selain itu faktor budaya, dalam hal ini budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui jaringan komunikasi, baik cetak maupun elektronik telah mengikis iman bangsa Indonesia. Hal lain KUHP sendiri tidak merumuskan soal pengertian pornografi. Sejak diundangkan pada 30 Oktober 2008 hingga saat ini, UU Pornografi memang belum sepenuhnya dapat dikategorikan telah berhasil diimplementasikan. Indikasinya dapat dilihat dari masih maraknya praktek asusila yang dapat dilihat melalui pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik. Oleh karena itu Tim perumus dapat menyimpulkan analisis dan evaluasi sebagai berikut:

1. Terlepas dari berbagai pro-kontra, secara yuridis formal maupun politik kenegaraan, bagian besar rakyat Indonesia mendukung adanya undang-undang yang mengatur mengenai pornografi, tidak lain merupakan langkah hukum dan politik untuk terjaminnya pengamalan nilai-nilai kehidupan bermoral beragama serta nilai-nilai budaya luhur bangsa.

2. Undang-Undang Pornografi memang sangat diperlukan guna terwujudnya pembangunan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanahkan konstitusi. Oleh karena itu Undang-Undang Pornografi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada hari Kamis 30 Oktober 2008 merupakan keberhasilan bangsa dan negara Republik Indonesia dalam mengawali upaya menyelamatkan bangsa dan negara terutama generasi muda, anak-anak dan perempuan.

3. Undang-Undang Pornografi ditetapkan merupakan hasil kompromi-kompromi yang terjadi melalui pembahasan di lembaga legislatip DPRI RI.

4. Undang-undang ini disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008, karena itu keberadaan undang-undang tersebut telah sah dan memiliki legitimasi yang kuat.

5. Adanya undang-undang lain yang juga mengatur persoalan menyangkut kesusilaan, sesungguhnya keberadaan undang-undang tentang pornografi telah mempertegas dan melengkapi berbagai undang-undang yang telah ada, bukan saling tumpang tindih (overlapping) sebagaimana anggapan yang muncul dari sebagian kelompok.

6. Adanya hasil keputusam yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan pengujian undang-undang dalam Amar Putusan menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Dengan itu, semakin teruji keberadaan Undang-Undang No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi semakin kuat legitimasinya.

7. Undang-Undang Pornografi belum tersosialisasikan dengan baik dan secara menyeluruh. Terbukti pelaku pornografi bukannya insyaf, malah seringkali tindakan-tindakan pornografinya ditransfer ke orang lain. Hal demikian terjadi karena pelaku sebenarnya belum memahami UU Pornografi ini secara paripurna.

8. Perlunya segera pemerintah mengeluarkan perangkat peraturan lainnya yang dapat mengoptimalkan implementasi perundangan tersebut dalam kehidupan masyarkat.

B. Rekomendasi

1. Untuk penegakkan hukum; Perlu adanya peran aktif pemerintah, penegak hukum dan masyarakat sesuai dengan fungsi dan tugasnya secara proposional. Penegakan hukum untuk tindak pidana pornografi tidak tebang pilih dan perlu perlakuan yang sama dan diperlukan goodwill dari pemerintah khususnya para penegak hukum.

2. Subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana adalah individu dan korporasi (corporate); penjatuhan pidana terhadap korporasi selama ini dalam praktek belum satupun ada dan lebih pada penjatuhan pidana secara individu. Hal ini disebabkan karena bekerjanya sistem peradilan pidana, yang dimulai dari peran sentral penyidik sebagai gate-keeper dari sistem peradilan pidana, menunjukkan kebijakan yang tercermin dalam dokumen penyidikan lebih berorientasi menempatkan individu sebagai tersangka, meski tindak pidana yang didakwakan kepada tersangka dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pengurus badan hukum (korporasi). Diperlukan keberanian dari para penegak hukum untuk konsisten terhadap aturan yang telah ditetapkan dalam UU mengenai adanya tanggung jawab korporasi.

3. Perlu segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunannya yang dapat memberikan penjabaran aturan lebih rinci bagi penerapan Undang-Undang Pornografi baik dari segi materi, teknis serta kemungkinan pengecualian yang dibenarkan atas pertimbangan kearifan lokal.

4. Perlu dibentuk Badan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Tindak Pidana pornografi dan/atau Tindak Pidana Pornoaksi, yang pembentukannya pada tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai ke desa/kelurahan.

5. Undang-Undang Pornografi tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus seiring dengan adanya penguatan pendidikan pada tingkat pranata terkecil, seperti penyadaran terhadap individu dan keluarga. Karena itu diperlukan sebuah langkah di tingkat pranata keluarga dan pranata pendidikan formal tentang pentingnya memahami bahaya pornografi.

6. Diperlukan niat baik dari seluruh stakeholders serta tindakan nyata terkait dengan upaya perang terhadap pornografi dengan segera menerbitkan undangundang yang mendukung pelaksanaan UU Pornografi seperti; Undang-Undang IT atau Undang-Undang Pembatasan Peredaran Pornografi di tengah-tengah masyarakat serta Gerakan Nasional mensosialisasikan bahaya pornografi.

DAFTAR PUSTAKA

A. Data Tercetak
Djohan. Psikologi Musik. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Buku Baik, 2005.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Marhijanto, Bambang. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur, 1995.
Retnoningsih, Ana dan Suharso. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2012.
Sloboda. Jhon.  Music and the Mind: Essays in Honour of John Sloboda . New York: Oxford University Press 2011.
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Soebajia, Azimah. Pornografi dilarang Tapi di Cari. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Pasaribu, Ben M. Pluralitas Musik Etnik: Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, 2004.
Werdisastro, R., Babad Songennep, Djember: 1914, transliterasi 1971.
Hamzah, Andi., KUHP Dan KUHAP, Edisi Digabungkan Dalam Satu Buku, Cet. 2, Jakarta: Roneka Cipta, 1992.

B. Data Internet.
http://artikel-media.blogspot.com/2009/12/waspadai-juga-pornografi-di-media142, di akses tanggal 3 April 2014.
http://dialektikahukum.blogspot.com/2009/05/panorama-dialektik-uu-pornografi, di akses tanggal 11 April 2014.
http://www.dialektikahukum.blogspot.com/2009/05/panorama-dialektik-uupornografi. Html, di akses tanggal 11 April 2014.
http://www.nasional.kompas.com/read/2010/06/23/14532638/Masyarakat.Indonesia.Gemar.S
itusPorno, di akses tanggal 9 April 2014.




                [1]R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002).
                [2] Meminjam istilah yang dipergunakan oleh Kuntowijoyo dalam Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 6. Istilah “kategori sejarah” digunakan untuk memberi pemahaman bahwa meskipun memiliki kronologi, tetapi dapat bersifat tumpang tindih.
            [3]R. Werdisastro, Babad Songennep (Djember: 1914, transliterasi 1971), 18.
            [4]Pasaribu, Ben M. Pluralitas Musik Etnik: Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. (Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen, 2004), 88.
                [5]Sloboda. Jhon.  Music and the Mind: Essays in Honour of John Sloboda. (New York: Oxford University Press 2011), 74.
           [6]Djohan. Psikologi Musik. Cetakan ke-2. (Yogyakarta: Buku Baik, 2005), 54.

                [7]Djohan. Psikologi Musik. Cetakan ke-2. (Yogyakarta: Buku Baik, 2005), 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar